“Bagaimanapun juga, “bungkus” ataupun “sampul” seseorang itu perlu, karena akan sangat berbengaruh pada dihargai atau tidaknya apa yang ia sampaikan”
Kalimat itu adalah sedikit banyak catatan yang mampu saya cerna dari hasil “percakapan” dengan Bapak Prof.Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Tentu saja anda bebas menafsirkan arti “percakapan” di atas. Percakapan dalam hal ini bisa dalam arti pasif ataupun interaktif, langsung ataupun tidak langsung. Dan dalam hal ini, adalah percakapan antara seorang pengajar dan para peserta didik dalam sebuah ruang kelas di mana saya sebagai salah satu pesertanya.
Yang beliau sampaikan, itupun jika saya tak salah cerna sebenarnya hanyalah “selingan/intermeso” di sela-sela penyampaian materi pelatihannya. Yang diobrolkannya adalah tentang “bungkus” dan dalam tema ini saya berani menyetarakannya dengan sebuah “sampul”.
Bungkus ataupun sampul seseorang dalam hal ini kurang lebih adalah anggapan/pengetahuan orang lain tentang siapakah kita ketika menyampaikan sesuatu. Secara umum, subyek penyampai dan obyek yang disampaikan itu akan sangat berperan dalam hal menyangkut “respon” dari orang lain atau khalayak yang dituju. Contoh mudah sajalah, ketika Pak Parmin, seorang tukang sol sepatu mengatakan bahwa subsidi BBM itu memang pantas dikurangi, maka akan menuai tanggapan yang berbeda ketika Pak Kurtubi, yang katanya ahli perminyakan, mengatakan hal yang tak serupa ataupun mungkin sama. Kemungkinan besar pihak/khalayak yang menilai adalah bukan berdasar pada “apa” yang disampaikannya, namun “siapa” yang menyampaikannya.
Baik diakui ataupun tidak, hampir pada setiap bidang hal itu cenderung berlaku. Demikian juga dalam dunia kepenulisan/perbukuan. Pada dunia kepenulisan pun, pengetahuan khalayak/umum, katakanlah pembaca atau “konsumen” tulisan kita cenderung terarah pula pada kesan tentang siapa penulis tulisan yang ia baca. Saya katakan, ini sebuah kecenderungan, tentu saja tidak menisbikan kondisi lain ketika pembaca “menyukai” sebuah tulisan terlebih dahulu, kemudian “penasaran” ingin mengetahui siapa penulisnya. Dan, disadari atau tidak, pada saat itulah proses terciptanya sebuah “sampul/bungkus” sang penulis itu berpeluang tercipta.
Tentu saja baik “sampul” ataupun “isi” sama-sama mendukung keberhasilan sebuah tulisan dengan tolak ukur apresiasi dari pembacanya. Kedua-duanya memiliki peran dalam “sukses”nya sebuah tulisan. Anda bebas memilih untuk menggunakan yang mana terlebih dahulu, atau bersamaan, tergantung pada apa “target” sesungguhnya Anda membuat sebuah tulisan.
Sebuah “keberuntungan” atau anggaplah sebagai nilai tambah tersendiri ketika sebelum menciptakan sebuah tulisan, Anda telah memiliki modal tentang kesan/estimasi dari calon pembaca mengenai siapakah Anda. Misalnya, latar belakang, profesi, keahlian dan sebagainya yang sudah diketahui oleh pembaca. “Sampul/bungkus” itu telah Anda miliki sehingga tulisan-tulisan ataupun buku yang hendak anda terbitakan “berpeluang” untuk pertama kali dibaca/diapresiasi, PR anda hanyalah pada “isi”, itupun jika Anda peduli, yang berkaitan dengan “target” sejati.
Sedangkan bagi Anda yang belum memiliki “sampul”, itu bukanlah sebuah kendala. Hal itu merupakan salah satu tantangan yang bernilai. Yakni untuk lebih mengutamakan pada “isi” tulisan, tentang “pembuktian” kehebatan dari apa yang anda sampaikan. Di sinilah nikmatnya sebuah proses untuk menciptakan sampul tentang siapa diri Anda, yang pertama kali dikenal dari substansinya.
Jika kembali pada tujuan/target sesungguhnya sebuah proses penulisan, sebenarnya terdapat sebuah target yang bisa dikatakan “sempurna”, yaitu ketika “sampul” anda tercipta/diciptakan seimbang dengan “isi” yang benar-benar layak mendapatkan apresiasi dari pembacanya.
Menjadi penulis “best seller” (sebenarnya saya sendiri bingung, kenapa banyak yang menggunakan istilah ini, setahu saya yang namanya “best” itu ya hanya satu/tak banyak, tapi kok banyak yang mengklaim tentang “best” itu, apa sama-sama best? ) itu mungkin “mudah” ketika sampul itu telah Anda miliki (tercipta/diciptakan via latar belakang atau promosi gencar), namun hendaknya jangan terlena dengan memoles sampulnya saja. Karena yakinlah bahwa pembaca pasti tidak ingin dikecewakan, mereka selalu mencari dua-duanya, terutama berharap pada isinya.
Silahkan Anda resapkan apa yang saya tuliskan. Meskipun tentu saja saya siap jika diabaikan, karena mungkin saja dalam hati Anda berpikiran, memangnya siapa sih Paknethole ini? Ahli bukan, dosen bukan, narasumber bukan, guru juga bukan. Apalagi penulis best seller, pasti juga bukan! Hehe,..santai sajalah, namanya juga obrolan. Sampul saya saja masih belum jelas, apalagi isinya.
“Lho, Pakne! Saya nulis apa adanya, nggak peduli dikasih stempel, sampul, ataupun bungkus apapun dari pembaca tuh?!”
“ Oh, begitu ya? Nah, itu Anda baru saja mengatakan tentang “sampul” Anda itu apa,...haha”.
Sekian dulu, ah. Selamat menulis. Salam.
.
.
.
C.S.
Senyum “simpul” tak harus “sampul”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H