[caption id="attachment_132446" align="aligncenter" width="140" caption="from google"][/caption]
Beberapa waktu lalu dasboard facebook saya menerima permintaan pertemanan dengan pesan kerinduan. Mantan teman SMA sebangku saya, bertahun-tahun tak sua kembali menyapa. Percakapan rindu dan kangen yang tidak bertepuk sebelah tangan. Ingat masa SMA tak lepas dari keseharian kami. Sahabat saya ini hidupnya penuh kesederhanaan. Sama seperti saya, meski level saya sebenarnya dibawah sederhana saat itu. Dia ke sekolah bersepeda balap,Saya naik angkot atau jalan kaki. Sepeda itulah yang rutin saya pinjam saat ada jam tambahan belajar di sekolah (pengayaan) dan aku yang kurang tahan lapar harus pulang sejenak untuk makan siang. Saat ini, dia sudah menjadi pilot salah satu maskapai penerbangan terbesar negeri ini. Dan satu hal yang kuingat. Pada masa itu dia adalah salah satu pemuda, atau bisa dibilang remaja organisasi Islam paling sejuk yang kukenal, Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Dari dialah pertama kali seorang Nasrani seperti saya mengenal GP Ansor. Meski muda, paling tidak secara nyata dia telah berhasil menjadi “duta” persahabatan. Duta kesan yang sesuai kenyataan. GP Ansor yang bersaudara dengan seluruh Indonesia.
Kesan damai organisasi pemuda dibawah binaan Nahdatul Ulama (NU) ini sampai sekarang tetap menunjukkan konsistensinya. Kebulatan tekad menjaga Indonesia yang ber-bhinneka. Jujur. Saya bukan ingin menjilat atau mengharap sekedar “belas kasihan” ataupun butuh “perlindungan” demi minoritas kepada mayoritas. Namun ungkapan ini tulus dan murni timbul dari kesan yang dalam. Kesan damai, bersahabat dan saling menghargai. Ditengah isu-isu pergesekan SARA di negeri ini dengan berbagai apapun teori yang melatarbelakanginya. Yang jelas fakta itu nyata menurut saya. Fakta bahwa dari dulu sampai sekarang dan mudah-mudahan selamanya. Bahwa GP Ansor telah mendarah daging sebagai penjaga perdamaian negeri.
Masih teringat langkah-langkah nyata mereka dan Alm. Gus Dur saat “pasang badan” melindungi Ibadah umat Katholik di gereje Sang Timur Tangerang. Demikian juga meski Sang Gus Dur telah tiada pun mereka tak surut melaksanakan komitmennya. Yang baru-baru ini nyata terlihat bahwa mereka tampil di depan membantu jemaat korban ledakan bom teroris di Gereja Bethel Injil Sepenuh Solo. Menjaga stabilitas keamanan pasca ledakan bom serta mengantisipasi pergolkan suasana yang mungkin timbul. Banyak yang sudah merasakan betapa mudahnya berkordinasi dan bekerjasama dengan mereka terkait kehidupan beragama.
Meski mungkin saja masih ada pihak yang “kurang cocok” ataupun berseberangan dengan langkah-langkahnya terkait kehidupan plural di Indonesia. Itu pun sebuah dinamika. Yang jelas Indonesia bisa menilai dan merasakan. Bahwa sejauh ini langkah-langkah dan komitmen GP Ansor mampu menjadi bukti nyata dan riil bahwa kehidupan bersama ditengah perbedaan di Indonesia telah mereka laksanakan dengan tindakan. Tindakan yang mampu menjadi penyejuk “panas”nya isu SARA di Indonesia. Mereka nyata mengaplikasikan apa yang di ucapkan dan apa yang diperbuat. Mereka tidak berbusa-busa dengan ayat-ayat agama. Namun bergerak dalam tindakan nyata. Melindungi Indonesia.
GP Ansor mampu menjadi contoh dalam hal pengayoman dari yang besar kepada yang kecil. Tanpa sedikit pun merasa terancam akan eksistensi pihak yang kecil. Karena sejatinya mereka telah menemukan intisari dan substansi dari Iman yang mereka yakini. Memanusiakan manusia. Manusia Indonesia. Salam damai yang sejuk untuk saudara kita di GP Ansor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H