.
* DOSA YANG TERLUPA*
.
Beginilah terjalnya kisah jalinan asmara beda strata. Ketika orang biasa dan anak orang berada mencoba berpadu rasa. Harapan untuk bisa bersatu pada ujung kepastian hanya menapak pada posisi timbul dan tenggelam. Terkadang asa begitu membuncah cerah, namun berlalu sekejap dalam hitungan detik yang berubah. Runtuh terserak, meskipun ada saatnya mampu untuk endapkan amarah, menahan kelopak mata agar tak basah.
Mungkin aku yang salah, dahulu terlalu berani menyatakan hasrat padanya. Dan rupanya kesalahan menjadi semakin besar. Saat Retno, gadis itu, anggukkan mantap kepalanya, menerima dengan rasa yang sama. Oh, andaikan saja dulu dia menolakku, pelik dan pedihnya hari itu takkan terjadi.
Itulah masa, tak ada yang mampu mengira. Bahkan ketika semenit yang lalu kita tertawa bersama, tidak sanggup menduga saat waktu berikutnya, perih dan pilu menghujam rasa. Tertawa, berseri, menangis, riang, terbang, mendesah, lalu terhempas tandas. Pasrah.
“ Ret, aku besok tak usah ikut nganter kamu ke bandara, ya...”
“ Hm..., nggak papa Sur, aku ngerti kok,..”
Kekasihku ini menjawab perlahan, wajahnya tunduk menatap ujung kaki beningnya yang dibalut sandal kulit coklat muda, itu mahal dan serasi sekali di kakinya, yang tak bosan tangan nakalku sering mengelusnya. Bukan di sini, di bangku taman rumahnya yang asri. Tapi di kamar kostku saat suasana tengah sepi, lalu kami sering terlena berpeluh mesra di sana.
Sore itu sedikit mendung, namun sepertinya tetesan hujan masih sekian jeda hendak menyapa. Sedikit terpaan angin mainkan gerai panjang rambutnya, helai-helai lembut rikmanya luruh mengatup sebagian raut ayu yang tunduk. Senyumnya begitu indah saat kuberanikan diri menyingkap. Meski sepertiku, ada sayu di wajah, namun sungguh, aku ingin lebih lama menatapnya.
“ Aku tak ingin adegan-adegan sedih perpisahan, seperti di film-film itu kita alami, Ret. Nggak kebayang, kita yang ngalamin sekarang...”
“ Hmmm,...apalagi ditambah adegan kamu dipukuli papa dan abangku...hehe”, Senyumnya tetap manis, meski aku tahu itu dia paksakan.
Sesaat hening kembali, sepasang burung gereja hinggap di pagar tepat di depan kami yang resah, lalu terbang beriringan. Pada paruh mungil mereka tampak helai-helai rumput kering. Tampak ceria hendak merangkai sarang. Nyaman sekali hidup mereka. Tak perlu gelisah dalam membina asmara, suka sama suka, memadu kasih dan sepakat hidup bersama penuh nyanyian bahagia. Tidak seperti kami yang akhirnya lunglai tertusuk duri-duri tak terperi.
“ Ret, haruskah begini? Aku ingin mencoba lagi bicara pada papamu”
“ Tak usah, Sur. Aku masih ingat dan sedih saat orang tuamu kemarin mencoba,..apa kamu lupa hinaan papaku pada mereka?”
Kelu kembali yang kurasa. Geram namun tak berdaya jika kuingat hinaan keluarga Retno pada Bapakku yang mencoba baik-baik, hendak melamar Retno untukku. Nafas panjang yang kuhirup tak juga mampu redamkan sesakku yang tetap penat.
“ Ada yang aku justru lupa. Retno, maafin aku ya....”
“ Untuk apa, Sur?”
“ Dosa-dosa itu, aku tak mampu menjagamu...”
“ Bukan salahmu, Suryo...”
Kami tak mampu lagi untuk tak menangis. Mendung sore semakin kelam saat pelukan kami serasa tak ingin terlepaskan. Hingga saat perpisahan harus menjelang, hanya bisikan-bisikan lirihlah yang biaskan lilin-lilin kecil harapan.
“ Sur, kamu cepat selesaikan kuliahmu ya...”
“ Hm, kau juga Ret, di sana harus selesaikan juga...”
“ Iya,..kita kirim kabar ya, siapa yang duluan...”
“ Bisakah?”
“.....Aku tak tahu...”
“ Mungkinkah kita bersama lagi...”
“ Sur,....aku tak ..tahu..”
“ Bisakah ...suatu saat,..aku jemput kamu...?”
“ Tak tahu,...aku...ragu...”
Rimbang mataku semakin hangat, sehangat resapan yang kurasakan membasahi dada, dimana Retno bersandar di sana. Guncangan lirih di bahu lembutnya jelas kurasa, seiring isak tangisnya.
Kusentuh pelan kuncup dagunya, ingin kupandang kembali, raut wajah cantik tengadah yang selama ini lekat dalam dekapan hari-hari kebersamaan.
“ Retno,...satu hal yang kumohon kau memastikannya...”
“ A..apa itu, Suryo..”
“ Kumohon,..jangan gugurkan anak kita...., kumohon..”
“ Hmm, iya, Sur. Nyawaku taruhannya.....”. Anggukan yang mantap, ada api meski redup di matanya. Menyala pula di dadaku yang tengah nelangsa.
Perpisahan itu tak lagi terelakkan, bahkan lilin-lilin redup harapan itu, pendarannya berlalu dalam bias temaram, lalu tertiup angin hingga padam. Seiring waktu berjalan, tembok-tembok dan tiupan kencang hempaskan percik asa, meski hanya sedikit saja keinginan untuk jalinan kabar, serta sedetik saja masa untuk ungkapkan rindu yang tak tertahankan. Kucoba sekuat hati untuk sebuah kata, melupakan, namun rasa sesal dan tak berdaya itu selalu hinggap. Sesaat saja melupakan sepanjang hari terbayang. Apalagi dosa-dosa yang telah kutanamkan, selalu menghantui menghadirkan kisah yang tak terlupakan. Sekian tahun laju, terlupakan lalu hadir. Tak jua aku mampu.
***
Tengah malam ini begitu hening dan sepi, sekilas rintik hujan kudengar menyejukkan. Beranjak terhenyak dari busaian mimpi-mimpi abadi. Tergerak aku menuju ruang tengah rumah besarku. Sekilas kupandang wajah teduh istriku, yang pulas memeluk lelaki kecil buah hati kami. Ada senyum di wajah mereka yang menggurat perih di lubuk rasa.
Perlahan dan penuh rasa kusentuh dan mainkan tuts-tuts piano didepanku. Entah mengapa malam ini seolah mengajakku kembali menyuarakannya. Sunyi, saat perlahan dentingnya mengalun. Setengah bisik terbawa, akupun lantunkan nyanyian, yang selalu ingatkan aku pada tetesan air mata.
“ Denting piano, kala jemari menari
Nada merambat pelan
Di kesunyian malam saat datang rintik hujan
Bersama sebuah bayang
Yang pernah terlupakan....”
Tak jua kuhentikan lantunan suara dan dentingku, saat sosok lembut dan riap rambut istriku tiba-tiba hadir memelukku perlahan, harum tubuhnya begitu menyejukkan. Sesejuk tetesan hangat air mata yang kurasakan membasah di bahuku. Dan kamipun hanyut untuk menyanyikan lagu itu bersama, sepenuh rasa tak terkira.
“ Rasa sesal di dasar hati
Yang tak mau pergi
Haruskah aku lari dari
Kenyataan ini
Pernah ku mencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti...”
Lukisan besar yang terpajang di dinding rumah kami seolah tersenyum bahagia. Di sana sepasang burung gereja yang tengah merangkai sarang tampak berseri menyaksikan kami padu bernyanyi.
Setengah tahun lalu, akhirnya semua bercahaya kembali. Telah benderang kerdip lilin harapan itu. Saat aku mampu wujudkan mimpi, bertemu dan menjemput Retno jauh di negeri seberang sana. Juga janjinya yang ia tepati, buah hati kami dijaganya dengan sepenuh taruhan nyawa.
“ Hati kecil berbisik untuk kembali padanya”, ....dan kami telah kembali bersama....
***
.
.
C.S.
Jelas ini fiksi.
Sudah lama di draft, akhirnya publish juga.
Semoga menghibur. Salam bahagia.
Thanks to : Virgiawan Listyanto & youtube
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H