Welcome to the jungle atau welcome to the jail! Itu sekelumit lugas sambutan saya pada rekan-rekan yang telah memantapkan diri untuk menikah, membina rumah tangga. Meskipun tak mungkin serta merta terucap saat memberi ucapan selamat sebelum foto bersama, kata-kata itu rasanya cukup untuk mewakili gambaran tentang kehidupan setelah menikah nantinya. Yah, karena dalam pandangan saya, tentang menikah dan segala yang akan dijalani setelahnya itu bukanlah sebuah ilmu pasti, bahkan bisa dikatakan bagai “misteri”. Seperti merambah “hutan belantara” dan memasuki ruang-ruang “penjara”. Siapapun itu, baik rohaniwan, agamawan, ilmuwan, psikolog, konseling perkawinan, dan semacamnya saya yakin tak akan berani menggaransi adanya nasihat paling jitu dalam kehidupan berumah tangga agar bahagia. Semua boleh berteori, meneliti, demikian juga berbagi tentang bagaimana cara membina rumah tangga dengan segala cara pandang serta pengalamannya. Namun tentu saja, semua bergantung pada pihak yang menjalaninya, sebab tak ada kondisi yang sepenuhnya sama.
Lalu, apa hubungannya menikah dengan burung, main-main di judul, nih..? Begitu mungkin batin sampeyan,..hehe. Tak semata-mata begitu, lah. Tiap membuat judul tulisan, saya selalu berusaha nyambung dengan isinya, kok. Korelasinya sederhana saja, sangat mudah ditebak. Menikah dan burung. Memangnya, menikah perlu burung? Perlu! Dan sepertinya, ini berlaku bukan saja untuk pasangan yang baru akan menikah saja, tapi untuk kita juga yang telah dan tengah mengarungi samudra pernikahan itu. Nah, ini dia,..ada lagi nih tambahan analogi, menikah itu bagai mengarungi samudra masa depan dengan bahtera rumah tangga,..ck..ck..,..keren, ya?
Pernahkah Anda mengamati burung? Ups! Jangan melihat ke bawah situ! Ini tentang burung beneran, bukan “burung-burung”an. Kalau kita mau sedikit saja melihat lalu belajar dari perilaku burung, ada pesan dan inspirasi yang dititipkan via mereka. Yaitu tentang komitmen, kesetiaan, kerja keras, keceriaan dan sebagainya dari burung-burung dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Burung-burung kecil di sekitar rumah yang masih mudah kita temui saja. Burung gereja, emprit, prenjak atau juga manyar.
Ada kalanya kita temui burung-burung itu begitu telaten, bolak balik mendarat lalu terbang lagi dengan “menenteng” bawaannya. Tubuhnya yang mungil mengepak terbang, paruhnya sibuk mengusung helai-helai rumput kering, “pating kliwir”. Bukan hanya rumput kering, kadang-kadang juga ranting kecil, bahkan plastik atau tali rafia. Yup! Burung-burung itu bisa dipastikan adalah pasangan yang tengah merangkai sarang. Terlihat ribet dan sibuk memang. Tapi, silahkan saja didengarkan, mereka tetap menyelingi dengan kicau riang. Hasilnya? Sarang-sarang yang unik dan cantik. Apalagi kalau Anda pernah melihat sarang burung manyar, begitu elok. Bisakah kita membuatnya?
Tak berhenti di situ, sarang itu mereka persiapkan untuk hidup bersama, lalu menetaskan telur-telurnya. Setelah “piyik-piyik” (anak burung) itu lahir, tugas mereka adalah bekerja keras mencari makan untuk mereka. Menyuapi hingga anak-anaknya perlahan tumbuh. Dari brondol/gundul sampai bulunya lengkap. Kemudian “mendidik” dan mendampingi mereka belajar terbang. Hingga anak-anak itu benar-benar mandiri dan dewasa, lalu membentuk “keluarga” baru dengan pasangannya masing-masing. Begitu kira-kira ringkasan cara hidup para burung. Terus terang, saya begitu terkesan dengan mereka. Sampai-sampai si thole, “piyik” (anak) saya di rumah saya sarankan sering-sering mengambil sejumput beras untuk di taruh di bawah dahan pohon. Sebab burung-burung kecil suka sekali mampir di sana. Sekedar “membantu” keluarga burung itu. Apalagi, cicit mereka membuat hati lumayan nyaman.
Bukan bermaksud menyamakan manusia dengan burung. Tadi kan sudah saya bilang, sedikit banyak mengambil inspirasi dari mereka saja. Tantangan, kodrat serta permasalahan manusia bisa jadi lebih kompleks dari sekedar dapat dibandingkan dengan unggas kecil ini dari segala sisi. Tapi saya pikir, dalam lingkupnya, burung-burung pun memiliki beragam permasalahan rumah tangganya, apalagi habitat mereka begitu nyata tergerus oleh perilaku manusia. Jika burung-burung saja mampu mengejawantahkan “komitmen” dalam sebuah kehendak hidup bersama, maka kita dengan segala kelebihan berkat seharusnya lebih mampu menjalaninya.
Dan pemandangan kecil tentang perilaku burung ini setidaknya bisa menjadi cermin, agar pernikahan itu bisa menjadi hutan yang sejuk, rindang dan tenteram, bukan menjadi tempat yang menakutkan karena tersesat di dalamnya. Agar pernikahan itu menjadi “penjara” yang indah karena keikhlasan untuk mengikatkan diri pada “rantai kasih”nya. Serta menjadi bahtera yang kokoh hingga riak kecil ataupun gelombang adalah nyanyian pengiring saat mengarungi samudra masa depan. Memang indah, namun saya tak hendak mengatakan semua itu mudah. Tapi burung-burung itu bisa. Dan mari kita saling mendoa.
Salam berkeluarga.
.
.
C.S.
bukan ahlinya burung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H