Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mark Up Di Sana Sini Hingga “Jadi”

30 Mei 2012   05:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mark Up. Dengan mengartikan satu persatu kata-kata itu, saya memberikan definisi yang tampaknya sama saja dengan pengartian yang benar secara umum. Mark = Nilai, Up = Naik. Jadi Mark Up artinya “nilanyai naik” atau lebih tepatnya “dinaikkan nilainya” ketika dipadankan dengan “di-mark up”. Lebih mengembang pengertian yang tak jauh beda, kata di atas lazim dimaknai sebagai “penggelembungan, penambahan, pengatrolan” nilai menjadi lebih tinggi daripada nilai sesungguhnya/awal.

Mengenai “benar atau salah”nya tindakan me-mark up itu tentu saja tergantung pada konteksnya. Yang terlihat benar bisa salah, yang terlihat salah pun belum tentu tidak benar. Baik salah ataupun benar, motivasi untuk melakukan mark up itu pada substansinya sama, yaitu ingin adanya “keuntungan” dan menghindari kerugian. Baik keuntungan/kerugian dari selisih nilai itu sendiri ataupun efek tak langsung dari hasil menaikkan nilai itu. Hal ini lebih kentara saat berhubungan dengan "barang dagangan".

Teman saya bermain futsal, sebutlah namanya Said, pernah bercerita tentang “proses” pembelian sepatu futsalnya. Pada sebuah toko perlengkapan olah raga, dia berminat pada sepasang sepatu bermerk tenar tapi “abal-abal”. Si pedagang menawarkan harga awal Rp.150.000,- dan Said mencoba menawar dengan harga Rp.40.000,-.

Si pedagang tentu saja terlihat keberatan,” Ah, yang bener saja nawarnya, Bang. Masak segitu, “nggak wajar” lah nawarnya”.

Si Said pun mencoba menaikkan harga tawaran”, Ya, udah. Rp.50.000,-“. Si pedagang masih keberatan “, Udahlah, Rp.100.000,-. Saya ambil untung “tipis” nggak papa”.

Said sambil ngeloyor bertahan dengan tawarannya. Sampai diparkiran toko, penjualnya tergopoh-gopoh menyusul. “ Bang, Rp. 60.000,- deh, boleh ambil harga jadi..,hehe”. Said pun setuju, sehingga harga akhirnya yang terbentuk adalah Rp.60.000,-. Padahal sebelumnya si pedagang bilang, Rp.100.000,- saja untungnya tipis, tapi Rp.60.000,- dikasih.

Meskipun mungkin soal angka yang saya sebut itu tidak persis banget dengan yang terjadi , tapi pokok penggambarannya saya pikir mengena. Yaitu tentang “berapa harga awal sesungguhnya”, harga kesepakatan, dan perkiraan “keuntungan” yang diambil pedagang. Kalau saja Said kurang jeli, bisa saja dia membeli sepatu dengan harga Rp.100.000,- bahkan Rp.150.000,-. Yang seperti ini dalam keseharian pasti pernah/sering kita alami saat membeli barang di pasar ataupun para pedagang yang tidak menerapkan harga pas (mall, dsb), kalau malas menawar bisa “kejeblos”.

Contoh lain, saya pernah merenovasi rumah melalui jasa “pemborong” bangunan. Karena partainya kecil, tentu saja tak menggunakan tetek bengek perjanjian kontrak segala macam. Intinya, “proyek” yang dikerjakan apa, spesifikasinya apa, dan berapa harga yang disepakati terjadi. Begitu banyaknya detail ataupun hal-hal “kecil” yang tak dibahas, pada akhir pengerjaan terjadi rasa tidak puas. “ Loh, Pak, kok catnya tipis? Kayunya kurang tebal? Dan lain-lain”. Tentu saja si pemborong berkilah”, Wah, kalau inginnya seperti yang Mas maksud, saya bisa rugi”. Maka itu sebenarnya saya lebih suka meluangkan waktu untuk mengawasi tukang yang bekerja secara dibayar harian.

Sedikit beda karena tolak ukurnya tak selalu uang, heboh Ujian Nasional anak sekolah wajar diyakini juga menjadi ajang “mark up” nilai anak didik yang sekiranya bisa “ditolong” agar lulus sekolah. Siswa senang, sekolah senang, atasan sekolah senang.

Lebih membesar lagi lingkupnya ketika menyangkut uang negara. Pola yang telah membudaya mengenai penggelembungan nilai ini hampir selalu menjadi modus utama untuk melakukan perbuatan yang disebut korupsi. Tergoda untuk mengambil keuntungan pribadi, menganggap proyek semata sebagai "barang dagangan" meski sering dipungkiri sering terjadi. Banyak pejabat yang tergelincir dalam perangkap korupsi menjadi terpidana karena “bermain-main” dengan mark up ini. Sistem pengadaan/proyek yang tidak sesuai ketentuan, “jor-jor”an dalam mengambil keuntungan hingga mengorbankan mutu proyek yang harusnya dinikmati masyarakat. Bukan sekali dua kita dengar adanya jalan yang rusak sebelum waktunya, gedung sekolah ambruk, ataupun jembatan runtuh.

Catatan kecil khusus hal ini, terjeratnya pejabat/panitia pengadaan/proyek ini dalam kasus korupsi pun bisa terjadi bukan semata-mata karena “niatan/kesengajaan” korupsi, namun bisa pula karena keterbatasan pengetahuan tentang sistem/ketentuan ataupun teknis/spesifikasi barang/proyek, dan tidak menutup kemungkinan adanya pihak “yang lebih pintar” dan tega “mengorban”kan sehingga ketika terdapat indikasi adanya kerugian, merekalah yang dipersalahkan. Ini pun fenomena baru bahwa banyak “ketakutan” saat harus bertugas menjadi pantia pengadaan/proyek, hal ini secara tidak langsung bisa berkaitan dengan lambatnya penyerapan anggaran.

Bisa njelimet jika ditelisik. Nilai awal, mark up, serta margin keuntungan memang bisa dipermaklumkan, namun alangkah baiknya dilandasi kejujuran, kewajaran, itikad baik dan sistem yang mengadopsi adanya keterbukaan sehingga tidak mementingkan diri sendiri.

Mark up sana mark up sini, terjadilah apa yang mesti terjadi, tapi tak bisakah mendengar kata hati, agar bisa ditoleransi? Akan lebih mulia jika memberikan "nilai lebih" (added valued), bukan sekedar "menaikkan nilai" (mark up).

Salam.

.

.

C.S.

Apanya yang mau dimark up..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun