Ribut-ribut di kepengurusan Partai Golkar mau tidak mau cukup menjadi perhatian publik. Dualisme kepemimpinan antara kubu Aburizal Bakrie (Munas Bali) dan Agung Laksono (Munas Ancol) yang menyeret-nyeret pemerintah menjadi pihak yang sering dianggap mengintervensi kepengurusan di tubuh partai berlambang beringin ini sampai juga ke meja peradilan Tata Usaha Negara dan kemarin telah mencapai tahap putusan.
Namun, di luar semua itu, saya lebih tertarik pada posisi sebagai bagian dari publik, masyarakat yang tentunya membutuhkan pengetahuan yang benar terhadap suatu peristiwa di negeri ini. Sekali lagi, pengetahuan mengenai suatu peristiwa terutama pemahaman hukumnya. Menurut saya hal ini sebenarnya merupakan tugas dari media mainstream yang ada. Sayangnya, bias-bias kepentingan pada media- media itu lebih sering terpancar daripada menyampaikan pembelajaran kepada publik, terutama masyarakat awam tentang sesuatu yang benar.
Media seringkali menampilkan pendapat-pendapat yang meskipun berasal dari para intelektual namun cenderung berbicara dari sudut keberpihakannya. Andaipun ada media yang berusaha menyampaikannya dari sisi berita secara netral itupun sifatnya menjadi “samar-samar”, “minimalis” atau “sepotong-sepotong”, apalagi media online. Mungkin karena keinginan secara cepat menyampaikan berita ataupun juga keterbatasan pengetahuan peliputnya.
Kita sebagai masyarakat, apalagi yang awam, tentu saja dituntut untuk berusaha keras mencari sendiri pemahaman yang benar terhadap berita yang disajikan. Dan yang tidak mau bekerja keras untuk menelaah, membandingkan, ataupun mencari referensi terhadap ketepatan berita ataupun pendapat yang diberitakan maka akan terima nasib terperangkap dalam menyimpulkan sesuatu yang belum tentu benar. Apalagi jika sebelumnya sudah berangkat dari kepentingan, kesukaan/ketidaksukaan yangsudah ada di kepalanya sendiri.
Sebagai contoh saja tentang penilaian terhadap Putusan PTUN Jakarta kemarin, yang secara garis besar adalah mencabut/membatalkan Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Ham tentang pengesahan kepengurusan Partai Golkar Kubu Agung Laksono, dan kembali kepada kepengurusan berdasarkan Munas Riau (2009). Jujur saja mohon dijawab, dari sisi pemberitaan yang Anda pernah temui, ada berapa media yang secara jelas menyampaikan siapa saja yang menjadi pihak dalam perkara itu? Ya, kemungkinan besar yang terpatri pada benak masyarakat awam adalah Kubu ARB versus Kubu Agung Laksono. Jikapun ada yang sedikit lengkap adalah Kubu ARB selaku Penggugat melawan Menteri Hukum dan Ham sebagai Tergugat. Tapi di mana posisi Kubu Agung Laksono? Saya sendiri sampai browsing berkali-kali untuk menemukan informasi bahwa kubu Agung Laksono adalah pihak Tergugat II Intervensi. Apakah masyarakat awam perlu pengetahuan tentang ini? Sangat perlu tentu saja.
Selanjutnya dari sisi pendapat yang diberitakan, banyak beredar pendapat baik dari politikus ataupun kaum intelektual yang seperti saya bilang tadi, sayangnya terlihat berpihak pada salah satu kubu , berangkat dari kesetujuan/ketidaksetujuan pada pemerintah, ataupun pendapat yang mundur ke belakang padahal faktanya “nasi sudah menjadi bubur”. Sebagai contoh, misalnya pendapat tentang kubu Agung Laksono sudah “tamat” jika Menteri Hukum dan Ham tidak mengajukan banding. Ini betul apa tidak? Padahal seperti sudah kita tahu bahwa Kubu Agung Laksono dalam perkara ini adalah sebaga Tergugat II Intervensi yang dalam prakteknya bisa juga mengajukan banding. Kemudian, ada pendapat yang bilang kalau Menteri Hukum dan Ham tidak pantas karena tidak punya kepentingan untuk mengajukan banding. Loh? Surat Keputusan yang diterbitkannya dibatalkan kok dianggap tak punya kepentingan. Kepentingan Menteri Hukum dan Ham seharusnya dibaca sebagai keinginan wajar untuk mempertahankan produk hukum yang diyakininya sudah benar. Sampai “titik darah” penghabisan (Kasasi atau PK) sekalipun dimaklumi untuk ditempuh, karena itu adalah hak. Apalagi dalam kasus ini jika dia tidak mengajukan banding tentu saja sama dengan isu “obok-obok” atau intervensi pemerintah itu terbukti dan dianggap benar. Lalu, apalagi ya? Tentunya yang ini debatable, tapi sebagai pengetahuan standar tentunya harus juga kita filter. Yaitu pendapat bahwa Majelis Hakim PTUN Jakarta dalam putusannya dalam perkara tersebut tidak sah/benar sebab mengandung Ultra Petita atau memutus di luar yang dimohonkan penggugat, karena menyatakan kepengurusan yang sah adalah hasil dari Munas Riau. Benarkah itu? Harap diingat, ini perkara yang diperiksa oleh PTUN, bukan perkara perdata. Kalau di perkara perdata hakim memang tidak diperkenankan memutus di luar yang dimohonkan. Tapi untuk Hakim PTUN? Setahu saya kewenangan itu ada, ada azas hakim aktif di sana. Jadi jangan disamakan dengan peradilan perdata, begitu ada amar putusan yang di luar petitum yang dimohonkan langsung saja merespon,”Ultra Petita!” Kalau saran saya sih, mohon dipelajari lagi. Apalagi bagi kita yang awam. Untuk adik-adik mahasiswa fakultas hukum, sepertinya ini kajian yang menarik ya, cocok untuk dijadikan bahan diskusi atau skripsi, mungkin.
Tapi, tentunya ada juga pendapat yang menurut saya solutif, yaitu “islah” untuk mereka yang bersengketa. Itupun kalau mau ikut dalam pilkada serentak yang katanya dalam waktu dekat ini. Bukankah KPU sangat tidak mungkin menerima parpol yang statusnya masih bersengketa?
Maksud tulisan ini tentunya bukan menyimpulkan pendapat saya adalah sudah benar, tapi terutama adalah berusaha menghimbau sesama penerima informasi, apalagi kita sebagai masyarakat awam untuk tidak menelan mentah-mentah apa yang disampaikan media, apalagi hanya mencocokkan keinginan /kepentingan pribadi kita dengan mengamini informasi yang “disukai” saja. Bisa salah kaprah nantinya. Biarkan saja Golkar yang “polah”, kita masyarakat jangan “salah kaprah”.
Salam.
.
.
C.S.
Awam pun bisa “njlimet” dan “mumet”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H