[caption id="attachment_187309" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Dari jaman ke jaman, buku selalu menjadi rujukan dan wadah utama untuk membagi, mencari ataupun menyimpan berbagai ilmu pengetahuan. Tak salah jika dipahami sebagai kumpulan lembar-lembar kosong untuk mencatat ataupun penyatuan lembaran catatan untuk dapat dibaca kemudian, atau untuk disimpan agar tak tercecer dan mudah dilupakan.
Pada masa lampau, sebelum ditemukan/diciptakannya kertas, manusia terdahulu menggunakan berbagai media untuk menulis dan mengumpulkan catatannya. Dari lempeng batu, kulit kayu, kulit binatang, ataupun juga gulungan (daun) rontal. Hingga akhirnya cara itu diperlancar dengan adanya kertas. Proses menulis, mencetak dan membaca menjadi lebih dipermudah.
Namun tentu saja kemudahan itu tidak terbebas dari efek sampingannya. Jika dahulu tak terlalu dirasa sumbang perannya, namun sejak beberapa tahun belakangan ini penggunaan media kertas termasuk buku semakin kuat gejalanya untuk dihadapkan pada problem kerusakan lingkungan/hutan. Hal ini mengingat bahan baku utama yang jamak digunakan untuk pembuatan kertas adalah kayu. Meskipun tidak pantas dicap sebagai sumber kerusakan utama, namun penggunaan kertas tetaplah dianggap menyumbang peran dalam penebangan pohon-pohon di hutan (deforestasi). Tak dipungkiri, di samping faktor demografi, industrialisasi yang tanpa kendali memanglah menjadi momok utama kerusakan lingkungan/hutan, dan industri kertas menjadi salah satu bagian di dalamnya.
Disamping gerakan aktifis lingkungan yang boleh dipercayai untuk mengerem laju kerusakan hutan, dalam perkembangannya pemberdayaan sikap/budaya untuk mengimbangi problem di atas juga dilakukan. Didukung dengan teknologi yang semakin berkembang pesat, menyodorkan pula berbagai penemuan sebagai pilihan. Terutama dalam teknologi informasi, budaya memaksimalkan paperless layak didukung sebagai penyeimbang. Meskipun tentu saja tidak segala bidang dan kegiatan bisa diupayakan dengan paperless, semua sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang sedang dijalani. Ada yang cukup dengan media elektronik (email, dan sebagainya) namun tentu saja ada yang “diharuskan” menggunakan kertas itu, terutama yang berkaitan dengan keabsahan. Inti paperless di sini sebenarnya adalah “penghematan”.
Sebagai rangkaian efek selanjutnya adalah dalam dunia media cetak, khususnya koran dan buku. Keduanya pun di samping berhadapan dengan isu lingkungan, juga mendapatkan tantangan dari teknologi/media digital/online. Banyak bisnis media cetak/koran/majalah yang berguguran, namun masih banyak pula yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan berbagai inovasi.
Khusus dalam dunia perbukuan pun tak mampu menghindar dari tantangan majunya teknologi (digital). Adanya buku-buku elektronik (e-book) diyakini cukup menggerus jumlah pengguna/pembaca buku-buku “tradisional” (kertas). Jika dilihat dari segmen yang tergerus itu, meski tak mutlak, sebagian besar dapat diperkirakan berasal dari pengguna dalam kategori usia “muda”. Sedangkan untuk pembaca dalam golongan tidak muda lagi diyakini lebih berkenan dengan membaca buku-buku cetak/manual/tradisional/kertas.
Sedikit berbeda dengan koran cetak yang dituntut dengan tambahan platformnya yang aktual, peluang buku cetak untuk tetap bertahan/berkembang masih terbuka lebih luas. Hal ini didukung dengan masih adanya segmen pembaca, terutama usia tertentu yang masih lebih menyukai produk buku dalam bentuk cetak. Terlebih lagi, masih banyak kondisi tertentu yang mendukung pembaca untuk lebih nyaman membaca buku cetak, di banding membaca e-book. Karena antara buku cetak dan e-book masing-masing memilik kelebihan dan kelemahan yang tentu saja berpengaruh pada pilihan pembaca (usia, tingkat kelelahan mata, waktu, kenyamanan, suasana membaca, dan lain-lainnya).
Dan ketika di hadapkan pada problem lingkungan dalam hal ini terkait isu deforestasi, maka untuk penggunaan kertas pada umumnya dan buku cetak pada khususnya tetaplah dapat diakomodasi langkah-langkah agar perannya dalam kerusakan lingkungan itu dapat diminimalkan.
Sangat berharap agar industri kertas jeli menanggapi problem ini. Penebangan yang terpola dengan memperhatikan regenerasi pohon sangat-sangat perlu dikedepankan. Tentu saja inovasi/riset untuk selalu mencari bahan baku kertas yang lebih berlimpah dan tak merusak lingkungan harus digalakkan (masih banyak daun kering, enceng gondok, pelepah pisang, dan sebagainya).
Sungguh patut dipuji pilihan untuk memproduksi kertas daur ulang. Pecinta buku sejati pun pasti peduli dengan apa yang menjadi bahan baku buku yang ia baca. Tak harus baru/bagus jenis kertas apapun pada buku yang dipegangnya, karena yang penting adalah pengetahuan di dalamnya. Alangkah indahnya ketika membaca buku yang berbahan kertas daur ulang, kreatif dalam desainnya, serta bermanfaat isinya.
Buku cetak, buku elektronik (e-book) dan lingkungan/hutan tidak selayaknya “bermusuhan”, mereka dapat “didamaikan”.
Salam pecinta buku.
.
.
C.S.
Mata gampang cekot2 kalo baca e-book.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H