ARJUNA (dalam getar mengeja nawala) :
"Dimas Arjuna, kau nyata bukan lelaki satria, jika tak meradang, membaca suratku ini, tantangan. Ini tulisanku, Karna, saudara tuamu yang kutahu, tak setulus hati kalian akui. Aku sadar diri, memang harus kusandang garis nasib ini. Tak hanya Ibu Kunthi, namun mata kalian penuh rasa, bahwa sejak bayi aku seharusnya mati. Aku durhaka? Ah! Itu hanya bedak pemoles masa, riwayat kalian semua, yang suci dan mulia. Salahkah jika aku lebih memandang bakti, pada sais pedati, yang menyambung nyawaku hingga kini? Juga ketika memilih berada, dalam barisan Hastinapura, mereka mendudukkan aku, sebagai manusia, yang sedikit berarti di dunia fana?
Dimas Arjuna, sekian lama engkau menginjak harga diriku, sampai ke titik dasar bumi. Ibu Kunthi menyayangimu, pandhawa mewangikanmu. Dan yang sekian lama mengiris hati, istriku, Surtikanthi pun takluk hati dalam pelukmu. Jagad dewa batara! Aku memang masih hidup raga, tapi sudah sekian lama, sejatinya Karna itu mati jiwa. Semua milikku telah kau rampas, Dimas. Remah-remah sisamu, sekian lama menyesakkan hati. Maafkan aku yang sekali waktu, ingin membuatmu menangis dalam dendam kalbu. Kau yang merendahkan badarku, titisan surya yang sayu.
Kenapa kalian menghinaku, dengan panglimakan Srikandi ke padang Kurusetra? Marahlah engkau hai Arjuna! Karena istrimu itu, telah pula menjadi milikku. Terimalah Srikandimu, yang pulang dengan wajah tangis dan malu. Sengajalah aku Dimas, di baratayudha ini, telah kujamah rudapaksa, eloknya sang dewi, hingga tuntas memelas. Ucapkanlah selamat padaku Arjuna! Terima kasih berjuta kata, telah kau sempatkan aku nyana, betapa memang Srikandimu, begitu mempesona tiada tara. Aku, kakak durjanamu, Adipati Karna yang menurutmu hina, telah menikmatinya sepenuh birahi angkara. Meski sekejap, namun serasa terbang ke untaian lembut mega, berlapis selaksa surga.
Tuntaskanlah membaca surat ini Dimas! Bantala berguncang, saat Srikandimu telanjang. Juga milikmu, dada penuhnya indah bercahaya kencana, kugetarkan bergelimang asmara.
Meledaklah jiwamu Arjuna, datanglah ke Kurusetra. Ini saatnya, ini baratayudha. Akan kuresapi, saat aku meregang nyawa. Dadaku kan legawa menerima, membasuh tajamnya pusaka muliamu, sang Pasopati yang mandraguna. Ini tulisan darahku. Kakakmu yang tak peduli, akan pengakuanmu hati. Aku, Karna sang adipati, berdiri pada pasukan, yang kutahu harus tergilas putaran budi. Sang Karna telah saatnya mati, karena sejak dulu, putra surya ini, memang tak merasa hidup bersinar sejati.
Datanglah Arjuna! Aku menanti di padang gersang ini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H