Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negeri “Pedagang Sapi”

25 Juni 2012   05:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340601174475066448

[caption id="attachment_184370" align="aligncenter" width="400" caption="Dagang sapi beneran. Dokumen pribadi."][/caption]

Rasanya tak perlu mencantumkan referensi teori-teori dari para ahli untuk menyatakan sebuah substansi tentang apa yang sebenarnya diidamkan oleh seluruh rakyat di negeri Indonesia tercinta ini. Dapat diyakini bahwa apa yang terbit dari hati rakyat adalah menginginkan negeri kita hidup merdeka, adil ,makmur, dan aman sejahtera. Hal itu pun telah tercantum pula dalam alenia 4 pembukaan UUD 45, buah karya para pendiri bangsa.

Untuk mewujudkan tujuan negara yang kebetulan sampai detik ini masih selalu menjadi “cita-cita” itu, “kendaraan” yang selama ini dipandang sesuai untuk dijalankan adalah sistem tata kelola/pemerintahan yang memiliki semangat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meskipun secara global dikenal dengan demokrasi, Indonesia memiliki prinsip menyesuaikan diri dengan latar belakang bhinekanya yaitu demokrasi Pancasila.

Peran yang dianggap sentral untuk ini adalah para pemimpin yang dianggap sebagai sosok perwakilan dari ratusan juta rakyat Indonesia. Baik itu yang duduk memegang peranan eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Bukan berlebihan ketika ingin cita-cita bangsa itu dapat terwujud, seluruh rakyat menumpukan harapannya kepada para pemimpin yang telah mendapatkan legitimasinya itu. Legitimasi itu adalah amanah, yang seharusnya dijalankan dengan mengejawantahkan diri sebagai rakyat yang dia wakili.

Semua memang membutuhkan proses, namun sejak orde lama dan orde baru yang cenderung otoriter, hingga orde reformasi sekarang inipun, belum layak dianggap bahwa telah tercapai kemajuan yang signifikan. Jantung kelemahan yang selalu mengemuka adalah sistem politik yang ada masih teracuni untuk lebih mengedepankan kepentingan pribadi ataupun golongan di atas kepentingan rakyat seluruh bangsa. Yang terpatri adalah keinginan para pemegang akses kekuasaan (Lembaga tinggi/pemerintahan dan partai politik) untuk berkutat pada bagaimana cara mempertahankan kekuasaan, mengambil alih dan juga membagi-bagi kekuasaan.

Dapat dilihat betapa pihak yang memegang tampuk kekuasaan takut kehilangan kekuasaannya, dan pihak yang ingin mendapat giliran berkuasa berusaha keras dengan berbagai “cara” untuk menggantikannya. Pola pragmatis yang sering dipilih akhirnya adalah “berkuasa bersama-sama”, negara dan rakyatnya dianggap daging yang lezat,empuk,gemuk dan gurih layaknya daging sapi yang harus dibagi-bagi. Politik transaksional, tawar menawar, lazim disebut “dagang sapi” lebih dipilih menjadi langkah pragmatis. Atau yang tidak mendapatkan “peluang” dibagi memilih menjadi “lawan” yang pokoknya ingin mematikan, demikian juga ada yang “cerdik” dengan menerapkan intrik berpijak di dua kaki, kanan dapat kiri dapat.

Semua ini terjadi karena disamping nafsu berkuasa itu, di antara pemimpin ataupun pihak yang memiliki akses kekuasaan itu memiliki riwayat “dosa”nya sendiri. Jikapun ada yang “bersih” atau pada mulanya memiliki idealisme memimpin negeri sesuai amanah rakyat, itupun tidak berjalan mudah dan rawan terjebak pada pola-pola ini. Pemimpin yang bersih tetap akan mendapatkan resistensi yang berat ketika pada lingkupnya masih banyak pengakses kekuasaan yang kotor, sistem yang ada sering dijadikan “alat” untuk memperlebar peluang itu. Jika terdapat sosok idealis yang hendak melawan sendirian, dia akan mudah terjungkal/dijungkalkan. Kurangnya kekuatan itu akan membuat politik transaksional itu terpaksa dilakukan.

Jelas, hasil kebijakan yang mayoritas merupakan produk “dagang sapi” ini membuat arah yang dituju untuk kemajuan bangsa menjadi samar, banyak yang tak tepat sasaran. Ketika kabinet merupakan hasil transaksi, kebijakan ataupun peraturan perundangan tercipta didominasi dari tawar menawar ala dagang sapi, dengan berbagai polesan seolah demi kepentingan rakyat yang diwakili, maka keinginan dan cita-cita seluruh rakyat itu akan jauh panggang dari api.

Adalah wajar ketika setiap pribadi ataupun golongan itu memiliki kepentingan. Namun tentu saja dalam sebuah negara sebesar Indonesia yang sangat majemuk ini sangat dibutuhkan untuk menomorsatukan kepentingan bangsa secara keseluruhan dan disitulah para pemimpin harus berperan. Setiap keberhasilan adalah buah bersama dan kekurangan adalah milik bersama, bukan keberhasilan diklaim “sendirian” dan kekurangan menjadi alat untuk melempar kesalahan.

Dengan mindset yang sama, saling melenyapkan kekotoran (bukan sebagai kartu truf dagangan) dan idealisme untuk kemajuan, maka tak ada yang menjadi masalah dari golongan atau parpol manapun yang mendapatkan legitimasi untuk menjalankan pemerintahan. Baik itu sebagai “koalisi” ataupun “oposisi”, semua bisa saling mengisi bukan bertujuan menjatuhkan. Distribusi amanah harus menjadi pegangan menjalankan tugas bersamaan, bukan ajang bagi-bagi kue kekuasaan. Toh, jika semua pengakses kesempatan memegang tampuk pemerintahan, jika menjalankan secara “fair play” rakyat akan bisa menilai, semua akan berkesempatan mendapatkan giliran. Giliran untuk memimpin pembangunan, bukan mempertahankan/merebut kekuasaan.

Tentu saja semua berharap kondisi ideal itu bukan mimpi. Cita-cita bangsa tak akan terwujud selama praktik “dagang sapi” masih dijalani. Ingat! Sudah tiga orde! Sebentar lagi pemilu dan sekaranglah saatnya “revolusi”. Bukan revolusi dalam arti mentah menjungkalkan yang telah berlegitimasi, namun revolusi mindset seluruh rakyat dan terutama para pemimpin negeri.

Negara dan rakyatnya bukan sapi gemuk yang pantas dijadikan alasan tawar menawar atau jual beli yang ujung-ujungnya dijagal lalu dibagi-bagikan dagingnya yang segar. Berhentilah menjadikan bangsa ini negeri “pedagang sapi”.

.

.

C.S.

Ingat kolesterol...

Embeeek....eh..Moooouu.!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun