Ini sedikit mengenang “model” pendidikan era dahulu (tahun 80an) di daeral asal Saya (Purworejo) dan apa yang sebatas mampu saya lihat pada jaman sekarang di Jabodetabek, meskipun jelas tidak bisa dianggap sebagai sebuah generalisasi.
Masa sekolah Saya dulu terutama sejak SD sampai dengan SMA semua saya tempuh di sekolah negeri. Dan dari ketiga level itu, meskipun biayanya tidak “gratis” namun disesuaikan dengan kemampuan, yakni digolong-golongkan berdasar mata pencaharian/tingkat penghasilan orang tuanya, bahkan yang benar-benar tidak mampu ya dibebaskan. Kalau tak salah menteri pendidikan yang sempat saya alami waktu itu adalah Bapak Daoed Yusuf, Nugroho Notosusanto, dan Fuad Hasan.
Khusus untuk pelajaran/pendidikan agama, disediakan gurunya masing-masing, termasuk bagi siswa yang beragama non Muslim. Berapapun jumlah siswa non muslim itu, meski satu orang sekalipun. Biasanya jika tak ada guru agama/beragama non muslim di sekolah itu, digunakan/panggil jasa guru dari sekolah lain (khusus) untuk memberikan materi pelajaran pada hari-hari tertentu. Tak tahu persis apakah ini sukarela atau ada honornya, tapi Saya yakin itu ada “honor”nya, yang berarti memang ada anggaran yang disediakan.
Yang paling terkenang pada masa itu adalah ketika Saya SD. Terutama karena pada usia itu saya percaya bahwa seorang anak menilai dan menjalani hari-hari sekolahnya dengan polos, sedangkan usia SMP/SMA sudah agak “berbeda”.
Di SD Negeri itu, Saya satu-satunya murid non muslim (kristiani) di kelas itu. Saya masih ingat, kalau tak salah setiap hari Kamis, pada jam pulang sekolah, Pak Petrus, guru khusus yang sengaja diundang oleh sekolah, datang untuk memberikan pendidikan/pengajaran agama untuk Saya. Hubungan antara Pak Petrus dan semua guru di sekolahku itu sedemikian akrabnya, mungkin karena kebetulan dia adalah seorang guru SD juga di tempat lain yang seringkali bertemu dalam forum-forum guru sekota/kecamatan. Pak Petrus aslinya adalah guru kesenian di SD tempat dia mengajar, bahkan ketika sekolah kami ada kelas yang kosong (ada guru yang berhalangan), Pak Petrus dengan senang hati mengisinya, meski hanya mengajarkan tembang macapat.
Untuk guru Pendidikan Agama Islam, jelas Saya ingat sekali. Namanya Bu Ummi, lulusan SGA kalau tak salah. Dia selalu berkebaya anggun, memakai kerudung (bukan jilbab setahu Saya), murah senyum dan meski agak “galak” pada murid yang malas mengaji, tapi baik hati. Ketika jam pelajaran Agama Islam, dia membebaskan saya untuk tetap di kelas ataupun jika ingin keluar kelas.
“ Chris, mau di kelas saja atau di luar membersihkan halaman?”
“ Di sini saja ah Buk, nggak papa kan?”
“ Nggak papa, tapi “anteng” ya, jangan “rame”...”
“ Iya Buk, baca komik boleh?”
“ Komik apaan?”
“ Superman...hehe..”
“ Ya, boleh...boleh”
Komik Superman yang Saya maksud adalah kumpulan komik-komik tipis hadiah dari produk sabun mandi L*f*boy. Bukan punya saya, tapi milik Kadarisman, teman sebangku yang sengaja membawakannya dari rumah, khusus untuk Saya baca setiap saat ketika pelajaran Bu Ummi berlangsung. Paling tidak, “upah”nya adalah aku bersedia membantunya dalam proses menghapal Surat seperti yang sering ditugaskan Bu Ummi pada anak-anak. Saya yang pegang Juzamma lalu mencocokkan apakah terjemahan yang dihapalkan Kadarisman sudah benar. Jika sudah oke, dia tunjuk jari untuk maju ke depan kelas. Hm,...lugu dan indah.
Sedikit banyak, saya pun sering mengikuti penuturan Bu Ummi yang menurut Saya memang bukan hanya menguasai materi, namun juga “menguasai” anak-anak. Sayangnya, dulu aku kurang memperhatikan saat Bu Ummi memberi pelajaran menulis Arab, mungkin karena Superman yang kubaca sedang bagus-bagusnya. Coba kalau dulu Saya perhatikan, pasti lancar nulis/baca tulisan arab selancar Bu Ummi yang seperti menulis latin saja,...sat..set..kliuk..cetok!
Perkataan Bu Ummi pada murid-muridnya yang sering kurekam adalah “, Kita harus saling menyayangi termasuk pada orang lain yang beda agama”. Seirama dengan apa yang disampaikan Pak Petrus pada Saya ketika mengajarkan tentang Hukum Kasih termasuk saat menyelinginya dengan bernyanyi. Lagu yang paling Saya sukai adalah “Salam Damai”.
Itulah sedikit lintasan-lintasan kenangan yang Saya ingat pada masa pendidikan (dasar) dahulu, di daerah pelosok asal Saya sana. Entah sekarang seperti apa di sana. Apakah sekarang sudah seperti yang terbayangkan di Jabodetabek ini? Mudah-mudahan tidak.
Memangnya di sini seperti apa? Sepertinya kita sendiri yang bisa menyimpulkan dan merasakan, meski mungkin bervariasi pengalamannya. Namun sekelumit pengamatan baik dari pengalaman sendiri ataupun sahabat lain, kondisi pola pendidikan seperti di kampung halaman Saya dulu “sulit” ditemui, itulah mungkin yang menyebabkan rekan-rekan nonmuslim jika tidak “sangat terpaksa” enggan menyekolahkan anaknya di SD Negeri di Jabodetabek ini.
Pendidikan mengenai toleransi dan menghargai perbedaan/keberagaman Agama dan kepercayaan sudah selayaknya diterapkan sejak dini. Peranan institusi pendidikan jelas sangat diperlukan, paling tidak hal itu akan meringankan “beban” orang tua dalam mendidik anaknya tentang keberagaman. Jika tidak, sejak dini anak-anak hanya cenderung “mengetahui” homogenitas saja, tak peduli pada “heterogenitas”. Sangat dikhawatirkan “benturan” kenyataan itu akan terjadi menjelang mereka remaja dan dewasa nanti.
Semoga ini hanya “keresahan” Saya pribadi. Mudah-mudahan masih banyak guru seperti Bu Ummi dan Pak Petrus tadi, mereka guru agama Saya sejak dini.
.
.
C.S.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H