[caption id="attachment_140688" align="aligncenter" width="285" caption="Sarwo Edhie Wibowo. Pic from idwikipedia"][/caption] Setelah beberapa waktu lalu kita mengenang hari kesaktian Pancasila, dengan polemik G30S-nya. Dan tanggal 28 Oktober kemarin lalu, kita bergegap gempita dengan peringatan hari Sumpah Pemuda. Tentu saja dengan segala penyikapannya. Kali ini Saya tergerak mengenang kembali jasa seseorang. Seorang yang menurut Saya pantas dianggap pahlawan. Kesamaan asal tempat kelahiran, membuat Saya serasa memiliki dan bangga kepadanya. Beliau adalah salah satu pahlawanku yang juga lahir di Purworejo, Jawa Tengah. Namanya tak jauh dari kenangan tentang kesaktian Pancasila. Sejarah mencatat pula bahwa ia adalah salah satu ujung tombak penyelamat negara. Dari kehancuran karena "kudeta" yang menurut sejarah dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Siapa lagi kalau bukan Alm. Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, mantan Panglima RPKAD (Kopassus) masa itu. Sejak kecil, bahkan sejak beliau masih hidup, Saya sudah tahu bahwa kami punya pahlawan. Yaitu Pak Sarwo Edhie Wibowo. Dari buku pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), yang sekarang terus dipermasalahkan intervensi opini dari sang penguasa tempo dulu, Saya mengenalnya. Meski banyak kontroversi tentang buku-buku sejarah masa lalu, namun untuk peran Sarwo Edhie Wibowo, setahuku belum ada gugatan tentang kebenarannya. Justru, lebih pantas jika peran-perannya haruslah lebih diangkat ke permukaan. Disamping dari buku pelajaran SD itu, Saya merasa "dekat" dengan beliau ini, karena bermain dengan teman kecil yang "setahu saya" adalah keluarga dari Pahlawan yang satu ini. Nama teman kecil yang kumaksud itu adalah "Ruli" dan kakaknya, "Yopi". Saya tak inget nama lengkap mereka. Ruli sebaya dengan saya, sedangkan Yopi seumur kakak tertua Saya (lahir tahun 1972). Ruli dan Yopi adalah anak dari Ibu Yuliana, sedangkan nama bapaknya, aku lupa, yang kuingat sang bapak bekerja di Pemda. Mengenai hubungan darah mereka dengan Pak Sarwo, tentu saja Saya kurang tahu persis. Yang jelas, mereka menghuni rumah keluarga/tempat kelahiran Pak Sarwo Edhie ini. Saya ingat, dirumah ini ibuku sering berkunjung. Karena Ibu dari Ruli dan Yopi membuka salon di sini, namanya "Yuliana Salon". Dan ibu saya sering potong rambut atau keriting di sana. Kehidupan mereka pun biasa saja. Tidak kekurangan, juga tidak kaya. Ruli dan Yopi pun, bermain dengan kami tanpa kasta. Adu kelereng, mengejar layang-layang dan juga memancing belut bersama. Yang kuingat pula, waktu SD, Ruli pernah tidak naik ke kelas dua. Dan jadinya dia belajar sekelas dengan adik saya. Jika anda masih kurang percaya. Silahkan anda cek kebenarannya. Siapa tahu, ingatan masa kecil saya ini hanya keliru belaka, atau salah sangka. Rumah keluarga Pak Sarwo Edhie waktu kecil itu, terletak di Jalan Brigjen Katamso, atau lebih dikenal dengan Jalan Yogya. Jika anda berkunjung ke Purworejo, silahkan anda mengamatinya. Letaknya kurang lebih 1 km ke arah selatan dari bundaran Patung Perjuangan di tengah kota. Dikiri jalan, anda akan menemukan Kantor BRI Unit Pangenrejo, setelah berselang sebuah Gang, anda akan melihat rumah itu. Di belakang rumah itu sepertinya sekarang terdapat rumah praktek seorang bidan, dapat dilalui melewati gang tersebut. Gang yang jika disusuri akan mengantar kita menuju sebuah komplek pemakaman, dan jika diteruskan akan sampai pada tepian sungai, sungai Bogowonto yang cukup tenar di Purworejo. Bahkan nama sungai ini sekarang menjadi nama sebuah kereta ekonomi AC. Yaitu kereta Bogowonto.
[caption id="attachment_140691" align="aligncenter" width="340" caption="Dari Patung Pahlawan ini, sekitar 1 km ke arah Jogja, kita akan menemukan rumah keluarga Pak Sarwo Edhi. Foto ini kupinjam dari google/panoramia.com, karena sesuai."][/caption] Saya tidak akan meralat nostalgia ini. Karena saya ingat saat Sang Jenderal ini meninggal dunia. Jelas, saat itu Saya masih kecil/SD. Waktu persisnya tidak ingat, namun sekedar memohon bantuan wikipedia, saya menemukan tanggalnya. Yaitu tanggal 9 November 1989, jadi sekitar 22 Tahun yang lalu. Waktu itu Jalan Brigjen Katamso, Purworejo penuh sesak. Bermuara padat pada rumah ber-cat putih itu. Para tentara berjajar rapat penuh kidmat. Menggelar upacara pemakaman yang gagah. Derap sepatu berbaris, juga ledakan senapan "salvo" (kalo tak salah itu namanya, tembakan ke angkasa untuk mengantar anggota tentara yang berpulang), menggema ke udara. Dalam memori anak kecilku itu pula, ku lihat tentara-tentara khusus dengan baju beda dan pangkat beda. Juga dengan tongkat komandonya. Mungkin mereka jenderal-jenderal, aku tak paham pangkatnya. Mereka yang memimpin perhelatan, hingga jenazah di makamkan. Jika ingin tahu, makamnya ada di daerah yang disebut Ngupasan, termasuk wilayah kelurahan Pangenjurutengah atau Sindurjan, saya lupa. Anda bisa melalui Jalan Raya arah Purwokerto, dari arah kota sebelum RSUD Purworejo ada sebuah jalan aspal kecil, melewati jalan aspal itu anda akan menmpuh jarak sekitar 1,5 km untuk tiba di makam Jend. Sarwo Edhie Wibowo. Dalam hiruk pikuk itu, aku tak melihat Ruli dan Yopi. Entah kemana mereka waktu itu. Mungkin keluarganya sibuk dan mereka ikut dalam iring-iringan duka. Satu hal yang kusesali pasti. Entah aku tak jeli melihat atau memang tak ada sosok yang kuimpi untuk menengok lebih dekat. Yaitu, aku tak menemukan hadirnya Presiden Suharto. Kupastikan dia tidak hadir. Kalo hadir aku pasti cepat mengenal tampangnya. Karena di dinding rumah bilik-ku tertempel besar fotonya, juga dia sering tampil di televisi hitam putih tetanggaku, saat berpidato dan bercengkrama dengan petani. Dalam acara yang saat itu paling ku"sebal", yaitu acara "Liputan Khusus" setelah dunia dalam beritanya TVRI, stasiun TV satu-satunya. Sebal karena harus menunggu setengah jam lebih, untuk menyaksikan film detektif "Hunter" yang macho banget aksinya, dan kucatat lekat penampilan pasangan Hunter, yaitu si cantik Mccall yang cantik abis (waktu SD, saya pun sudah ngeh orang cantik..he..he). Herannya, jaman berbalik, aku justru rindu acara-acara liputan khusus seperti itu sekarang ini. Lalu bagaimana dengan ibu negara kita sekarang? yaitu Kristiani Yudhoyono? Ya jelas saja, saya nggak bakal ingat. Dia ada atau tidak. Tapi saya yakin dia datang, hanya karena dia tak diramal untuk menjadi Istri Presiden saat ini, jadi tak ada yang memperhatikan. Kalau dihitung perkiraan usia sih, waktu itu mungkin dia masih remaja. Masih cantik-cantiknya. Tak tahu juga, sudah pacaran dengan Pak Bambang atau belum. Jika ada yang penasaran, tanya saja sendiri. Yang jelas, saya dapat memastikan. Waktu itu Pak Harto memang tidak datang. Dan setelah Saya beranjak remaja lalu menjadi pemuda. Saya mulai ikut mempercayai sebuah kebenaran. Bahwa Sarwo Edhi Wibowo memang sengaja "disingkirkan" dari lingkaran kekuasaan. Sepertinya dengan pertimbangan, jangan sampai kepahlawanannya melebihi kepopuleran Sang Presiden itu sendiri. Jangan sampai menjadi pesaing ataupun ancaman. Pusaran politik saat itu lebih kuat membenamkannya. Sejarah memang bukan hanya untuk dikenang. Namun juga harus diambil hikmah dan pelajaran bagi kita semangat muda yang selalu rindu pembaruan, menuju kemakmuran bersama. Dalam damai dan sejahtera. Kami mengenangmu Pak Sarwo Edhie, semoga tenang di alam sana. Kami berharap dan berdoa juga untuk menantumu yang memikul tugas maha berat. Semoga dia selalu terjaga dan ingat menjadi salah satu jalan kesejahteraan rakyat. Rakyat Indonesia. . . By: Chris Suryo ( teman bermain Ruli dan Yopi) Nb: Maaf, sayang sekali saya belum sempat memberi foto rumah itu. Maklum, udah 2 tahun tak pulang kampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H