: Chris Suryo (49)
Sepercik lidah api menarikan cahaya. Dari pelita yang sanggup untuk terus menyala, sepanjang sumbunya basah oleh minyak kelapa. Menyeruakkan rona kuning keemasan yang berpendar. Menyibak keremangan senja yang beranjak merengkuh malam. Siramnya sajikan bayang-bayang yang melekat pada dinding batu di bilik pekiwan kaputren Amarta.Ranting semak, daun, bunga, ujung tanaman sulur yang merambat, juga air yang mengucur dari ujung bambu sebagai pencurah, sebelum gemericiknya tiba di lantai dingin berdasar lempengan karang, hampir semua terpapar sebagai gambar, di permukaan dinding itu. Lukisan dengan alas warna yang sama, hitam mengelam. Namun, di antara pembentuk bayang itu, hanya dua sosok yang dapat dikatakan benar-benar hidup dan bernyawa. Sebab pemiliknya adalah manusia, pria dan wanita. Tersebut pula sebagai ksatria dan dewi.
“ Bima, bisik hatiku mudah-mudahan tak salah duga. Kedatanganmu kali ini adalah saat bagiku, untuk menyanggul rikmaku kembali?”
Suara lembut itu terdengar nyata di antara gemericik air. Merdu namun membiaskan bauran antara kesedihan, kepasrahan, perlawanan dan juga dendam. Wajah ayunya sebagian terlindung oleh lebat rambut yang sekian masa ia biarkan tergerai, lunglai meluruh, hingga ujungnya menyentuh pinggulnya yang membulat padat. Ada saat angin kecil dari taman membusai, sisihkan sejenak helai-helai legam itu. Hingga bahunya yang begitu halus melangsat, lengan yang jenjang serta dada bergunung dan lembah sempurna itu sepintas ternyana. Demikian pula tertunjuknya rupa, kecantikan mahadewi yang mampu membuat sinar pelita pun takluk bertemaram. Hanya saja, pada titik hitam bola matanya yang permai, kilat api itu demikian menyilaukan. Bukan hanya titipan pelita yang tengah berkaca, namun gugatan yang terpendam lama, bahkan mungkin abadi dari satu orang wakil wanita. Dewi Drupadi.
“ Sekian lama, kutunggu kesempatan ini, Drupadi. Kini, genaplah pemenuhan sumpahmu. Dalam tempurung kelapa ini, kuhaturkan darah Dursasana untukmu ”.
Bima, sering juga dikenal sebagai Bratasena, juga Werkudara, Ksatria Jodhipati itu takzim sodorkan tempurung kelapa yang penuh dengan kental cairan merah. Darah Dursasana, saudara sekaligus musuh dari golongan Kurawa, dalam perebutan tanah kuasa bersama keluarga Pandawanya. Siang tadi, di arena Padang Kurusetra, tempat berkecamuknya perang Bharatayuda, ketika Sang Surya teriknya memuncak, ia berhasil memisahkan nyawa Dursasana dari raganya. Dalam pertarungan hidup dan mati, berdaulat dengan kobaran-kobaran api benci. Tepat ketika kuku Pancanakanya menghujam, lalu Dursasana meregang nyawa seiring tertumpahnya darah, bergelak pula tawa sang Bima. Drupadi, nama istri Yudhistira, raja Amarta yang adalah kakaknya inilah yang seketika hadir bagai kilatan petir. Wanodya yang dalam lekat ingatan Bima pernah dengan lantang gelegarkan sumpah, akan tetap mengurai rambutnya, tak berkehendak menyanggul hingga menjamasnya dengan siraman darah Dursasana. Bima ingin menyaksikan Drupadi sunggingkan senyum kembali. Keserian wajah yang demikian besar debarnya, bagi dia dan ksatria-ksatria Pandawa lainnya. Bukankah dengan darah ini sumpah itu digenapi? Namun, sesederhana itu angan Bima tak seperti apa yang terbenak. Setelah menerima tempurung kelapa penuh darah itu, Drupadi memanglah tersenyum, tapi senyum itu begitu dingin laksana menenggelamkannya ke dasar samudra.
“ Terima kasih, Bima. Sekarang, aku akan membilas diri dengan darah ini “.
“ Silahkan, Drupadi. Aku hendak undur diri”
“ Tidak! Tetaplah di sini, ksatria Jodhipati..!”
“ Ah,..apa yang baru saja kaukatakan?”
“ Tetaplah di sini, aku ingin kau menjadi saksi..”
Bima terdiam. Drupadi pun melenggang beranjak. Sisa geraknya hembuskan aroma harum tubuh yang menyapa. Menelusup relung hidung putra Pandawa yang kedua ini. Pada tepian gemericik air itu Drupadi menuju. Perlahan, Drupadi tanggalkan lembaran panjang kain pembungkus tubuhnya. Gerik alami, namun Bima melihatnya sebagai pesona gemulai tari. Kali ini, sang kain memiliki titik usai. Tak seperti saat dahulu, yang jelas lekat dalam ingatan Bima, tiada rapal-rapal Sang Krishna yang membuat kain Drupadi tersambung tiada henti. Ketika Dursasana dalam amuk birahi selangkah lagi hendak menggagahinya. Di antara gelak-gelak tawa para Kurawa.
Ujung akhir kain Drupadi telah menyapa lantai karang. Drupadi telanjang, tanpa sehelai pun benang. Begitu langsat kulit sang dewi, bahkan pendar pelita pun nanar. Apinya yang mungil seolah hendak berlompatan dari sumbunya, lidahnya bergolak tiada mampu menahan hasrat untuk mengecap tiap lekuk keindahan tubuh Drupadi. Demikian pula gejolak Bima. Pemandangan di depan netranya demikian cepat merambatkan desir-desir gelisah. Demikian sulit untuk membantah. Nafasnya bergemuruh seiring detak jantung yang memenuh. Kerongkongnya mendadak begitu sarat, mengajaknya untuk terus menelan ludah. Semakin berdegup saat Drupadi lanjutkan siramnya. Pualam hidup itu semakin mempesona dalam percik-percik membasah. Setangkup darah itu hanya mampu sekejap warnai kulit itu dengan sedikit bias merah. Lalu lenyap bersama busai bening yang melunturkan. Drupadi segar berkilau dalam basah. Sedangkan nyata dalam tubuh Bima, titik-titik basah itu adalah bulir keringatnya yang berpacu menahan gerah. Sebelum Bima menyerah dan memilih palingkan pandang, pada dinding batu pekiwan. Tapi sayangnya, tarian Drupadi itu pun tetap gelorakan hasratnya, lewat lukisan gerak bayang-bayang yang tersaji di sana. Bagi Bima, jauh lebih mudah bertanding mencabut nyawa sepuluh Dursasana, dibandingkan dengan menyikapi saat-saat seperti ini, bersama Drupadi. Dan di sela permandiannya, Drupaditersenyum, sebab ia bukan tak menyadari tentang ini.
“ Wahai Bima, mengapa kau alihkan muka? Ada yang salah denganku?”
“ Drupadi, kuminta segeralah kau tuntaskan jamasmu, lalu kenakan kembali kain penutup tubuhmu!”
“ Katakan kenapa, Bima! Aku bertanya itu padamu, bagiku kau Pandawa yang paling lugas dalam menyatakan kata..”
“ Kau begitu mempesona, birahiku bangkit tak terkira saat mataku menyaksikanmu”
“ Akan lebih mudah kiranya kau ikuti saja hasratmu, bukankah aku adalah juga milikmu, milik Pandawa ?”
“ Kau istri Yudhistira, kakakku..”
“ Kau? Apa yang kau maksud dengan kau itu?”
“ Tentu engkau, Drupadi!”
“ Kau salah, Bima. Bukan Drupadi, tapi tubuh telanjang Drupadi”
“ Ya, aku mengerti, kali ini memang aku keliru tentang itu. Tapi, paling tidak jika kau segera menutup tubuhmu, itu akan membantuku”
“ Membantu? Dalam hal apa?”
“ Menghalangi pandang netraku..”
“ Hei! Bukankah dahulu, saat Dursasana hendak menjamahku, tak setapakpun kainku tersingkap? Tapi tak tahukah engkau, dalam rapatnya penutup tubuhku, dengus nafasnya begitu beringas, seakan tubuhku hendak dinikmatinya tuntas, sampai akhir zaman..”
“ Tapi aku, kami, Pandawa, bukan Dursasana,...dan para Kurawa..”
“ Maaf, Ksatria, bagiku tak jauh beda..”
“ Drupadi, kau samakan kami dengannya.., kenapa?”
“ Kalian sama saja dalam memandang wanita, sebagai tubuh, menjadi benda. Menurutmu, apakah darah Dursasana ini telah cukup?”
“ Aku telah berusaha mewujudkan sumpahmu, Drupadi”
“ Dursasana memanglah durjana, namun bagaimana dengan para ksatria Pandawa yang menjadikanku sebagai taruhan buang undi?”
Bima tercekat dalam henyak. Beribu godam sedahsyat gada Rujak Polo, pusaka andalannya seperti memberatkan perkasa tubuhnya. Memaksanya untuk menekuk lutut, lalu sembah sujud di depan sang mahadewi, Drupadi.
“ Drupadi, kau boleh menumpahkan darahku, juga darah Pandawa lainnya, demi tuntaskan jamasmu..”
Wajah Drupadi melembut, api di matanya meneduh, seiring bening air matanya yang menyatu bersama percik pancuran. Perlahan ia berdiri, tanpa meraih kembali selembar kain penutup raganya. Tetap berpolos diri dalam keharuman aroma kembang. Lalu beranjak mendekati Bima yang bersimpuh. Lidah-lidah pelita itu masih terus memendar, menari-nari.
“ Bima, ...sekarang pandanglah aku, Drupadi..”
Maka, dengan ringan, Bima pun menuruti pinta itu. Di depan matanya kini, ia melihat Drupadi seutuhnya. Dari ujung jari kaki, betis, paha, merambat naik hingga payudara, leher, wajah, helai rambut dan keseluruhannya. Sempurna, tiap jengkal tubuhnya adalah pesona. Namun, berbeda dengan gemuruh di awal permandian sebelumnya. Kali ini, tiada gemuruh di dada Bima, apalagi desir birahi. Bagai kesejukan embun menyiram ubunnya, Bima merasa ada sebuah hal yang kini ia resapi.
“ Bima, apa yang kini kau lihat dariku?”
“ Seorang Drupadi..”
“ Terima kasih. Paling tidak, keinginan kami sebagai wanita berusaha kusampaikan. Setitik harap itu kami titipkan kepada kalian para pria, ksatria. Mungkin, dari masa ke masa, tentang wanita dan tubuh wanita itu akan terus menjadi perdebatan. Tapi, semoga wanita dihargai kehendaknya dalam keinginan untuk memaknai kewanitaannya. Jika tidak, kuyakin sedanau darah-darah pria untuk menjamasnya pun,.... tak akan pernah cukup ”
Bima mengangguk dalam. Kemudian, tangan-tangan kekarnya merengkuh Drupadi dalam pelukan. Dengan penuh keteduhan naluri, ksatria ini melembutkan jari, menyatukan helai demi helai rikma Drupadi hingga tersanggul dengan rapi. Begitu penuh penghargaan, bagai seorang ayah membelai putri tercintanya. Seperti pujangga merawat patung pualamnya.
***
pe/akiwan= tempat mandi
ke/aputren= istana putri
jamas=keramas
.
.
C.S.
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI