Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doa Ibu

10 Januari 2014   09:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Masih terlintas dengan jelas. Di matanya, dia adalah lelaki kecil yang sederhana. Tumbuh dan besar di desa, jujur dan patuh kepada nasihatnya sebagai ibunya. Ketika anak lelaki itu terkadang kembali datang, berupaya keras sang ibu melawan gamang. Benarkah lelaki yang kini akrab dengan persaingan, kejayaan serta kejatuhan dalam mengejar kue-kue kekuasaan negeri itu, masih seperti yang dulu? Mungkinkah racun-racun politik sama sekali tak mengalir bersama darah-darahnya yang dulu sederhana? Apalagi setelah lelaki kecil ini sempat meraih kedudukan mulia di pusaran penguasa? Terngiang segala keraguan yang tak terungkap dalam tanya. Kebimbangan yang berusaha ia selimuti kehendak ingin percaya.

Sekarang, anak itu kembali datang. Dalam masa-masa kejatuhan. Namun tak serta merta memunculkan kembali kesan kesederhanaan yang dulu melekat. Padahal sang ibu begitu ingin kenangan itu ia rasakan. Di depannya, mata anak itu berselaput perpaduan antara bara api dan beku es balok. Sang ibu berupaya membacanya sebagai kemarahan, dendam, serta ketakutan. Lalu menyeruak dalam degub dada yang bertalukan bunyi lawan dan melawan.

“ Ibu, percayalah padaku. Aku tak serupiahpun melakukan korupsi. Ini semua adalah permainan politik. Dan sekarang, aku adalah korban!”

“Sebagai ibu, tentu aku ingin lebih percaya padamu, Nak”

“ Mohon doamu, Ibu. Semoga aku terbebas dari tuduhan korupsi ini!”

Sang anak beranjak pamit dengan harapan terkabulnya doa ibu yang pasti ia berikan. Sang ibu mengangguk perlahan. Dalam gemuruh hati yang berupaya menguak pintu-pintu tanya. Tentang keraguan, kejujuran, kebenaran dan misteri panggung kekuasaan. Menghirup dan menghembus nafas begitu dalam, ia bergumam, “ Tak usah kauminta, aku selalu lakukan itu. Tapi jangan kau dikte isi doaku ”

Di ruang tengah, tampak bising suara televisi dari sebuah chanel milik politisi. Penuh berita dan opini riuh tentang kasus korupsi. Juga tentang anaknya. Kemudian sunyi. Saat sang ibu memilih memencet tombol off di remotenya. Sudah menjelang senja. Saatnya ia bersiap diri untuk berdoa.

***

.

.

C.S.

Jum’at, 10/1/2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun