Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta) punya rencana, Djoko Kirmanto ( Menteri/Kementerian PU) menolaknya. Begitu juga sebaliknya, dalam wacana lain, Djoko Kirmanto punya rencana, Jokowi tidak menyetujuinya. Begitulah sepertinya yang terjadi, Joko versus Djoko. Namun agar tak terkesan saling “menjegal”, jika masing-masing tujuannya adalah untuk kebaikan Jakarta, mereka sebenarnya bisa duduk bersama.
Seperti kita tahu, Jokowi sejak awal, bahkan masuk dalam program/janji kampanyenya memiliki rencana untuk merelokasi perkampungan kumuh di sekitar bantaran kali Ciliwung. Mendirikan rumah deret yang posisinya bergeser sejauh 10-15 meter dari bibir kali. Rumah deret itu akan didirikan secara vertikal dan menghadap ke kali. Dengan pertimbangan agar warganya malu jika didepan rumahnya kali itu kotor sehingga tersadarkan untuk membuang sampahnya di sana. Dikabarkan, Kementerian Perumahan Rakyat pun siap menyediakan tempat sampah terpadu.
Terhadap rencana tersebut, Kementerian PU sekarang tidak menyetujuinya dengan alasan, mendirikan bangunan di sekitar kali melanggar PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Disebutkan, aturan ini melarang mendirikan bangunan di sekitar atau di atas sungai, kecuali memang sangat diperlukan. Demikian juga pertimbangan dengan adanya rumah deret di sekitar kali justru membahayakan warga ketika ada arus yang sangat kuat menghantam fondasi bangunan. Selain legalitas tanah yang belum jelas, jumlah sampah bakal meningkat dan dikhawatirkan masuk ke kali. Bergemingnya Kementerian PU ini juga disebabkan karena belum adanya analisis dampak lingkungan terhadap proyek tersebut.
Ini “persateruan” Joko dan Djoko yang pertama. Ketidakcocokan rencana mereka yang meskipun sedikit beda wacana namun sering dikait-kaitkan sebagai hubungan “sebab akibat” adalah sikap Jokowi juga yang tidak setuju dengan rencana Kementerian PU.
Kementerian PU memiliki rencana untuk membangun enam ruas tol dalam kota. Pertimbangannya adalah untuk menambah panjang jalan di Jakarta yang masih kurang. Karena bertambahnya kendaraan di Jakarta bukan disebabkan adanya penambahan jalan, tapi karena naiknya pendapatan masyarakat. Jokowi tidak sependapat dengan rencana itu, karena ia lebih fokus/pro terhadap transportasi massal, bukan jalan tol dalam kota.
Di tengah polemik ini, LSM tampak tak mau ketinggalan meramaikan. Usman Hamid, Penggagas Gabungan LSM dalam Petisi Menolak Enam Ruas Jalan Tol menyatakan menolak dengan tegas dan sangat kecewa jika proyek ini dilanjutkan, walaupun ada jalur transportasi publik semacam busway di ruas tol itu. Ada juga, Firdaus Cahyadi, anggota Petisi dari LSM Satu Dunia yang menyebutkan kehadiran jalan tol di ibu kota justru menambah kemacetan, berdampak sosial/lingkungan, memanjakan pengendara pribadi dan menghambat pembangunan transportasi publik.
Nah, berdasarkan pada wacana yang saya rangkai dari apa yang di rilis oleh Kontan hari ini (27/11/2012) di atas. Tentu saja dalam lingkup belum terjadinya titik temu antara Joko dan Djoko dalam hal pembangunan rumah deret dan jalan tol dalam kota tersebut, dapat disatukan poin-poin yang sebelumnya menimbulkan “gesekan” menjadi sebuah “kesepahaman”. Dengan mengurai satu persatu apa saja yang masing-masing dianggap sebagai kendala, yang bukan tak mungkin akan ditemukan solusi agar keduanya tetap bisa direalisasikan. Demi kemajuan Jakarta.
Secara sederhana, apa yang saya cetak tebal itu merupakan poin-poin dari keduanya yang bisa disolusikan bersama. Mari, dengan rileks sedikit kita bahas.
Jokowi dan Rencana Rumah Deretnya:
1.posisinya bergeser sejauh 10-15 meter dari bibir kali
2.vertikal dan menghadap ke kali
3.tempat sampah terpadu
Alasan Djoko Kirmanto (KemenPU) menolaknya:
1.melanggar PP Nomor 42 Tahun 2008, kecuali memang sangat diperlukan
2.membahayakan warga
3.fondasi bangunan
4.legalitas tanah
5.adanya analisis dampak lingkungan
Nah, dari beberapa permasalahan yang menjadi penyebab “persateruan” itu, sangat mungkin untuk tercapai titik temu. Tentu saja jika Joko dan Djoko bersedia duduk bersama, “rembugan” untuk tujuan menyelesaikan permasalahan kampung kumuh, yang nyatanya sekarang masih ada itu.
Lalu mengenai ruas jalan tol dalam kota itu, Kementerian PU dengan rencana pembangunan enam ruas jalan tol itu dengan pertimbangan menambah panjang jalan di Jakarta yang masih kurang. Sedangkan kehendak Jokowi yang lebih fokus/pro terhadap transportasi massal. Apakah mustahil kalau keduanya tetap bisa dijalankan? Sekali lagi, Tentu saja jika Joko dan Djoko bersedia duduk bersama untuk tujuan menyelesaikan permasalahan macetnya Jakarta karena kurangnya ruas jalan dan transportasi massal , yang nyatanya sekarang masih berlangsung itu.
Mudah-mudahan Jokowi (Gubernur DKI) dan Djoko Kirmanto (Menteri PU) segera bersedia duduk bersama menggapai solusi. Selain agar tujuan Jakarta menjadi lebih baik itu segera tercapai dan tak ada kesan “saling hambat”. Jangan sampai rumah deret enggak, tol enggak, transportasi massal juga tidak.
Suara-suara dari aktifis/LSM itu? Oh, iya,...lupa. Atau sebaiknya memang diabaikan saja, ya?
Salam ibu kota.
.
.
C.S.
Kapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H