Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapasitas “ Sastra” Anas

15 Januari 2014   17:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti kita tahu, setelah resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Jumat kemarin, 10 Januari 2014, Anas Urbaningrum menyampaikan ucapan terima kasih kepada Abraham Samad (ketua KPK), penyidik, serta penyelidik KPK. Dan yang terlihat lebih menjadi perhatian publik adalah ucapan terima kasihnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perhatian tersebut dapat dikatakan menjadi indikator bahwa publik tidak “lugu-lugu amat” dalam menafsirkan arti kata-kata tersebut. Paling tidak insting kebahasaan kita, baik yang serius mengikuti, sambil lalu, ataupun masa bodoh terhadap hiruk pikuk kasus korupsi yang melibatkan mantan ketum Partai Demokrat ini terpancing.

Sejak awal namanya dikait-kaitkan dalam kasus korupsi proyek Hambalang, Anas telah menunjukkan kapasitasnya dalam “bersastra”. Sengaja saya beri tanda kutip untuk kata bersastra itu. Sebab setahu saya sastra itu sendiri memiliki pengertian yang sungguh luas. Boleh saja, nantinya momentum ini merupakan kehadiran “sastra hukum/politik”. Namun, baik tertulis ataupun terucap, sastra tersebut berkaitan erat dengan gaya berbahasa.

Maka itu, sengaja atau tidak, publik telah “tertarik” dengan “ajakan bersastra” dari Anas ini. “Sastra” Anas yang pertama muncul adalah kalimat yang kurang lebih berbunyi ,“ Satu rupiah saja Anas korupsi di hambalang, gantung Anas di Monas”. Tentu sangat disayangkan secara kemampuan berbahasa jika ada yang mengartikan kalimat itu apa adanya. Sebab, secara logika saja, apa yang dikatakan itu cenderung mustahil untuk diwujudkan secara nyata. Korupsi satu rupiah? Aneh, bukankah mata uang terkecil saja kini adalah seratus rupiah? Gantung di Monas? Bukankah di negeri ini tak berlaku adanya hukum gantung? Apalagi di Monas. Siapa yang mau/berani (capai-capai) menggantungnya, dengan risiko ditangkap sebagai pembunuh? Jadi, entah tepat atau tidak secara penggolongan, kalimat Anas tersebut adalah bagian dari gaya bahasa, dekat kepada Majas/Hiperbola, jelas memiliki makna tersirat. Makna yang hendak ia sampaikan dalam kalimat itu bisa ditelaah sebagai: Sekecil apapun Anas korupsi di Hambalang, hukum seberat-beratnya.

Kemudian, ketika statusnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tersebut, saat mengundurkan diri/berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Anas kembali “mengajak masyarakat untuk bersastra”. Sastra itu setidaknya muncul dari kata-katanya yang terkutip demikian, “Ada anggapan ini akhir dari segalanya. Hari ini saya nyatakan ini baru permulaan. Ini baru halaman pertama. Masih banyak halaman-halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Tentu untuk kebaikan kita bersama”. Ada juga rangkaian kata menarik,” Ini bukan tutup buku, ini pembukaan buku halaman pertama. Saya yakin halaman-halaman berikutnya akan makin bermakna bagi kepentingan kita bersama”. Kali ini, ucapan-ucapannya lebih dekat kepada perumpamaan. Dan sepertinya insting kebahasaan publik mudah menangkapnya, bahwa masih akan ada “kisah-kisah” selanjutnya. Istilah “halaman pertama” itu selanjutnya menjadi populer dan menjadikan publik “bersastra” dengan rasa penasaran, menunggu untuk membaca “halaman selanjutnya” terbit.

Selanjutnya, yang terbaru kali ini adalah ucapan-ucapan terima kasihnya setelah ditahan oleh KPK. Kata-kata yang rapat dengan makna-makna “menyindir” (eufisme) meluncur dari mulut Anas. Beberapa kutipannya, demikian:

“Saya berterima kasih hari ini ditahan, yang tanda tangan penahanan adalah Pak Abraham Samad, kedua terima kasih kepada penyidik yang hari ini memeriksa saya adalah Pak Endang Tarsa dan Pak Bambang Sukoco dan terima kasih kepada tim penyelidik dipimpin Heri Mulianto, dan lain-lain .”

"Di atas segalanya saya berterima kasih kepada Pak SBY, sesudah peristiwa ini punya arti, punya makna dan menjadi hadiah tahun baru 2014, yang lain-lain nanti saja, yang saya yakin adalah ketika kita berjuang tentang kebenaran dan keadilan, ujungnya kebenaran akan menang, terima kasih."

Tentu menjadi sesuatu yang “luar biasa” jika seorang tersangka kasus korupsi memberikan ucapan terima kasih (apa adanya) atas penahanannya kepada Ketua KPK ataupun tim penyidik/penyelidiknya. Apalagi ucapan terima kasih kepada Presiden yang juga Ketum Partai Demokrat, SBY.

Sungguh disayangkan secara insting kebahasaan jika ada yang menafsirkan kalimat-kalimat itu secara lugu. Patut dimaklumi pula komentar Prof. J.E. Sahetapy dalam acara Indonesia Lawyer Club(ILC) semalam (14/1/14) yang menyebut bahwa apa yang dikatakan oleh Ridwan Saidi adalah “nol besar” dan menyarankannya untuk belajar lagi tentang sosiologi. Kenapa “nol” besar? Sebab, Ridwan Saidi yang selama ini dikenal sebagai budayawan, entah tidak tahu/pura-pura tidak tahu justru cenderung menilai apa yang diucapkan Anas itu memiliki makna ucapan terima kasih yang “biasa saja”, tidak memiliki maksud apa-apa selain nantinya Anas hanya akan membela diri. “ Ucapan terima kasih kok di marah-marahin?”, kurang lebih demikian kata Ridwan Saidi.

Dalam (budaya) jawa, entah telah tertampung dalam penggolongan gaya bahasa tertentu dalam Bahasa Indonesia atau belum, terdapat kebiasaan yang diistilahkan dengan “nglayu/nglayoake” atau dikenal juga dengan “nge-lulu”. Memang, padanan yang terdekat adalah “menyindir”. Tapi, tindakan “nglayoake” ini sedikit lebih memiliki kekhususan. Begitu “halus” atau terkesan “menyampaikan hal bagus” kepada atau tentang subyek yang ditujunya. Namun pernyataan halus itu akan menjadi sesuatu yang “menusuk”, menyakitkan, membuat telinga merah ketika subyek yang ditujunya itu memiliki frekuensi/budaya sama, karena maksud kata-kata itu adalah makna berkebalikan, menuduh, marah/mengancam dan hal tidak menyenangkan lainnya. Di situlah tujuan dari tindakan ini, yaitu ketika subyek yang dituju “tertikam” atau “merasa” (rumangsa).

Perkataan-perkataan Anas itu lazim serta wajar ketika dikatakan sebagai “kalimat bersayap”, namun dalam perspektif khusus bisa dikategorikan pula sebagai karya “sastra”. Berderet ucapan-ucapan terima kasih dari Anas kali ini merupakan “sastra” yang lebih “dalam”. Dan, untuk menafsirkan makna di dalamnya memerlukan kepekaan bahasa ataupun budaya. Sebab, bukan sekedar menyuguhkan apa itu gaya bahasa, disana mengandung unsur bersifat budaya. Berperan (bahkan menjiwai) lahirnya ungkapan yang memerlukan ketajaman untuk menangkap pesannya. Dengan kata lain, untuk mendengar dengan benar memerlukan “frekuensi” yang sama. Tak harus orang jawa, sepanjang berada dalam “frekuensi” yang sama, setiap orang bisa menangkap maksud kalimat-kalimat itu, apalagi para budayawan.

Dalam terminologi “nglayu/nglayoake/ngelulu”, demikian juga berbekal kaitan riwayat-riwayat kasus ini sebelumnya, ucapan terima kasih Anas kepada para subyeknya dekat dengan arti “kemarahan” yang ia simpan. Seperti blangkon yang halus di jidat namun memiliki “benjolan keras” di tengkuk. Layaknya berbusana halus di depan namun terselip keris di belakang pinggang. Yang terucap memang terkesan halus sebagai ucapan terima kasih kepada Ketua KPK dan penyidik/penyelidik yang menahannya, tapi dalam frekuensi ini patut tersirat sebuah makna bahwa Anas “tidak terima” dengan tindakan-tindakan yang dilakukan padanya. Demikian juga dengan subyek SBY sebagai sasaran ucapan terima kasihnya. Bahkan dengan awalan kalimat “di atas segalanya”, layak tersirat sebuah arti tentang SBY merupakan “sumber/penyebab utama” yang menjadikan dia mengalami perlakuan ini. Benar atau tidak “alasan” yang ia punyai, terkesan Anas ingin publik memandangnya sebagai “korban”.

Di luar polemik yang terkadang sulit memastikan apakah kasus ini murni masalah hukum ataukah politik, bisa jadi kita terlanjur tertarik dalam “ajakan bersastra” dari Anas Urbaningrum ini dengan menganggap pernyataan-pernyataannya saat ditahan itu sebagai “ halaman kedua, ketiga, halaman selanjutnya ataupun halaman terakhirnya”. Selanjutnya jika benar tafsir kita terhadap maksud “karya sastra” Anas itu adalah sebuah buku yang patut di baca, perlu pula adanya “kritik sastra” terhadapnya. Halaman-halaman yang dimaksudnya bisa dimaknai bagian sebuah buku yang telah ia selesaikan penulisannya ataupun tengah dalam proses penulisan. Tentunya para pembaca patut pula menilai nantinya, apakah buku “karya sastra”nya itu berjenis kisah nyata ataukah fiksi belaka, meskipun pada saatnya nanti buku itu bisa dianggap telah selesai atau tak pernah selesai.

.

.

C.S.

Hanya Fiksianer



Referensi:

Di sini

Di sini

Di sini

Di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun