Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pelan-pelan, Itu Area Sensitif, Lho!

30 Oktober 2012   08:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:13 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya yakin, tak ada pasangan suami istri yang tidak pernah bertengkar. Pasti pertengkaran itu ada. Baik sering atau jarang.  Baik levelnya hanya cekcok kecil atau sedahsyat perang Bharata Yuda. Meskipun demikian, sepertinya semua sepakat, tentang “perang” yang tetap diidamkan, yaitu “perang mulut” (cup-cupan) dan juga “perang tanding” satu lawan satu dengan penuh kemesraan.

Udah, dua baris di atas itu hanya selingan, biar nggak ngantuk. Sekarang, alangkah baiknya kita mengambil hikmah,..ah, ketinggian pilihan katanya ya? Begini saja, mari kita berbagi dan belajar bersama “memeta”kan pertengkaran dalam berumahtangga. Memetakan? Iya, lah! Bukankah pertengkaran-pertengkaran itu pasti ada sebabnya? Selalu memiliki akhir penyelesaiannya, bisa mengambang (diendapkan), tuntas hepi ending, atau bahkan parah hingga berakhir pada perpisahan. Yang terakhir ini kita semua pasti berharap,...jangan!

Mungkin Anda pernah menebak, ketika sudah mengusik/membicarakan sebuah topik tertentu, ujung-ujungnya sering berantem. Ini, nih, yang pantas disebut sebagai wilayah sensitif. Topik apa sih yang sering menjadi area sensitif ini? Tentunya, dari pertengkaran yang pernah dialami, tiap pasangan bisa memberi tanda, tentang hal-hal tertentu yang “rawan” berujung pertengkaran. Biasanya, sih, area sensitif itu nggak jauh-jauh dari masalah keuangan, kerabat, anak, kesalahan masa lalu, seksualitas, dan kesetiaan. Apa lagi? Ada yang ingin menambahkan? Silahkan.

Keuangan keluarga banyak menjadi sebab terjadinya pertengkaran. Bukan hanya ketika menghadapi kesulitan, bahkan ketika rejeki berlebih pun tetap bisa menjadi sumber percekcokan. Padahal dibanding yang lain, masalah uang ini bisa dikatakan penyelesaiannya paling “mudah”, karena terukur.

Masalah kerabat? Bisa juga. Dalam beberapa kasus, peran kerabat atau keluarga besar bisa juga menjadi pemicu. Campur tangan orang tua/mertua lah, atau sanak keluarga yang terpaksa ditampung lah, atau yang lainnya.

Tentang anak, jelas rawan menjadi bahan pertengkaran. Ketika masing-masing berbeda pendapat tentang pola pendidikan, ngotot-ngototan. Apalagi ketika sang anak memilki penyakit, kebutuhan khusus dengan berbagai kasusnya (maaf) , yang tentunya membutuhkan kesabaran extra.

Kesalahan masa lalu yang diungkit atau karena emosi tak sengaja menjadi terungkit, pastinya akan sangat menyakitkan. Bisa membalikkan pada keadaan seperti saat kesalahan itu terjadi. Sama saja artinya dengan tak pernah sungguh-sungguh memaafkan.

Seksualitas dan kesetiaan tak dipungkiri merupakan area yang tentunya juga “berbahaya”. Karena pemenuhan kebutuhan biologis berperan besar dalam harmonisnya rumah tangga. Apalagi tentang kesetiaan, bukankah itu adalah hal yang notabene “diikrarkan” saat menikah?

Setelah  mencoba memetakan beberapa area sensitif itu, tentunya secara naluri berusaha memilih cara menyikapi. Sebenarnya, menurut saya, hal mendasar untuk menyikapi area-area sensi itu adalah mengedepankan komitmen awal kita sejak semula bersepakat untuk hidup bersama, menikah!

Ketika komitmen awal dan kepercayaan itu selalu diniatkan/terjaga, bukannya menyepelekan, segala yang menjadi area sensitif dan rawan pertengkaran itu bisa dianggap sebagai bagian proses pendewasaannya. Ini bukan sok pinter, sok paling berpengalaman, lho! Saya paling kuatir kalau kurang bagusnya saya menyampaikan dalam bahasa tulisan menjadi dianggap menggurui. Sekali lagi, ini sharing, berbagi. Bisa jadi sebagai “pancingan” agar rekan-rekan lain yang ternyata memiliki pengalaman dan saran yang lebih berharga bersedia melengkapinya.

Okay? Jadi begitu ya. Agar lebih menuju lengkapnya obrolan ini, ijinkan saya menyodorkan sedikit saran ketika kita dan pasangan menghadapi situasi yang bersentuhan dengan area-area sensitif itu tadi. Baik ketika mencari solusi masalah keuangan, pendidikan/kesehatan anak, kerabat, atau bahkan ketika salah satu pihak tengah mengalami kendala seksualitas, dilanda cemburu atau ragu dengan kesetiaan pasangannya.

Yang pertama, sebaiknya memastikan kondisi pasangan benar-benar dalam keadaan fresh baik secara fisik ataupun mental. Jauhi membicarakan hal-hal sensitif saat lelah fisik karena bekerja atau kondisi emosi yang berada di titik rendah. Manfaatkan waktu-waktu saat pasangan benar-benar dalam kondisi yang stabil dan “manis” (misalnya, saat usai bercinta).

Yang kedua, selalu tanamkan “bisikan” pengendali dalam pikiran bahwa hal yang akan dibahas adalah sesuatu yang sensitif. “Hati-hati,..pelan-pelan,..sabar, ini sensitif lho..”

Yang ketiga, sebisa mungkin jangan sampai mengungkit kesalahan masa lalu pasangannya.

Yang keempat, ini sedikit teknis. Yakni, pada saat berdiskusi dengan pasangan, usahakan menghilangkan kata yang sifatnya “kamu” saat berkaitan dengan tema yang melibatkan kedua pihak. Pilihan itu bisa diganti dengan kata “kita”. Misalnya:

“ Sepertinya “kamu” mulai lebih banyak habis waktunya untuk bekerja, Ma. Anak”mu” kurang perhatian..”

Apa kira-kira reaksi Anda ketika pasangan melontarkan kalimat itu? Kemungkinan besar akan merasa “tidak terima” karena dijadikan titik kesalahan. Bisa jadi akan bereaksi “melawan”.

“ Enak saja, “kamu” kalau ngomong! Memangnya, “kamu” kemana saja?!”

“ Kamu harusnya menjadi ibu yang perhatian!!”

“ Mau menang sendiri!!!”

Praangg!! Grumbyang!! Klonthank!!!

Hehe,..lebay ya ilustrasi saya? Nggak, ah. Hal seperti itu bisa saja terjadi. Coba kalau keduanya adem, menghindari kata “kamu” itu.

“ Sepertinya “kita” mulai lebih banyak habis waktunya untuk bekerja, Ma. Anak ”kita” kurang perhatian..”

“ Iya, Pa. Sebaiknya, kita luangkan waktu untuk mereka. Meskipun tak bisa seharian menemani, yang penting berkualitas..”

“ He’em..., besok kita harus berubah. Sekarang,..yuk kita bobo’, udah malam..”

“ Bobo’ doang, Pa..?”

“ Hehe,..kita “perang” dulu, lah..”

“ Yayayaaa...”

Tuh! Kan? Saya bilang juga apa? Hahaha. Udah, ah! Silahkan jika ada yang ingin mencerahkan.

Salam bahagia. Untuk kita semua. Semoga.

.

.

C.S.

Berpelukaannn....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun