Seperti banyak media memberitakan, Rasyid Amrullah Rajasa (22), terdakwa kasus kecelakaan maut di Tol Jagorawi Km 3+335 yang selama ini cukup menyita perhatian publik, akhirnya dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Merujuk pada Undang-undang (lalu lintas) yang dilanggarnya, Rasyid divonis lima bulan hukuman penjara serta denda sebesar Rp 12 juta. Apabila tidak dibayar, maka Rasyid dikenakan masa percobaan enam bulan. Boleh dikatakan bahwa hal itu berarti Hukuman pidana akan dijalankan apabila, dalam tenggang waktu enam bulan belum berakhir putusan hakim, dia terbukti bersalah melakukan tindak pidana.
Reaksi “spontan” yang tampak mendominasi pendapat publik adalah bernada ‘mencibir’. Celoteh-celoteh berseliweran dengan substansi telah terjadinya ketidakadilan, sidang abal-abal, intervensi kekuasaan, Rasyid tidak diberikan hukuman setimpal, tidak ada pesan jera kepada masyarakat dan sebagainya. Bahkan ada yang menurut saya keterlaluan, ketika ada komentar dalam sebuah artikel di media online yang ‘mengutuk’ agar keluarga hakim mengalami hal seperti korban (bagaimana jika kutukan itu ‘berbalik’, si pengutuk mengalami musibah menjadi pelakunya?).
Saya sedikit menduga, latar belakang respon itu adalah berangkat dari sisi “ketidaksukaan” kepada darimana si terpidana/terdakwa “berasal”. Bukan murni dari sudut ‘nurani’ tentang ‘penyelesaian terbaik’ apa yang sebaiknya berlangsung untuk pelaku dan korban (keluarga korban). Anda marah dengan pendapat saya ini? Saya terima dengan lapang dada dan mohon maaf sebesar-besarnya. Itu risiko bagi saya menuliskan hal yang mungkin ‘berseberangan’ dengan ‘arus deras’ suara kebanyakan. Yang jelas, mohon dimaklumi tentang perbedaan isi kepala saya ini.
Dengan jujur saya mengajak Anda berandai-andai. Yakni, apa yang akan kita upayakan jika mengalami hal serupa dengan peristiwa itu, baik ketika menjadi pelaku ataupun saat menjadi korban (keluarga korban). Sekali lagi, maaf jika saya lancang menduga. Sebagai orang biasa yang tak terafiliasi dengan ‘kekuatan khusus’ manapun, Anda ataupun juga saya saat mengalami kecelakaan/menabrak kendaraan/manusia lain hingga menimbulkan korban meninggal, tentu sangat berharap agar terhadap ‘musibah’ ini dapat diupayakan penyelesaian secara kekeluargaan. Tak perlu dibawa ke jalur hukum. Begitupun dan meski tentu agak berbeda, ketika kita menjadi pihak (korban). Yang utama terbersit adalah harapan agar pelaku itu ‘bertanggungjawab’. Tanggung jawab yang dimaksud dalam hal ini terutama adalah permohonan maaf, ganti rugi, santunan, serta kompensasi-kompensasi lainnya yang dianggap layak, hasil dari musyawarah secara kekeluargaan. Jalur hukum? Sepertinya itu adalah hal dengan nomor urut entah keberapa, untuk menggantikan kata ‘terpaksa’.
Sebelum istilah ‘resrorative justice’ menjadi tren baru-baru ini, mungkin kita pernah mendengar atau berada dalam lingkup pengalaman. Sebagai ‘orang biasa’, peristiwa-peristiwa sejenis ini bisa terselesaikan dengan baik, damai dan penuh semangat kekeluargaan. Tak berujung pada BAP di kepolisian ataupun buih-buih ludah debat pengacara dan jaksa di persidangan. Apalagi menjadi tema acara ‘hiburan’ di televisi tempat berkumpulnya sosok-sosok yang merasa menjadi “ahli” hukum pada Indonesia Lawyer club (ILC). Bagaimana dengan hukuman setimpal? Atau efek jera untuk yang lainnya? Dalam hal ini, tentu tak ada gunanya mempersandingkan apa yang letterlijk di undang-undang dengan ‘rasa’ terhukum dari musibah itu sendiri. Apalagi tentang efek jera, tanpa diberi contoh hukuman apapun, pada tiap pengguna jalan tentunya diharapkan sudah mengerti unsur risiko. Tentang rasa takut, kuatir mengakibatkan celakanya orang lain dan kemungkinan hilangnya nyawa sendiri.
Dan dalam kasus inilah saya melihat “kesalahan utama” Rasyid. Karena dia anak dari Hatta Rajasa, pejabat tinggi yang namanya “sensitif’ di negeri ini. Andai dia berasal dari keluarga biasa saja, mungkin penyelesaian secara kekeluargaan itu bisa menjadi pengalamannya. Namun, sayangnya, dia anak Hatta Rajasa, sebesar apapun kompensasi tanggung jawab, santunan, ataupun upaya penyelesaian kekeluargaan yang dilakukan, demi opini publik, persidangan tetap harus dijalankan. Jangankan sebuah vonis ‘ringan’, hukuman lebih berat pun sepertinya tetap tak menjamin suara-suara ‘ketidakpuasan’ itu hilang. Karena sejak awal, risiko “kesalahan” sebagai anak Hatta Rajasa itu sudah melekat.
Salam sudut pandang.
.
.
C.S.
Tak kenal rasyid