[caption id="attachment_169778" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Semakin hari kurasa hidup di Jakarta ini semakin sulit saja. Gaji bulananku selalu saja mengalir keluar seperti rembesan air dari ember yang bocor. Awal bulan kuterima, bayar cicilan sana sini, juga kebutuhan sehari-hari anak istri, lalu habis dalam sekejap. Seolah gaji yang tak seberapa itu hanya numpang lewat saja.
Ini sudah pertengahan bulan, kebutuhan tak terbendung. Beruntung ada rekan yang membutuhkan bantuanku di kantornya, lumayan buat tambahan. Meski harus pulang larut malam. Seperti malam ini, aku sedang meluruskan punggung di kursi malas setelah pulang dari kerja tambahan. Tiba-tiba telepon berdering.
“ Halo, malam”.
“Ha..,halo.., Le. Ini..... Emak, Le”, Suara renta dan gugup dari seberang kudengar. Emakku yang ada di kampung.
“ Iya,..Mak. Ada apa, kok malam-malam?”
“ A.., an...anu, Le. Maaf,...bulan ini....... udah kirim belum?”
Deg! Dadaku seperti dihantam godam. Sudah pertengahan bulan, aku terlupa mengirim uang untuknya. Meski tak banyak, itu sangat dia andalkan untuk menopang hidup sehari-hari, sebagai janda tanpa pensiun, hanya menunggu warung kelontong kecil saja, karena mendiang Ayahku hanya tukang kayu.
Kondisi ini yang seringkali membuatku merutuk saat terdesak. Gajiku yang tidak seberapapun masih harus memikirkan mengirim uang untuk Emak dan juga Ibu Mertuaku yang kondisinya tak jauh beda. Sering aku iri pada rekan-rekan kerja, yang lahir dari orang tua kaya, atau setidaknya tidak mengandalkan kiriman anaknya. Seperti kami sekarang ini. Ah, tapi itu hanya sekilas pikiran picikku, yang selalu dengan cepat kugilas habis. Aku tak boleh menyalahkan kondisi ini, aku yakin Emak sangat tidak menikmati saat harus meminta seperti ini. Dan, kali ini, aku memang benar-benar terlupa. Dan.., dan...uang itu terlanjur banyak kupakai untuk kebutuhanku bulan ini, mepet sekali.
“ Aduhh!.., Mak. Maaf,..aku..aku...lupa..”
“Oh,..tak apa,.....kamu lagi susah ya, Le?”
“ Nggak..., nggak..kok,..ada kok Mak, ..ada. Besok tak kirim..”.
“ Ma.., maaf ya,..Le. Emak...Emak, kepekso..., warung lagi sepi, udah banyak saingan”.
“ Udah, Mak. Emak tenang saja, besok tak kirim.., Emak sehat to?”
“ Sehat kok,..sehat. kalian gimana?”
“ Baik, Mak. Semua baik-baik saja..”
“ Ya, udah,..Le. Aku di wartel, nih.., nggak bisa lama-lama. Udah dulu ya..., maafin Emak.... ya, Le..”
Tut..tut.., sudah diputus.
“ Aku yang minta maaf, Mak..”, gumamku sambil merebahkan bahu.
Sekejap kupejamkan mata. Terlintas bayang-bayang kenangan saat masa kecil dulu, sewaktu aku merengek minta jajan, saat Emak harus berhutang di pasar untuk membelikannya. Juga pada saat sampai malam dia menjahit seragam SD-ku yang sobek sebelum waktunya, karena kenakalanku. Ketika dia rela menjual simpanan emasnya yang tidak seberapa untuk biaya kuliahku. Saat dia harus buruh matun di sawah sepeninggal Ayah. Dan ketika..ketika.., banyak sekali miliknya yang harus menguap untukku, anak satu-satunya.
Emak, maafkan Aku. Besok pagi-pagi pasti kukirim uang bulanan itu, akan kuminta dulu honor dari temanku, dia pasti tak keberatan untuk itu.
Aku berjanji, tak ingin mendengar lagi, suara gugup Emak yang begitu tertekan saat harus meminta sedikit uang dari anaknya. Sampai sekarang aku belum juga mampu merubah nasibnya. Hutangku jauh lebih banyak padanya, tak akan lunas meski mencicil sepanjang masa.
.
.
C.S.
Feb/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H