Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menggugat Wilwatikta

16 Mei 2012   11:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:13 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu kotaraja Majapahit begitu suram, apalagi ketika menginjak pertengahan ratri*)nya. Musim yang telah memasuki mongso ketigo*) membuat hawa dingin lebih terasa menusuk tulang. Keadaan ini membuat para kawula lebih memilih untuk terlelap lebih awal, berlindung di balik selimut yang tebal. Meskipun ada pula yang menyukai suasana dingin ini, yakni muda-mudi yang masih dalam masa awal mengarungi hidup bersama sebagai pengantin baru. Rasa dingin itu tentunya lebih menggairahkan bagi mereka untuk melepaskan gelegak darah muda. Berkasih asmara, entah apakah nantinya setelah melewati beberapa warsa mahligai itu masih berhiaskan rona mesra ataukah akan bertengkar sehari-harinya, mungkin karena ketidaksesuaian rasa ataukah hanya merasa kurang dalam harta.

Di lingkup istana Wilwatikta pun suasana sunyi mencekam lebih terasa. Para prajurit yang bertugas jaga yang berpatroli pun hanya hilir mudik dalam beku dan dingin, demikian juga mereka yang berdiri tegak di gerbang Purawaktra*). Memang, kewaspadaan dalam tugas selalu mereka jadikan keutamaan, namun bukan berarti harus serba tegang tanpa bertegur sapa. Tak ada keceriaan seperti malam-malam biasanya, apalagi sebuah pesta perayaan kemenangan perang, setelah pasukan Galuh Pakuan mereka tumpas di lapangan Bubat. Mungkin inilah yang membuat mereka murung, kemenangan perang berbalut angkara yang membuat dada mereka hampa. Namun semua telah terjadi, perintah adalah perintah, dan menjadi pegangan mereka untuk setia mengabdi.

Tak selang lama, keanehan itu semakin menjadi. Bukan hanya kesunyian yang mencekam, namun seluruh kotaraja termasuk istana hening tanpa suara. Seluruh kawula dan prajurit yang berjaga tampak bergelimpangan, meringkuk dalam lelapnya sukma. Tertidur pulas. Ini berarti, mereka telah digulung dalam pusaran ilmu sirep yang tatarannya begitu tinggi. Karena ilmu sirep biasanya hanya mampu menidurkan sasaran yang dituju dalam lingkup yang tidak terlalu luas. Tapi kali ini, seluruh kotaraja tergulung dalam kedahsyatannya. Menyisakan dua orang saja yang masih bertahan, mereka berdiri bersedekap di pelataran istana raja. Yah! Hanya mereka, Sang Prabu Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada.

“ Dia segera datang, Paman Patih...”

“ Benar, Gusti Prabu. Tapi tak semestinya dia lakukan ini. Seluruh prajurit dibuatnya pulas, ini sangat berbahaya..”

“ Hm. Aku cukup mengenal Kakang Kuda Pangukir. Dia hanya ingin kita bertiga yang terjaga dan yakin keadaan aman, sehingga dia putuskan untuk membuat tertidur yang lainnya..”

“ Mudah-mudahan saja, Gusti Prabu..”

Yang mereka bicarakan dan ditunggu kedatangannya adalah Kuda Pangukir. Dia masih bisa disebut sebagai saudara tua raja majapahit ini. Sebuah cerita yang maha panjang dan rumit membungkus dan sengaja menutup keberadaannya. Tersebut kisah yang serapat mungkin ditutupi oleh pihak istana, terutama Gajah Mada. Adalah bibi dari Hayam wuruk, Dyah Wiyat Rajadewi yang pernah bertahta bersama ibundanya, Tribhuana Tunggadewi, memiliki riwayat tersendiri berkaitan dengan suaminya, yang dahulu dikenal dengan nama Raden Kudamerta.

Raden Kudamerta ini secara rahasia sebenarnya telah memiliki seorang istri, Dyah Menur, yang karena perjodohan dan pertimbangan ketatanegaraan harus dipisahkan, agar Raden Kudamerta dapat hidup tenang bersama sekar kedaton Dyah Wiyat Rajadewi. Adapun kenyataan bahwa Dyah Menur memiliki anak dari Kudamerta selalu disepakati untuk ditutup rapat-rapat, termasuk oleh Dyah Menur sendiri yang pada akhirnya mampu berbesar hati menerima nasib hidupnya. Dia menikah dengan Senopati Pradabhasu, yang memilih keluar dari keanggotaannya sebagai Bhayangkara, meski setiap saat dibutuhkan negeri dia siap, Pradabhasu tetap sejauh mungkin mengasingkan diri bersama Dyah Menur dan anak tirinya, Kuda Pangukir.

Dan meskipun ditutup rapat, namun berjalannya waktu tak membuat Kuda Pangukir lenyap begitu saja dan kalangan istana mengetahui tentang keberadaannya. Apa yang dahulu dikhawatirkan pihak istana, termasuk Gajah Mada bahwa Kuda Pangukir akan menjadi klilip *) tahta Hayam Wuruk ternyata tidak sepenuhnya terbukti. Kuda Pangukir pun lebih sering mengembara sebagai kawula, setelah sebelumnya pemuda gagah mandraguna ini lebih banyak mengisi hidupnya berguru pada orang yang tepat, Mpu Pancaksara, yang dikemudian hari lebih dikenal dengan Mpu Prapanca. Hanya sesekali waktu Pangukir sengaja menemui Hayam Wuruk, untuk sekedar beranjangsana dan memberikan masukan tentang keadaan kawula secara nyata. Dan ini sangat diterima karena sangat berguna.

Namun permintaan Kuda Pangukir untuk bertemu dengan sang raja dan patihnya terasa sangat berbeda dari biasanya. Secarik rontal yang dikirim melalui seekor merpati berisi aksara yang menciptakan ketegangan dan resah hati penerimanya, Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Singkat dan penuh amarah.

“ Dhimas Sawung dan Paman Mada, tengah malam ini hanya kita bertiga berpadu netra, aku hendak MENGGUGAT bijaksanamu keduanya. Pangukir.”

Bagi Hayam Wuruk yang telah biasa dipanggil Sawung oleh kakak jauhnya itu, serta untuk Gajah Mada, torehan kata “menggugat” yang digunakan oleh Kuda Pangukir ini seperti yang selama ini berlaku adalah sebuah keluh kesah yang berat. Yang mana gugatan itu bermakna sebuah tantangan oleh krida kanuragan terlebih dahulu, agar isi dada Pangukir yang berat terasa lapang untuk berbicara. Dan ini sebenarnya bukan sekali dua kali terjadi, yang meskipun berbahaya, namun karena selama ini tataran digdaya mereka setara, selalu berakhir dengan tanpa luka.

Sang bayu berkesiur pusarkan dingin di pelataran itu, daun-daun ketapang tak mampu bertahan untuk tetap tertaut di dahannya, mereka harus tanggal berguguran, tertiup lalu melayang hingga akhirnya pasrah ke haribaan tanah. Hayam Wuruk dan patihnya saling berpandangan serta mengangguk perlahan, mereka paham, Kuda Pangukir telah datang bersama tanda yang ia biasa berikan.

“Selamat malam, salam kejayaan, Dhimas Sawung, Paman Mada..”, suara itu begitu mantap gemanya, seiring tubuh tegap yang dengan ringannya turun dari jaraknya beberapa depa di atas bantala, tanpa suara. Bagi orang yang memandangnya secara kasat mata karena tak berilmu, akan melihat bahwa lelaki gagah yang baru saja mengucapkan salam ini, baru saja mendarat dari terbangnya.

“Selamat malam, salam jaya”, Hayam Wuruk dan Gajah Mada menyambut bersamaan, tak kalah gema suaranya.

“ Masihkah olah caraku ini kalian terima?”

“ Tentu saja, silahkan Kakang Pangukir..”

“ Tentangmu, Paman Gajah?”

“ Tak berubah, seperti yang selama ini, Nak Mas..”

“ Baiklah, silahkan bersiap, terima lah kelancanganku”

Dan seperti telah berjalan biasa, bagi yang pertama melihat pastilah bertanya-tanya. Namun tantangan seperti dalam suratnya yang mengatakan yang digugat adalah “keduanya” memang berarti adalah satu melawan dua. Dan ketiganya pun melenting, untuk menyatakan kata terbang ke tepi kalangan, masing-masing bersiap dengan kuda-kuda kanuragan yang begitu agung pesonanya.

“ Siuuut...Wusss..Wusss!”

Ketiga wadag itu bersamaan melayang, gerakan mereka yang sulit ditangkap mata lebih tepat disebut bayangan, bergulung dan berpadu di tengah pelataran. Bulan purnama yang sinarnya begitu terang seolah terbelalak dalam kekaguman. Yang dilihatnya saling merangsek dan menghempas itu benar-benar berwujud bayang-bayang.

Dan mereka benar-benar laksana terbang beberapa jengkal di atas tanah, bergantian saling mendesak. Adakalanya sisi Kuda Pangukir yang menepi ke pinggir, namun sekejap berganti pihak Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang terpaksa terjajar mundur. Di selingi suara benturan-benturan yang menggema bagai dari alam lain yang mengumandang.

