Saya tak ingin selalu menyalahkan negara dalam hal banyaknya kejadian-kejadian tidak menyenangkan bahkan tragis yang menimpa para pahlawan devisa kita selama ini. Semua seperti lingkaran yang sulit sekali ditemukan titik untuk mengurai pemecahannya. Bayangkan saja, berbondong-bondong orang Indonesia rela berpisah dengan keluarganya untuk pergi ke negeri yang jauh demi mencari nafkah. Tentu saja semua bermula dari kebutuhan akan sebuah pekerjaan. Mereka pergi menyeberang laut nan jauh untuk bekerja mencari makan karena di negeri sendiri mungkin sudah sangat sulit mencari pekerjaan. Kenapa sulit? ya karena pencari kerja dengan lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding. Pencipta lapangan kerja dan pencari lapangan kerja selalu tidak setara. Apalagi pekerja dengan kemampuan ala kadarnya.Negara memang dituntut berperan mengatasi pengangguran ini. Dengan tidak menilai apakah negara telah berusaha keras untuk itu atau tidak, kita juga harus melihat apakah rakyat sendiri sudah bekerja keras untuk bekerja dan mencari nafkah? tidak dapat ditutup-tutupi lagi jika memang kita kebanyakan hanyalah pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja. Padahal yang berstatus pencari kerja berjibun. Saat pengangguran bertumpuk maka negara/pemerintah lah yang selalu menjadi kambing hitam. Padahal kita semua adalah bagian dari negara/pemerintah itu sendiri. Memang jika pemerintah telah maksimal dalam hal menyikapi fenomena menyangkut hajat hidup ini diharapkan rakyat yang berbondong-bondong ke negeri orang hanya sekedar menjadi pembantu atau sopir bisa diminimalkan. Tapi tentu saja bukanlah sikap bijak jika selalu menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Perlu ditanyakan ulang dan dijawab dengan jujur, benarkah para TKI itu bekerja diluaran karena memang lapangan kerja untuk pekerjaan yang dilakoninya di negeri orang itu tidak ada lagi di negeri ini, atau karena mereka terjebak oleh keinginan cepat kaya dan godaan hidup borjuis? Saya sebenarnya mempertanyakan hal ini. Bukankah di negeri ini begitu sulit mencari Pembantu Rumah Tangga? berarti sebenarnya bohong kalau lowongan kerja untuk PRT ini di Indonesia tidak ada. Sangat terbuka lebar!! Masalahnya pasti memang karena mental kita sendiri yang ingin selalu berpenghasilan tinggi meski hanya bekerja sebagai pembantu.
Kalau sudah demikian, menjadi TKI terutama untuk pekerjaan sebagai pembantu atau pekerjaan "ringan" lainnya di luar negeri sebenarnya cenderung merupakan sebuah "keinginan" bukanlah melulu "keterpaksaan". Jika sudah diniatkan untuk hal itu maka sudahlah pantas jika saudara-saudara kita mempertimbangkan segala resiko baik segala hal menyangkut keberangkatan, menjalani hidup dan bekerja di sana, ataupun resiko resiko hukumnya.
Peran pemerintah memang diperlukan untuk memfasilitasi hal ini. Namun sampai sejauh manakah peran yang diharapkan itu? Jika menyangkut perlindungan, perlindungan sampai sebatas manakah? Memang diharapkan menyangkut admistrasi keberangkatan, keterampilan dan perlindungan bagi para TKI ini bisa dilakukan negara. Tingkat keberhasilan negara itu memang masih dipertanyakan, juga keseriusannya. Namun ada hal-hal dilematis yang pasti menjadi kesulitan bagi pemerintah kita sendiri menyangkut permasalahan hukum para pengejar rejeki diluar ini. Dan sayangnya masih banyak pola pikir bahwa negara kita seharusnya selalu bisa menintervensi peraturan hukum di negeri orang. Padahal tentu saja tidak semudah itu bukan?
Seperti yang sedang panas dibicarakan. Adanya TKW kita di Arab Saudi yang harus menjalani hukuman pancung, karena vonis hukum di negara itu yang memutuskan hal ini. Juga beberapa TKI lain yang terancam hukuman pancung di sana. Banyak pihak di negeri kita yang beramai-ramai menyoalkan seolah-olah TKI itu dipancung karena kesalahan negara yang tidak melindungi tenaga kerjanya. Lalu perlindungan apakah yang secara spesifik seharusnya di berikan pemerintah kita. Bukankah hukuman pancung itu adalah karena sebuah akibat dari peristiwa hukum/pidana yang dilakukan TKI kita sendiri, secara hukum tentunya. Sedangkan di Arab Saudi sendiri telah mempunyai Undang -Undang sendiri, UU berbasiskan hukum Islam yang di anut negeri tempat tujuan beribadah haji ini. Perlindungan hukum berupa pembelaan dalam berperkara  memang patut diberikan secara optimal. Namun jika sudah menyangkut pada intervensi terhadap vonis hukuman pancung yang berlaku di Arab Saudi. Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah kita. Tiap negara pasti mempunyai prinsip hukum yang ingin negara lain menghormatinya, termasuk Arab Saudi. Mungkin masalahnya proses penegakan hukum itu sendiri, apakah tiap negara menjalankan proses hukumnya secara tegak? Sebuah dilema yang cendering ironis di sini adalah ramainya tuntutan agar pemerintah kita mampu menggagalkan hukuman pancung bagi TKI kita disana, yang berarti kita ingin merobohkan penegakan hukum di Arab Saudi. Seperti itukah? Sejujurnya saya juga berpendapat bahwa hukum di negara arab ini sebenarnya tidak sepenuhnya tegak, mengingat adanya kompensasi untuk membebaskan terdakwa dari hukuman pancung dengan kompensasi tebusan sekitar 4,6 milyar kalau tak salah. Jika sudah seperti ini maka pekerjaan rumah negara kita semakin berat juga. Karena bisa jadi sebuah upaya pembelaan terhadap TKI yang sedang diadili untuk kesalahan yang mungkin saja bisa dimaklumi di negara kita (membunuh karena membela diri, diperkosa dll) menjadi semakin berat jika arahnya adalah pembengkokan hukum dengan vonis pancung yang bisa dikompensasi dengan uang dalam jumlah besar.
Untuk itulah TKI perlu berpikir ulang untuk bekerja dan hidup disana. Mengingat pemerintah kita mempunyai berbagai keterbatasan untuk melindungi warganya di luar negeri. Haruskah tiap TKI dikawal satu TNI agar tidak dilecehkan/aniaya? agar tidak terjebak melakukan pembelaan diri berujung pembunuhan yang rawan dihukum pancung? Sedangkan pembelaan di pengadilan sana masih patut diragukan efektifitasnya terkait benar tegak atau tidaknya hukum di negeri itu. Dilematis bukan? jika hukum disana tegak, masa iya membunuh karena membela harga diri tetap dipenggal kepalanya, apalagi bisa ditebus dengan uang. Dan pantaskah kita menuntut negara untuk menempuh jalur "nego" sedangkan dinegeri kita sering menjadi praktek menjijikkan?
Jika ingat sadisnya hukum pancung ini, saya jadi ingat kisah Jaka Sembung. Dalam kisah ini ada musuh Jaka yang mempunyai ilmu rawa rontek, yang meski dipenggal kepala dan bagian tubuhnya, masih bisa bersatu lagi dan hidup. Mungkin ini dapat menjadi inspirasi pemerintah ataupun PJTKI untuk tidak saja membekali calon TKI dengan ketrampilan seadaanya namun ditambah lagi dengan ilmu "rawarontek", jadi saat harus dijatuhi hukuman pancung bukanlah sebuah ketakutan karena jelas hukumannya hanya dipancung...bukan dipancung sampai mati, karena dengan "rawarontek" ini meski dipancung kita bisa hidup lagi, jadi hukuman sudah dijalani. Saya hanya bercanda dengan rawarontek ini karena rawarontek modern dapat diterapkan dalam artian TKI mempunyai kekebalan hukum dinegeri itu, atau apapun istilahnya Warga Negara Indonesia yang bekerja disana tidak dengan mudahnya dijatuhi Hukuman pancung atau yang lain di negeri itu (jadi TKI sakti secara hukum). Mungkin negara kita bisa mengupayakan semaksimal mungkin agar WNI disana yang tersangkut kasus hukum/pidana bisa diadili menurut hukum negara TKI itu berasal. Karena meskipun hukum dinegara kita juga belum tegak, namun setidaknya tidak ada hukum yang seenaknya sendiri main tebas leher orang. Pada saat seperti ini barulah kita ngaca, ngilo....untung NKRI masih tegak, jadi hukum kita adalah hukum NKRI yang tidak mengakomodir Hukum Tebas Leher. Mungkin besok kalau tekhnologi sambung leher sudah ada, atau rawarontek berjaya lagi...he..he...guyon sedikit. Namun sejujurnya cuma bisa mengucapkan ikut berduka cita untuk saudara kita yang naas mengalami atau pun terancam hukum pancung di Arab sana. Mudah-mudahan dosanya diampuni, termasuk dosa orang yang ditugaskan memancung itu. Salam Pancung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H