Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Menulis Tanpa "Ruang Sepi"? Bohong Sekali!

9 November 2011   10:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:53 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_141203" align="aligncenter" width="350" caption="from google"][/caption] Ditengah hiruk pikuk dan langgam gerak hidup. Masihkah kau mengingkari diri? Saat kau katakan, menulis tanpa "ruang sepi". Kau selalu saja merendah, tapi sadarlah bahwa itu mampu menjadi kesombongan diri. Kau bilang saat menulis tak butuh perenungan, tak butuh kesunyian bahkan tak butuh pendalaman dan pergulatan hati. Ah, itu bohong sekali. Tak akan hadir sebuah karya tanpa ruang sepi dan pergulatan hati. Sadarilah bahwa ruang keduanya  itu hadir adanya, atau anda hadirkan karenanya. Sedetik, dua detik, ataupun seputaran waktu. Bukankah kau ingin semua keriuhan menyingkir saat menuliskan karya? Agar gerakan hati anda leluasa? Saat  dalam keramaian sekalipun, kau akan mengabaikannya.Memaksakan kesendirian dan kesepian itu ada. Tak ingin ada suara ataupun gerak gangguan, meskipun kadang mengadopsi dengan sebuah reaksi dengan sembari dan sambil lalu, itupun hanya basa-basi. Karena kau ingin, meski sejenak, berpisah diri, bermain hati, menuliskan kata dalam lindungan ruang sepi. Jika keramaian itu mencolek, melongok, mengganggu dan memaksa merampas ruang sepi itu. Ada sebuah pilihan untuk merelakannya. Menyimpan dahulu tulisan itu dan menunggu kembali hingga saat yang tepat tiba. Anda tak peduli saat tulisan-tulisan itu dinilai sastra atau bukan. Ditulis dengan masa lama ataupun instan. Saat menuliskan kata. Pedulilah dan keraskanlah kepala, bahwa itu semua adalah sastra. Akuilah saja, bahwa semua guratan aksara-aksaramu adalah sebuah sastra. Meskipun hanya beberapa baris kata. Ungkapan hati yang ditulis dari "ruang sepi dan sunyi", dan juga pergulatan bahkan tarian hati. Tak peduli berapa lama putaran arloji yang kau butuhkan, untuk melemparnya. Satu detik, satu menit, ataupun pula satu bulan bahkan bertahun-tahun. Ruang sepi itu ada dalam irama tulisan anda. Tentang kasta sastramu itu sendiri, biarkanlah urusan siapa saja yang membaca. Entah dianggap sastra tinggi,rendah,picisan bahkan selangkangan, biarkan saja mata-mata baca yang mengungkapnya. Yang utama mulia adalah, sastramu tidak merusak hati dan rasa manusia. Demikian juga dapat dimengerti sebagian besar naluri sederhana. Untuk apa bersastra tinggi terbang ke awan, jika hanya kau saja yang mengerti, atau segelintir orang? Kau akan lenyap tak berbekas dan takkan dikenang. Terkecuali, jika kau hanya menulis untuk dirimu sendiri. . C.S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun