Setiap berdiri di depan kasir pusat perbelanjaan, saya selalu deg-degan. Kuatir dengan berapa jumlah uang yang harus digesekkan untuk membayar barang-barang kebutuhan kami sekeluarga selama satu bulan. Kami memang lebih menyukai belanja cara ini karena berpendapat jika membeli barang secara eceran akan menjadi lebih besar secara total pengeluaran.
Dan setiap usai belanja, setelah mengetahui nominal yang kami bayar, yang seringkali terjadi adalah “ribu-ribut” kecil antara kami, saya dan istri.
“ Mama beli barang apa saja sih? Perasaan kok gede banget bayarnya...”
“ Ya, ampun, Yahh! Yang kita beli nggak jauh beda kayak bulan kemarin. Memang banyak yang naik harganya,..”
Sampai di rumah, kami bongkar kantung-kantung belanjaan itu dan selalu dicek kembali, bergaya mengevaluasi, apakah kami telah membeli barang yang “salah”, dalam artian “tidak terlalu penting”. Hasilnya? Kami menyerah, karena meskipun tidak semua yang kami beli itu merupakan kebutuhan pokok, katakanlah secara ekonomi bisa di katakan barang pelengkap, namun kehadirannya memang dibutuhkan untuk “hidup wajar” sehari-hari. Kondisi ini membuat kami menyadari, pada posisi mana “status” kami diletakkan secara ekonomi. Miskin? Tidak! Kami tak merasa miskin. Kaya? Masih jauh, orang kaya hampir dipastikan tak pernah “ribut-ribut” seusai belanja.
Disadari ataupun tidak, pengeluaran yang membuat kami “megap-megap” selama ini memang didominasi barang kebutuhan yang sebenarnya hanyalah pelengkap, namun karena keinginan hidup “wajar” yang mungkin telah mengadopsi budaya yang selama ini berjalan secara umum, sulit untuk melepaskan diri dari barang-barang pelengkap itu. Bukankah sejak dahulu teori kebutuhan pokok secara ekonomi belum berubah? Pangan, sandang dan papan?
Di luar kondisi Anda megap-megap seperti saya atau tidak, silahkan sekali-sekali dipandang ulang ketika anda usai belanja (bulanan). Banyak barang yang sifatnya pelengkap (boleh juga diistilahkan sebagai tersier) mengambil porsi besar dalam pengeluaran bulanan kita. Contohnya, susu anak-anak. Anda boleh mendebat bahwa susu anak-anak adalah kebutuhan pokok. Tapi bukankah sebenarnya itu pun hanya pelengkap? Kebutuhan pokoknya untuk ini adalah makanan untuk mereka, asalkan mereka doyan makan, syukur-syukur terpenuhi nasi, sayur, dan lauknya, mereka tetap bisa tumbuh sehat. Tapi karena faktor ingin agar anak kita lebih sehat ataupun cerdas, maka tertanam secara masif bahwa anak-anak sangat membutuhkan susu dan ini sangat sulit untuk dilepaskan, budaya minum susu telah tertanam. Dan siapa yang diuntungkan pertama kali? Yaaa...penjual AA, DHA, lactobaccilus protectus, dan sebagainya,...pabrik susu! Di jaman saya, hanya kenal susu ibu, susu pabrik belum tentu sebulan sekali nyicip, buktinya saya nggak bodo-bodo amat (pede mode on).
Tentu banyak contoh lagi. Misalnya, meskipun tidak setiap bulan kita beli, pakaian dalam seperti BH ataupun sempak/celdam, kaus kaki, sepatu dan “aksesoris” sandang lainnya. Belum lagi yang hampir setiap bulan kita beli seperti pembersih/pewangi lantai, deterjen, sabun mandi, shampo, pasta gigi, bedak, parfum,buku, koran...lalu..apa lagi?
Untuk menyarankan tak mengkonsumsi semua itu pasti sangatlah tak mungkin, bisa-bisa saya Anda minta kembali ke jaman purba.Lalu sebaiknya bagaimana? Ya, normatif saja, tambahlah penghasilan atau membuat skala prioritas untuk segala kebutuhan (pelengkap) di atas dan jangan mudah terpengaruh iklan yang macem-macem. Tapi semua prioritas, penting! Gimana dong? Nggak tau, ah. Saya juga lagi “pusing”! ^-^
Salam megap-megap,..eh..hemat.
.
.
C.S.
Kok ada parfum anak2? Siapa yang masukin ke keranjang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H