Sebelumnya terlebih dahulu saya ucapkan ikut berbelasungkawa, karena kemarin saya sempat membaca informasi tentang kecelakaan mobil Hijet 1000 yang masuk ke jurang. Kebetulan tempat terjadinya adalah di wilayah Kemiri, Purworejo, masih satu kabupaten dengan kampung halaman saya. Kecelakaan yang menimpa serombongan warga desa ketika hendak memproses panggilan e-KTP itu cukup tragis, belasan orang meninggal dunia dan beberapa luka-luka. Diduga kuat penyebab kecelakaan itu terutama adalah perangkat rem yang kurang berfungsi.
Meskipun hanya sepintas saya baca, dari berita yang terutama saya ingat dari koran lokal (Suara Merdeka) itu dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa penyebab kecelakaan itu selain dugaan remnya blong, sopir yang kurang mahir, serta kelebihan jumlah penumpang ( mobil hijet kok diisi 18 penumpang) juga terkait kondisi jalan yang menurun dan menikung tajam.
“Irung Petruk”! Istilah itu seringkali disebut oleh saya dan kami-kami yang sering menjalankan tugas untuk menjadi sopir, terutama ketika perjalanan jauh. Petruk, dalam dunia pewayangan adalah seorang punakawan yang memiliki ciri khusus yaitu berhidung panjang/lancip. Oleh karena itu banyak yang menyebut sebuah kondisi jalan yang menikung tajam dengan istilah “Irung Petruk”atau hidung Petruk ini. Hampir di semua tempat ada tikungan “ngeri” semacam ini. Untuk jalur mudik jawa bagian utara (pantura) banyak ditemui di sekitar Banyumas, sedangkan jalur selatan sepertinya di daerah Garut dan Nagrek kalau tak salah. Demikian juga jika Anda pernah ke daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, atau juga daerah Dieng, Wonosobo, di sana pun ada. Sangat tajam, bahkan menukik mengerikan.
Semua pasti setuju bahwa untuk menempuh jalur yang terdapat tikungan tajam sejenis “irung Petruk” ini sangat memerlukan kewaspadaan lebih pada pihak sopir dan juga kesiapan kondisi mobil yang kita kendarai.
Maka itu, sekedar saran dengan tidak bermaksud menggurui, tak ada salahnya setiap kita hendak berkendara baik jauh ataupun dekat alangkah baiknya memastikan kesiapan/kesehatan mobil kita, berapa jumlah muatan yang disarankan dan juga kesiapan si pengemudi itu sendiri. Untuk perjalanan “biasa”, dalam arti medan yang kita laluipun “standar-standar” saja, mungkin sedikit kelebihan beban asalkan sopir dan mobilnya “sehat” bisa di”toleransi”. Namun ketika kita tahu bahwa medan yang akan kita tempuh melewati turunan/tikungan tajam layaknya hidung Petruk ini, maka sebuah persiapan segala hal sangat mutlak dipertimbangkan.
Jangankan dengan persiapan yang asal-asalan, untuk kondisi kendaraan dan jumlah penumpang yang wajar pun sang pengemudi tetap harus ekstra waspada ketika menemui jalur “Irung Petruk” ini. Rasa berdebar kemungkinan besar masih terselip, dan itu harus diimbangi pengendalian yang tenang. Mengemudipun adalah seni menggunakan perasaan, yang harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan, apalagi pada turunan/tikungan tajam. Merasakan dengan baik, kapan saat harus mengurangi/menambah kecepatan, timing melakukan manuver berbelok dan juga melakukan pengereman yang “lembut” dan tidak membahayakan. Apalagi jika jalur yang kita tempuh itu bukanlah “jajahan”, yaitu belum pernah/jarang kita lewati, untuk itu jika terdapat rambu-rambu atau peringatan yang sering terpasang jangan diabaikan.
Saya yakin, untuk memberikan hal secara teknis secara detail untuk Anda yang merasa sudah mahir seperti halnya menggarami lautan. Hanya mengingatkan, waspada selalu, “Irung Petruk” janganlah disepelekan. “Irung”nya saja sudah berbahaya, apalagi badannya..(maaf, sedikit bercanda tak apa kan?)
Salam hati-hati, semoga kita semua selalu selamat dalam perjalanan.
.
.
C.S.
Nyantai saja di jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H