Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hajatan Semut

14 November 2011   01:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:42 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

[caption id="attachment_142102" align="aligncenter" width="200" caption="from google"][/caption] Sebuah Sabtu. Sebenarnya,aku belum berniat bangun dari tidur siang, sore ini. Mumpung libur, ingin kugunakan saat ini untuk berpuas tidur. Setelah tengah hari tadi, berpanas mentari, datang ke pesta/kondangan teman istri.Tak cuma satu sebetulnya, namun karena bersamaan,yg lain terpaksa dikorbankan.Aku mau mengisi tidur, karena aku tak mau, libur seharian hanya untuk kondangan. Istriku tak bisa melarang,saat aku lebih memilih tidur diluar kamar, didepan TV, beralaskan karpet. Disini angin lebih terasa sepoi-sepoi. Hembusan terasa dari jendela yang ku buka. Istriku sering peringatkan,"Jangan tidur di situ Yah, nanti masuk angin lho!" Tapi tentu saja aku ogah pindah, dan kubantah,"Ah, yang penting perutku tidak kosong, tadi sudah makan kenyang waktu kondangan". Akhirnya Ia henti melarang, istriku beranjak tidur di kamar. Lebih memilih temani Barep dan Ragil, yang sudah terlelap duluan. Tawaranku untuknya, agar tidur di dekatku diabaikan. "Takut "diperkosa" siang-siang!" katanya. Ah, ada-ada saja, kebanyakan baca berita tampaknya. Dalam sekejap,aku lelap. Di telan dengkuran nikmat, juga mimpi-mimpi yang sulit diterima akal sehat. Bermimpi menjadi utusan bangsa. Pergi naik rakit menuju Thailand. Hendak merayu Yingluck Shinawatra, agar mau menurunkan harga berasnya. Dalam mimpi, Yingluck pun sepertinya kelelahan. Bajunya basah kuyup karena kebanjiran. Menampakkan siluet mulus kulitnya, yang bagai apel Thailand. Dan kami pun duduk berduaan, di atas bukit yang aman. Kami bergantian berpijitan, sambil diskusi masalah krisis pangan, juga negerinya yang tengah kebanjiran. Tak lupa saling menjagokan, Timnas sepakbola masing-masing, yang akan berlaga di Senayan. Malam nanti. Sepertinya aku bakal puas beristirahat. Waktu terus beranjak, merangkak. Tidurku berlalu, dari pukul satu hingga angka empat. Hingga saat teriakan istriku bagai menggulung rapat mimpiku. " Ya, ampuuun!!,...Ayah! bangun!, lihat, di sebelahmu, semut banyak sekaliiii!!" Aku pun terbangun. Lumayan kaget dan "kliyengan". Menatap ribuan, bahkan mungkin jutaan semut yang memenuhi lantai. Tepat disamping tempatku berbaring. Kerumunan yang sangat sibuk dan menggidikkan. Tak ada secuilpun makanan yang mereka rubung. Tak ada bekas cuilan sosis kesukaan si Barep, juga serpihan kerupuk udang kesukaan si Ragil. Semua bersih. Namun kerumunan semut itu tetap padat, riuh, rapi merayap. Berputar, berbalik dan beriring rapat. Namun jelas, ada satu yang ku lihat. Sebuah lubang kecil di sela keramik lantai. Dari sana dan ke sana mereka bermuara. " Minggir Yah!, biar kusapu dulu semut-semut ini!". " Eit..tunggu..tungguu...,jangan!", spontan ku cegah istriku. " Biarkan saja. Tunggu saja, sejam atau dua jam. Mereka akan pergi sendiri". " Kenapa begitu, Yah?" " Ah, sudahlah,....aku berani taruhan! mereka akan pergi sendiri. Tidurlah lagi, tenang saja." Aku pun kembali membaringkan diri. Kali ini agak menjaga jarak, dari kerumunan.  Istriku kembali ke kamar, ada sedikit heran. Heran dengan gayaku yang sok tahu dan sok ilmuwan.Memang sengaja, tidak aku jelaskan. Aku kuatir teoriku dia tertawakan. Dan semut-semut itu di hempaskannya dengan sapu-sapu lugunya. Karena aku yakin, para semut itu sedang memiliki hajatan. Entah pesta pernikahan, pilkades, pilkada, pilgub, atau bahkan mungkin pemilihan presiden. Alangkah jahatnya, jika hajat mereka kita bubarkan. Dan, benar saja ternyata. Saat aku usai meneruskan dengkur. Meski mimpi meloncat jauh dan kembali ngawur. Ku kucak mataku. Tak ada satupun semut di sampingku. Semua bersih, sepi, tak ada keriuhan lagi. Hajatan mereka pasti telah usai, entah apapun hasilnya. Sepertinya mereka sukses, dan tak ada yang mbalelo dari pertemuan, berkeliaran iseng menggigitku dalam pembaringan. Untung saja istriku tak meladeni tantangan taruhanku. Jika iya, akulah pemenangnya, meski belum jelas apa taruhannya. Lantaiku bersih kembali, pasukan semut telah pergi, hajatan mereka telah usai. Yang jelas tertinggal adalah, lubang kecil yang menjadi muara, perlintasan mereka. Yang kupikir hanya, suatu saat aku harus menutupnya. Karena ini adalah rumahku, negaraku. Dan lagi, aku adalah manusia, yang merasa sebagai ciptaan paling mulia. Lebih mulia dari mereka? . .C.S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun