Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dominated Husband: Karier Menjulang, Suami Dilecehkan

13 April 2012   08:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:40 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah rumah tangga, terutama di perkotaan, sudah jamak terjadi bahwa suami dan istri keduanya bekerja/menjalani karier. Kondisi ini sebagian besar karena pertimbangan awal adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, meskipun tentu saja mungkin masih terdapat pertimbangan lain, misalnya ketika secara materi, sebuah keluarga dengan sang suami selaku kepala rumah tangga saja yang bekerja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan, namun karena ingin memberikan kesempatan pasangannya dalam mengembangkan potensi/aktualisasi diri maka diijinkan pula sang istri menjalani kariernya. Sudah semakin dimaklumi dan disetujui yang selanjutnya sering disebut sebagai salah satu sisi emansipasi tentang ungkapan bahwa “wanita tak ingin hanya berperan di sumur dan di kasur”, istilah jawanya “konco wingking” (teman di belakang suami).

Ketika kondisi itu berjalan dengan ideal, yakni saat keduanya mampu menempatkan diri sebagaimana mestinya dalam tugas sebagai istri ataupun suami, maka semua akan berjalan baik-baik saja. Dan sudah dipandang secara umum, bahwa merupakan sebuah kewajaran ketika karier/penghasilan suami lebih tinggi dari istri, karena pasti hampir semua sepakat bahwa dalam sebuah rumah tangga, suami sebagai kepala keluarga akan lebih memiliki percaya diri/wibawa dalam melaksanakan tugasnya ketika didukung peran besarnya secara ekonomi dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga.

Namun tidak dapat dipungkiri dan sering terjadi pula sebuah keadaan di mana sang istri ternyata memiliki karier yang lebih tinggi/menjulang dari sang suami, baik sejak awal pernikahan ataupun dalam perjalanan ketika kehidupan rumah tangga itu berlangsung. Pada posisi ini jelas bukanlah sebuah kesalahan, namun jika tidak diwaspadai dan disikapi dengan bijaksana akan sangat rawan menjadi bibit-bibit ketidakharmonisan. Mengapa demikian? Karena semua orang baik pria ataupun wanita, masing-masing memiliki sisi egois terhadap sebuah eksistensi. Dan sayangnya, kemampuan diri secara materi seringkali berjalan linier dengan timbulnya naluri ingin lebih dihargai. Demikian pula dalam sebuah hubungan suami istri. Dan ketika pasangan mengabaikan sikap untuk meredam gejolak ini, maka pada titik itulah sebuah kerawanan hubungan pernikahan bisa terjadi.

Perlu diingat kembali sebuah “kodrat” bahwa suami adalah sosok yang memiliki sisi ingin dominan terhadap istri dalam sebuah keluarga. Karena memang di situ terkait sebuah tugas,tanggung jawab, eksistensi serta kebanggaan diri menyangkut posisinya sebagai kepala keluarga. Sekali lagi, suami adalah kepala keluarga, ini bukan merupakan sebuah budaya lagi, tapi sudah kodratnya. Mudah-mudahan tak ada yang menyangkal tentang hal ini dengan alasan emansipasi lagi, yakni ingin diberikan persamaan bahwa istri “berhak” mendudukkan diri sebagai kepala keluarga meskipun di sana suaminya masih mampu/ada.

Ketika seorang istri kariernya lebih menjulang dibandingkan suaminya, demikian pula penghasilannya, jangan sampai dia terlupa bahwa dalam hidupnya ia memiliki rumah tangga yang di sana ada sang suami sebagai kepalanya. Meski karier/penghasilan sang suami lebih rendah atau bahkan ketika suaminya menjadi pengangguran sekalipun, dia adalah tetap kepala keluarga yang harus dihargai keberadaannya. Tak peduli seberapa tinggi jabatan sang istri di tempatnya berkarier, berapapun jumlah bawahan ataupun anak buah yang dengan mudah ditugaskannya menjalankan perintah, namun ketika berada di lingkup keluarga/rumah tangga, sang suami adalah “pimpinannya”. Jangan sampai terjadi, karena terlena, saat karier istri menjulang, baik sadar atau tidak sadar suaminya dilecehkan.

Dan hal ini sepertinya sering terjadi. Sang istri terlalu terbawa dengan “keakuan” atau katakanlah “kesombongan”nya saat berada di puncak karier, sehingga lupa dengan kodratnya. Kebiasannya mendominasi, memerintah, mengatur, serta mengambil keputusan terbawa dengan mengabaikan bahwa ia memiliki suami yang ingin pula dihargai. Akan sangat berbahaya ketika kondisi ini tidak disadari dan berlarut-larut, apalagi jika diiringi dengan kekerasan hati keduanya. Sang istri menganggap suaminya tidak lagi selevel dengannya dan sang suami terlanjur masuk ke dalam jurang putus asa dan merasa tak berarti/percaya diri. Tinggal menunggu waktu bubarnya rumah tangga itu yang kemungkinan besar akan terjadi.

Alangkah baiknya saat sang istri berada dalam kesuksesan yang melebihi suaminya, ia harus peka terhadap sikap dan apa yang dirasakan suaminya. Tetaplah berusaha menghargai serta memposisikan diri sebagai istri yang berbakti kepada suaminya.

Demikian pula terhadap sang suami, meskipun secara karier dia berada dibawah sang istri, jangan memandang hal itu sebagai sebuah “kekalahan”, namun jadikanlah itu sebagai motivasi untuk semakin lebih baik dalam berkarya. Paling tidak, mantapkanlah niat untuk tetap menjadi kebanggaan bagi istri dan keluarga. Mungkin rasa “minder” itu ada, tapi jangan selalu dipelihara.

Keduanya harus tetap ingat pada komitmen awal saat berumah tangga. Untuk saling mengisi dan menghargai, bekerja sama dalam mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera. Dan ingat, rasa saling kasih sayang itu harus selalu dan tetap ada. Kesuksesan sang istri adalah kesuksesan sang suami juga.

Salam bahagia.

.

.

C.S.

Gaya banget ya...

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun