Aku tak tahu bagaimanakah cara menghilangkan debar itu padanya. Selalu saja ada meski dia sudah berulangkali mengatakan “, Kita bersahabat saja..”. Dan entah mengapa jawaban itu tak sedikitpun membuatku sakit rasa. Padahal jelas itu adalah sebuah penolakan cinta, dan bukan hanya satu kali saja, dari bibir indah yang sama.
“ Surya, maaf ya,....beneran, aku lebih nyaman kalau kita berteman saja..”
“ Hmm,..ya sudah, tak apalah..”
Sedikit kecewa, tapi tulus senyumnya membuatku tenteram. Itu penolakan yang pertama, ketika kami masih remaja dan duduk di SMP yang sama, pada sebuah sore saat usai berlatih tari bersama di aula. Seluruh sekolah tahu, bahkan mengira kami telah berpacaran. Dan semua tahu, tak ada yang bisa sebaik pasangan Surya dan Kirana saat membawakan dua buah tarian berpasangan yang sangat jauh berbeda, tari Bambangan Cakil dan Karonsih . Banyak yang memberikan applaus saat kami berpentas, mereka bilang aku sangat luwes saat memerankan Cakil dan Kirana menjadi Srikandi ketika menari Bambangan Cakil, demikian juga saat aku menjadi Panji dan Kirana menjadi Dewi Galuh saat kami menari Karonsih. Dan jujur saja, tarian kedua ini yang paling kusuka, karena bersama dia.
“ Surya,.. nih...aku pegang tanganmu, kupeluk kamu, aku sama sekali biasa saja, seolah kamu itu saudara....”, dia berkata sembari melakukan hal yang diucapkannya.
Aku hanya tersenyum berbalut sipu, tapi dalam hati sungguh membantah “, Ah, Kirana..., kau tidak tahu, jantungku berdegup keras seakan ingin lepas..!”
Kebersamaan kami itu seperti diiringi oleh waktu, tak pernah jeda meski bertambahnya usia, saat berlanjut ke SMA ataupun menjalani masa kuliah, selalu berdua. Bahkan saat kamipun ternyata harus bekerja di kota yang sama, Jakarta. Hanya saja sekarang menjadi sungguh berbeda, paling tidak untukku, karena Kirana sudah bertunangan! Sedangkan aku belum juga mampu lepas dari belenggu perasaan. Seperti pungguk yang merindukan bulan.
***
Kirana mulai melupakan aku. Ah, tapi mungkin itu hanya perasaanku. Buktinya ia tetap selalu ingin bertemu, walaupun itu hanya ketika ia membutuhkan tempat bercerita, saat bertengkar dengan kekasihnya. Tapi, itulah aku, lelaki bodoh yang seolah ingin berperan menjadi dewa. Di bibirku terucap kata-kata bijak agar dia bersabar, padahal dalam hati ingin hubungan mereka putus saja!
Seperti juga malam ini, malam minggu yang biasanya aku hanya sendiri, menjadi terisi karena Kirana ingin ditemani. Dan penyebabnya sudah pasti, ingin melapangkan kesalnya yang melanda hati.
Hembusan angin laut membelai kami yang terduduk sepi di resto temaram kuning emas ini. Sayup debur ombak tak menenggelamkan lirihnya yang terisak. Tapi layaknya bara yang sekian lama terpendam dalam sekam, nyeri di hatiku adalah sebuah geram. Bukan pada sosok lembut di depanku ini, namun pada sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa sekian lama aku tak mampu melenyapkan rasa ini, sedangkan dia hanya memberikan aku ruang lain, tidak seperti yang kuangankan. Dan kini, bukan lagi pertama kali, harus kusaksikan ia menangis karena lelaki yang ia berikan ruang utama itu.
“ Kalian bertengkar lagi?”
“ He’em.., Mas Hendra mau enaknya sendiri...”
“ Kenapa?”
“ Dia sama sekali tak peduli dengan persiapan pernikahan kami.., padahal..”
“ Ya, sudah. Tunda saja dulu..”
“ Sur,..ini sudah kedua kalinya kami tunda!”
“ Batalkan saja..”
“ Surya!..Kamu...”
Wajah Kirana nampak memerah dengan tanda tanya, sedangkan aku berusaha berpaling dari tatap matanya.
“ Kirana! Lalu apa yang ingin kamu dengar dari aku? Kata sabar,..sabar, gitu? Aku bosan jadi konsultanmu!”
“ ...Kamu sudah berubah sekarang..”
“ Tidak! Aku tak pernah berubah! Sepuluh tahun, Ana...”
Sepintas kuberanikan diri memandang wajahnya. Ah,..pipi lembut itu tergaris air mata, namun aku tak kuasa lagi menebak apa yang ia rasa. Mungkin sedih ataukah juga marah.
“ Surya, maaf,..tak ada rasa cinta itu untukmu..”
“ Tak pernahkah sedetik saja terpikir, untuk beri aku kesempatan..?”
Dia tak menjawab. Hanya menggeleng perlahan, mengusap tangis, lalu bergegas pergi tanpa kata. Namun kali ini mampu kutangkap sebuah pesan dari sepoi angin laut yang menyeruakkan harum parfumnya, bahwa ia kecewa. Sebuah rasa yang sama, menyelimuti diriku, akupun kecewa, penantianku seakan sia-sia. Walau yang terbesar adalah kecewaku, karena tak juga bisa bersikap lebih tega, sebab takkan sanggup kubayangkan sedihnya Kirana, kalau saja dua buah foto yang ada di saku bajuku ini kutunjukkan padanya. Di sana, Hendra bermesra dengan dua wanita yang berbeda di setiap fotonya. Aku tak ingin menjadikan itu senjata, aku ingin tulus cintanya.
Ah, Kirana. Haruskah sepuluh tahun ini aku hanyalah pungguk merindukan bulan? Mungkin seorang Cakil tak layak mencintai Srikandi karena pakem tari Bambangan Cakil. Tapi bukankah selama ini aku bisa menjadi Panji Asmorobangun? Menari Karonsih bersama Galuh Candra Kirana? Lalu harus berapa lama aku menjadi Lutung Kasarung?
Peluhkupun mengering menanti jawabmu
Takkan pernah usai cintaku padamu
Hanya kata yang lugas yang kini tercipta
Kuingin rasakan cinta
Kirana jamah aku jamahlah rinduku
Takkan pernah usai cintaku padamu
Hanya kata yang lugas yang kini tersisa
Kuingin rasakan cinta...
***
.
.
C.S.
Menarilah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H