“ Derr! Glarr! Dess!..”, namun tak sekalipun ada bunyi mengaduh pertanda salah satu pihak terkena pukulan.

Hawa di pelataran itu pun sedemikian cepatnya berubah-ubah. Terkadang sedingin es yang beku, namun dalam jeda sekejap dengan mudah berubah menjadi panas laksana bara api yang memancar dari tungku seorang empu yang tengah mengukir keris pusaka. Tak heran, pepohonan, tanaman bunga dan perdu yang harus rela layu dan mengering terpanggang, bahkan beberapa tercerabut terbang meninggalkan akarnya oleh pusaran angin dahsyat dari benturan ketiganya berlaga.

“ Blemmm! Pyaar!!”, sebuah patung dwarapala dari batu hitam yang besar hancur sewalang-walang, entah oleh pukulan siapa, yang jelas di antara ketiganya.

Cukup lama putaran waktu yang berjalan saat mereka adu batin dan raga, setara dengan masa yang dibutuhkan untuk secangkir teh panas menjadi dingin. Dan pada keprigelan yang mencapai tahap puncaknya, tampak ketiga bayangan itu saling melesat dan berpadu. Menyatu! Lalu berputar begitu cepatnya dalam putaran yang semakin membesar, menciptakan sebuah angin puting beliung. Semakin besar dan semakin besar! Menghisap segala benda yang ada di sekitar pelataran. Batang pohon, batu, serpihan patung, bahkan bangku-bangku taman tak lepas menjadi korban, terhisap tanpa ampun. Asap putih nan tebal tak lama kemudian ikut berpadu dengan gempitanya pusaran, menutup sebagian besar ajang pertempuran.

Pada saat ini dapatlah diterima alasan yang wajar, mengapa Kuda Pangukir membuat tertidur seluruh istana dan kawula, supaya tidak terjadi keriuhan suasana akibat pertarungan yang mereka lagakan.

Mungkin karena pertimbangan tak ingin meluaskan kerusakan, atau justru tataran digdaya laga yang mencapai ujungnya, puting beliung hasil perpaduan mereka seakan sebuah pegas yang lentur, melesat terbang ke atas meninggalkan bumi. Terus ke atas dan...menghilang!

Beberapa saat suasana menjadi hening kembali, hanya kesiur angin alami yang sedepa demi sedepa menyingkirkan asap dan kabut tebal yang sebelumnya melingkupi pelataran. Ketika berangsur kembali seperti semula, yang ada di pelataran sungguh menakjubkan!

Tampak di sana, tiga sosok yang sebelumnya beradu tanding itu masing-masing duduk bersila. Sulit untuk dipercaya! Entah kapan mereka kembali turun menjejak bumi, tapi yang jelas, ketiga orang sakti mandraguna itu tampak sedemikian tenangnya mengatur jalan napas hingga akhirnya seperti sedia kala. Pertarungan sebagai awal gugatan itu telah usai! Andaikan ada satu orang prajurit saja yang lolos dari sirep dan menyaksikan laga ini, diyakini ia akan sulit mengatupkan mulutnya. Ternganga.

Setelah sunyi sejenak, mulailah kembali mereka buka suara. Langgamnya tetap menggema, seolah tak pernah terjadi bahwa baru saja usai menguras tenaga.

“ Kakang Pangukir, sekarang saatnya kau sampaikan gugatanmu”

“ Sendika, Dhimas. Yang pertama, aku menujukannya kepada Paman Patih Mada”

“ Silahkan, Nakmas”, sambut Gajah Mada.

Menghela napas sekejap, Kuda Pangukir dengan tegas dan jelas menyampaikan maksudnya.

“Paman Patih. Aku mohon panjenengan tak hilang waspada untuk mengamati tindak tanduk pasukan Bhayangkaramu”

“Ini tentang apa, Nakmas?”

“Tentang Dhanapati”

“Mohon diperjelas”

“Sekitar tujuh orang Bhayangkara Biru, di bawah pimpinan Buriswara telah melakukan kesalahan fatal terhadap Dhanapati yang sudah undur diri dari kesatuan”

“Terkait Dhanapati, mereka memang kuberi wewenang untuk menegakkan aturan”

“Tapi tahukah Paman? Mereka telah membantai seluruh kawula dukuh Weru yang tidak ada sangkut pautnya dengan Dhanapati yang dianggap melanggar tatanan prajurit. Adapun Dhanapati, menurutku tidaklah serta merta bisa dihukum. Karena meskipun keluar dari kesatuan, dia dipastikan akan tetap bersedia mengabdi dengan caranya sendiri. Seperti ayah angkatku dahulu, Pradabhasu”

“ Baiklah, kuterima gugatmu. Buriswara dan yang terlibat akan mendapatkan hukuman sesuai kitab Kuttaramannawa*)

“ Terima kasih, Paman Patih. Selanjutnya gugatanku kepada Dhimas Prabu dan juga masih berhubungan denganmu, Paman Mada”

“ Kami dengarkan, teruskanlah”, tanggap sang raja dan patihnya ini.

“ Ini tentang perang Bubat. Aku harap, Majapahit tak menggunakan lagi olah perang yang tak mulia ini”

“ Kakang Pangukir. Terus terang, ini tak sepenuhnya sebuah rencana, banyak kesalahpahaman di sana. Bagaimana pula jawabanmu, Paman Patih?” Hayam Wuruk utarakan jawabnya dan meminta pertimbangan pula kepada Gajah Mada.

“ Hamba tak ingin mendebat lagi, ini masalah perang yang terlanjur terjadi. Namun, hamba berjanji, yang seperti ini tak akan terjadi lagi”

“ Baiklah, aku menghargai kebesaran hati kalian berdua. Ku harap, kenangan pahit ini selanjutnya harus ditebus dengan melindungi kawula tlatah Galuh sebagai saudara muda, selamanya, hingga anak cucu kita”

“ Kita berharap bersama”, sambut keduanya bersamaan.

Kembali hening. Kuda Pangukir seolah usai menyampaikan seluruh gugatannya, namun tampak ada bimbang dan sedih yang mendalam tergambar di mendung wajah tampannya. Tak tampak ia ingin beranjak.

“Kakang Pangukir, masih adakah yang mengganjal di hati?”

“Dhimas. Ini masalah pribadi, meski tak pantas kukatakan, namun harus kusampaikan demi kelegaan batin ini”

“ Katakanlah, Kakang”

“ Aku hanya ingin mengatakan, sebelum memutuskan menerima pinanganmu, Dinda Dyah Pitaloka adalah.... kekasihku”

Hayam Wuruk dan Gajah Mada tercenung. Bagaikan ada duri-duri dingin yang merambat lalu menancap di punggung mereka, nyeri dan membuncahkan penyesalan tiada tara.

“ Kakang Pangukir, mengapa kau tak...., ah...kumohon besarnya maafmu dari dasar hati...”

Pangukir menyesap napas yang demikian panjang, lalu menghempaskannya hingga tandas. Ia tak menjawab lagi, hanya anggukkan kepala dengan senyum pahit.

“ Seluruh sirep sudah aku tarik. Aku mohon diri..”

“ Silahkan, Kakang..”

“ Silahkan, Nakmas..”

Kuda Pangukir beranjak, setelah memberikan penghormatan, ia pun menghilang dalam sekejap, gerakan yang halus namun begitu cepatnya, sulit untuk diikuti mata kawula biasa. Hayam Wuruk dan Gajah Mada saling berpandangan, keduanya terdiam dengan bisikan hatinya masing-masing. Hadirnya Kuda Pangukir kali ini sedemikian besar pengaruhnya pada perasaan mereka. Hingga tak menyadari ada sosok lain yang ternyata hadir dan menyaksikan yang terjadi. Dan suara halus lembutnya cukup untuk membuat mereka terhenyak.

“ Kuda Pangukir, semoga para dewa melindunginya...”

“ Ibu Suri Gayatri..?” paling Hayam Wuruk, demikian juga Gajah Mada.

“Hemh. Semua telah terjadi, dan Prapanca akan mencatatnya dengan abadi sebagai kawruh anak cucu nanti..”

“Apakah seluruhnya, Gusti Putri?”

“Aku tak tahu pasti, Patih. Tapi aku yakin, Perang Bubat akan masuk di dalamnya..”

Senyap kembali hadir, angin semakin dingin menyapa. Majapahit kembali merenung, peristiwa-peristiwa apakah yang akan dicatat oleh Mpu Prapanca dan akan berwujud seperti apa Nusantara nantinya, pada jaman anak cucu penerusnya. Akankah semakin jaya, ataukah runtuh karena pupusnya jiwa-jiwa ksatria.

***

C.S.

Inspirasi : “Darah di Wilwatikta” , Padepokan Rumah Kayu

“ Trilogi Gajah Mada”, Langit Kresna Haryadi

Dan lain-lain.

mongso ketigo= musim kering/panas

klilip = Debu/pengganjal mata

Purawaktra       = Gerbang Utama

Kuttaramannawa = Hukum Jaman itu (kalau tak salah ketik/eja)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun