“Pernikahan itu harus cocok antara satu dengan yang lainnya. Rasa dan hati itu harus cocok sehingga akan terciptanya keabadian dari pernikahan itu. Karena saya merasa tidak cocok, terpaksa saya harus menceraikannya”
“Perceraian ini adalah suatu takdir. Perjalanan pernikahan mau lima hari, tiga hari bahkan satu hari pun tidak masalah kalau pihak laki-laki merasa tidak cocok”
Saya terpaksa “tertarik” dengan rangkaian kata-kata “indah” yang saya pungut dari media massa online (Kompas.com 4/12/12) pagi ini. Di sampaikan oleh seorang tokoh masyarakat, yang pada riwayatnya mendapatkan kepercayaan untuk memimpin sebuah wilayah. Yang terhormat, Bapak Aceng Fikri, Bupati Garut yang masih menjabat hingga kini.
Tulisan ini hendak sedikit keluar dari “kontroversi” kisah perceraiannya dengan Fani Oktora, gadis belia yang dinikahinya secara agama dan diceraikan via sms 4 (empat) hari setelahnya. Apa yang telah terjadi dan dinyatakannya, patut menjadikan kita semua yang ingin selalu menjaga kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga untuk berkaca.
Rangkaian kalimat di atas, dapat terbaca sebagai sebuah “prinsip”. Prinsip dari salah seorang pria dalam memandang sebuah pernikahan. Mungkin “quote” yang dirangkainya itu, dapat dianggap sebagai sebuah pembelaan diri, hanya hendak menanggapi polemik yang menggelayuti tokohnya. Namun, prinsip itu sangat terbaca pula sebagai hal yang “jujur’, menggambarkan sebuah pendapat dan pemikiran yang tersimpan dalam hati dan mendarah daging, bahasa kerennya “mindset”.
Apakah Anda memiliki mindset yang sama persis dengan Pak Aceng Fikri ini? Bukan hanya untuk pria saja. Prinsip di atas pun bisa pada kenyataannya bisa pula berlaku kepada wanita. Karena yang hendak dipandang adalah tentang pernikahan dan menyangkut relasi dua pihak yang berpasangan.
Mari kita “belajar” pada sang bupati ini. Mencernanya dengan baik, apakah ada kesamaan, perbedaan, ataukah beberapa bagian masih sangat perlu kita gali dan perdalam. Meskipun itu tak harus diungkapkan dan menjadikannya bagian dalam diri untuk berkontemplasi.
“Pernikahan itu harus cocok antara satu dengan yang lainnya. Rasa dan hati itu harus cocok sehingga akan terciptanya keabadian dari pernikahan itu”.
Ungkapan di atas, secara sederhana akan diamini banyak pihak yang memiliki kesamaan dalam memandang sebuah pernikahan. Tentang kecocokan dua pihak, pria dan wanita. Memiliki perasaan dan hati ( baca=cinta kasih) yang sama, akan menciptakan kelanggengan pernikahan.
“Karena saya merasa tidak cocok, terpaksa saya harus menceraikannya”.
Prinsip kelanjutannya ini, terus terang bagi saya sangat “mengganjal”. Ini tentang perceraian. Sebuah mindset yang tampak memberikan penegasan tentang ketidaksetaraan. Satu pihak merasa sebagai sosok yang lebih memiliki hak dalam menilai pasangannya. Untuk memutuskan kelanjutan sebuah pernikahan. Pernikahan dengan seseorang yang berprinsip semacam ini akan sangat berpeluang mendudukkan pasangannya dalam posisi tertindas, lebih lemah, dimatikan “daya tawar” ataupun “bicara”nya.
“Perceraian ini adalah suatu takdir. Perjalanan pernikahan mau lima hari, tiga hari bahkan satu hari pun tidak masalah kalau pihak laki-laki merasa tidak cocok”
Yang ini tentu masih berkaitan dengan prinsip sebelumnya. Hanya saja, meskipun secara substansi tak bisa dipungkiri, alasan yang disampaikannya pun tetap saja mengajukan sebuah arogansi diri. Karena yang mengatakan adalah seorang laki-laki, maka ini mewakili arogansi laki-laki. Entah, apakah mungkin ada juga pihak wanita dengan prinsip semacam ini. “Perjalanan pernikahan mau lima hari, tiga hari bahkan satu hari pun tidak masalah kalau pihak wanita merasa tidak cocok”. Sepertinya ada, kalau tak salah Britney Spears pernah melakukannya, tapi belum pernah mencatat artis ini beralasan tentang takdir. Yang jelas, takdir sangat tidak pantas digunakan jika hanya sekedar untuk pembenaran terhadap arogansi yang hendak dilakukan ketika memutuskan sebuah perceraian.
Tiap-tiap pribadi ataupun pasangan dalam memandang hakikat pernikahannya tentu bisa sama meskipun tak persis. Ataupun berbeda meski tak sepenuhnya. Banyak faktor yang akan mempengaruhi mindsetnya. Misalnya pengaruh budaya, agama, pendidikan, kepribadian dan lain sebagainya. Hanya saja, jika diberikan garis kesamaan yang semoga berpengaruh besar terhadap langgengnya pernikahan adalah ketika pasangan itu memiliki perasaan yang sama untuk saling mengasihi, menerima segala kelebihan ataupun kekurangan dan ber-KOMITMEN untuk hidup bersama dalam sebuah ikatan pernikahan yang sakral, selamanya.
Di sinilah ungkapan “kecocokan” itu perlu direnungkan kembali. Yakinlah, tak ada pribadi yang benar-benar sama. Kecocokan itu pun tak melulu didapatkan dari dua pribadi yang sama. Bahkan dari dua pribadi yang sangat berbeda pun tak mustahil tetap mampu menjalin kecocokan.
Alangkah baiknya tentang kecocokan bukanlah dipandang sebagai hal yang “dicoba”, namun di perjuangkan, dipertahankan dan menjadi bagian dari saling mengisi. Pernikahan, apalagi memandang wanita sebagai pasangan, bukan seperti kita membeli mobil. Di lihat, di elus, di”coba”, “test drive”, ditawar, apalagi lalu di”beli”. Kemudian jika “tak cocok” lagi dipakai atau “dinaiki” dengan mudahnya kita tinggal ataupun kita jual. Pernikahan kok “coba-coba”. Kasihan “kelinci”nya.
Salam berkomitmen.
.
.
C.S.
Sudesi. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H