“Bung, ada tugas “sulit” yang karyawan lain enggan mengerjakannya, bisakah Anda membantu?”
“ Tapi, itu bukan “job desk” saya, Pak?”
“ Yup, tapi pelaksana tugasnya “menyerah”, menurut saya Anda mampu, maukah Anda “berkorban” untuk mengambil tanggung jawab lebih?”
Kutipan awal di atas adalah salah satu contoh sebagai ilustrasi. Percakapan antara atasan/bos dan karyawannya. Kata “berkorban” sengaja saya beri tanda kutip karena maksud pengartiannya adalah pekerjaan sulit/berat yang ditawarkan kepada bawahannya tidak berimplikasi secara formal terkait prestasi kerjanya, karena tidak tercatat sebagai tugas utama/job desk karyawan itu. Dengan kata mudah, sudah sulit, tak ada penghargaan langsung secara materi, serta meminta perhatian khusus di samping tugas utama karyawan itu. Karyawan lain mungkin enggan, tak sanggup dan dengan berbagai alasan sengaja “menghindar”.
Jika kita berada pada posisi si karyawan itu, sikap apakah yang harus kita ambil?
Bisa saja kita mengambil sikap yang sama seperti yang lain. Mencari “aman” dengan berbagai alasan yang masuk akal, toh tugas utama kita tak menemui masalah. Atau bisa juga “terpaksa” menerima karena rasa sungkan terhadap atasan. Tentu saja, kalau sudah ada rasa terpaksa, maka hasilnya akan “untung-untungan”, berhasil ya syukur, nggak berhasil ya sudah, yang penting telah mencoba. Berhasil atau tidak tak berpengaruh pada “materi” yang kita terima. Apalagi jika tingkat kesulitan tugas itu sedemikian tinggi, bahkan sangat “berisiko” baik secara pribadi ataupun organisasi/perusahaan, pasti akan sangat berat menyatakan kesanggupan.
Lalu bagaimana sebaiknya harus bersikap? Jika ditempatkan pada kondisi seperti ini, pertimbangan utama yang sebelumnya kita ambil sebaiknya adalah JUJUR, terutama pada diri sendiri. Di antaranya adalah secara jeli menilai apakah tugas utama kita tetap bisa dilaksanakan dengan baik meskipun diberikan tanggung jawab tambahan yang berat itu. Lalu mengukur kapasitas diri, apakah benar yang dikatakan atasan bahwa kita mampu. Yang terakhir adalah benarkah kita siap-siap “ikhlas” untuk mengorbankan energi yang lebih meskipun tak ada tambahan materi terkait tanggung jawab itu.
Jika kita benar-benar merasa hal itu diluar kemampuan, maka berikan alasan yang masuk akal dengan ketidaksiapan kita. Tapi ketika komponen-komponen di atas jawabannya adalah “IYA”, maka sebaiknya kita menyatakan “Oke, siap laksanakan”.
Sebuah hal yang patut pula dipertimbangkan, apalagi terkait tingkat kesulitan serta risiko pekerjaan itu, alangkah baiknya mengajukan sebuah usulan mengenai kemungkinan tugas/tanggung jawab itu dilaksanakan secara “team”. Sehingga pekerjaan yang berat itu dapat di share supaya terasa lebih ringan. Dan energi anda tidak terkuras karena mengerjakan seorang diri.
Yang pasti, penghargaan tidaklah selalu berwujud materi yang langsung terwujud saat itu juga. Tetapi bukankah pengguna “bantuan” kita pasti mempunyai catatan tersendiri, dan bersyukurlah karena kita akan mendapatkan “kekayaan” tambahan karena ilmu serta pengalaman yang kita dapat. Itu mahal harganya.
Manfaat yang besar akan datang saat kita mampu melaksanakan tanggung jawab yang lebih besar, meski di luar tugas utama kita sekalipun. Mungkin mereka yang mencari “aman” merasa nyaman saat ini, tapi mereka tak sadar bahwa “ketergantungan” kepada kita itu telah tercipta, kartu “truf” ada di genggaman kita, di sana ada daya tawar kita ketika suatu saat harus mengemuka. Ada nilai plus di sana. Bukankah lebih baik menjadi karyawan yang “bukan biasa-biasa saja”?
Dan satu lagi, jangan lupa berdoa untuk kelancaran tugas kita. Amin.
Salam berkarya.
.
.
C.S.
Siapa bilang itu mudah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H