Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pagi Berantem, Malam Bercinta

12 September 2012   05:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:35 3457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam kehidupan berumah tangga, saya berani memastikan bahwa mustahil akan selalu berlangsung “mulus” tanpa “gangguan”. Seberapapun usia pernikahan kita, baik yang baru kemarin sore selesai mengadakan resepsi, sampai yang sudah beranak cucu sekalipun, jika ditanya apakah pernah bertengkar dengan pasangannya, pasti akan menjawab..pernah! bahkan ...sering!

Tentu banyak faktor yang menjadi penyebab atau pemicu ketika dalam menjalani relasi antara suami dan istri itu terjadi  pertengkaran. Baik sumber masalah itu dipandang ringan atau serius, yang tentunya cenderung subyektif masing-masing kita dalam menilai, secara garis besar semua itu timbul karena perbedaan sikap dan harapan antar keduanya yang menimbulkan gesekan.

Karena begitu kompleksnya permasalahan-permasalahan dalam tiap rumah tangga yang tentunya masing-masing bisa memiliki cara pandang berbeda, maka saya hanya ingin menggarisbawahi obrolan kita kali ini pada pertengkaran ataupun cekcok dalam rumah tangga yang penyebabnya adalah hal yang “ringan-ringan” saja. Sekali lagi, meskipun penilaian ringan dan beratnya itu subyektif, pastilah ada pengakuan secara umum bahwa terdapat “kategori” pemicu pertengkaran yang bisa dianggap ringan dan berat itu. Contoh mudahnya begini saja lah, bertengkar karena suami malas mandi, istri yang malas memasak, atau pasangan yang lebih banyak “bercinta” dengan laptopnya..., mungkin itu ringan. Sedangkan percekcokan karena suami selingkuh atau ingin kawin lagi,..sepertinya itu berat, ..berat banget malahan.

Namun patut diperhatikan sebuah pepatah “kriwikan dadi grojogan”, yang kalau ditranslate artinya kurang lebih adalah “gemericik/cucuran air yang kecil bisa menjadi air terjun yang besar”. Jika dikaitkan dengan tema ini, bisa dikatakan pertengkaran-pertengkaran kecil, ketika diabaikan akan terakumulasi menjadi masalah besar.

Berlebihan kah? Saya rasa tidak. Seringkali,  dua indvidu yang telah mengikatkan diri dalam sebuah komitmen pernikahan pun tak lepas dari “ego” diri. Pertengkaran karena hal-hal kecil banyak yang terdorong untuk menyikapinya dengan membesarkan rasa marah, sebel, bahkan mengacuhkan/mendiamkan pasangan. Masing-masing pihak sering terjebak dalam rasa “gengsi” untuk memulai menetralisir kondisi, mengkoreksi diri, apalagi meminta maaf jika merasa salah. Jika hal ini dipelihara, satu atau lebih pertengkaran kecil yang sekian lama terakumulasi bisa bermuara menjadi ketidakpuasan. Ketidakpuasan demi ketidakpuasan itu bisa berakibat fatal menjadi alasan adanya jarak dan perbedaan yang lebar, bisa melebar hingga memunculkan sebuah dalih “ketidakcocokan”, lalu bermuara pada ketidakharmonisan.

Lebih parah lagi jika masing-masing pihak itu terjebak pada kesalahan yang dengan sadar atau tidak mencari/menemukan pemenuhannya dari pihak luar. Suara-suara luar yang belum tentu mengerti permasalahan sesungguhnya bisa menjadi kompor pemanas hubungan rumah tangga, apalagi hadirnya pihak ketiga yang menjadi magnet terjadinya perselingkuhan.

Ada nasihat para sesepuh kita yang menurut saya ada benarnya ketika mengatakan : “ Jika kalian bertengkar semenjak pagi, berdamailah sebelum matahari terbenam”. Boleh diartikan bahwa bertengkar/mendiamkan/tak bertegur sapa dengan pasangan jangan sampai lebih dari setengah hari. Intinya, jangan memendam bara terlalu lama, segera siram dan cairkan.

Alangkah baiknya menyikapi cekcok ringan itu dengan mengendapkan diri. Meresapi kenapa itu terjadi. Apakah karena fisik dan otak yang lelah, karakter/watak masing-masing atau sebab lain yang perlu ditelisik secara jujur. Bisa jadi setelah kita yang mengalami percekcokan itu dan mendapatkan pemikiran yang bening, kesadaran itu muncul. “Oh,..aku yang salah, oh,..ini sepele, oh,..aku harus minta maaf atau oh, ini harus dibicarakan nanti saat semua fresh..”.

Ada kalanya juga lho kita harus bersyukur dengan hadirnya “orang ketiga”, baik itu yang secara sengaja atau tidak membuka pikiran kita. Misalnya, pernahkah Anda seharian bertengkar...diem-dieman dengan pasangan, akhirnya mencair saat ada sahabat atau teman yang berkunjung datang? Anggaplah itu “utusan” Tuhan.

Boleh juga percaya atau tidak. Ketika mengalami pertengkaran dengan pasangan, lalu berhasil melaluinya dengan baik, hubungan suami istri akan terasa semakin mesra dan indah. Di sinilah pantas di sebut bahwa pertengkaran atau riak-riak kecil itu adalah “bumbu”nya orang berumahtangga. Wajar, suami istri bertengkar, tapi jangan lama-lama menimbunnya, segera cairkan. Jika pagi hari bersengketa, berusahalah selesaikan dengan baik sebelum malam hari  tiba. Pagi berantem, malam bercinta, lebih mesra.

Pagi hari , “ Huh!...Cuih!”. Malam hari,” Ah...oh...yesss..”

Salam rukun dan harmonis. Semoga.

.

.

C.S.

Siang perang,..malam bantingan...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun