Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bidadari Kanvas Luka

22 Juni 2012   12:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:39 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku tak tahu mengapa ini selalu terjadi. Tanganku mudah sekali melayang menerpa wajahnya yang lembut. Pipinya seolah kanvas putih yang menjadi pertanda luka jiwa. Bilur merah tak jera membias di sela isak tangisnya.

Satu tampar satu sesal. Yang ia bantahkan seringkali benar, tapi dorongan diri yang akupun selalu tak mengerti, sedemikian mudahnya ingin menyakiti. Seolah gumpalan hitam di ubun-ubunku lenyap meluntur saat jerit tangis dan sakitnya mengguntur.

Satu tampar satu usapan. Dia tak pernah menepisnya dengan dendam, saat gemetarku membelai pucatnya sisa luka. Maafkan aku, ...., tapi kata itu tak jua terlontar, tercekat di kelu kerongkongan. Meskipun kuyakin dari tatapan nanarku telah tergambar.

Air mata itu jelas ada, meluncur deras di pipinya, membasahi bekas tanganku di sana. Senyum nyeri dan mata teduh itu menusuk dada, lalu ia pergi tanpa kata. Telah terbayang hari-hariku akan tanpa kehadirannya, aku pasti kehilangan, sebuah cinta yang tak terdefinisikan seperti apa bentuknya.

Tapi entah siapa yang sudah gila, aku ataukah dia. Aku tak bisa hidup tanpanya, diapun selalu datang kembali saat fajar tiba. Membelai tulus wajahku dengan senyum lembut yang tak menceritakan luka, juga harumnya kopi pagi yang ia seduhkan dalam riang canda.

Adakah ia bidadari yang turun ke bumi? Hendak mengusir iblis yang bersemayam dalam lemah hati? Ah, bukan! Dia manusia biasa. Sang ayu yang lugu telah terjerembab menjadi kekasihku. Entah bodoh atau tak beruntung menerima cinta yang tak bermutu, lalu membalasnya dengan pasrah diri tingkat tinggi. Tapi mungkinkah terjadi kalau ia bukan bidadari? Bilur tamparku itu tak hanya sekali dua kali, namun selalu terulang lagi. Sewajarnya dia berlalu pergi, tapi ia tetap hadir kembali bersama hangatnya mentari pagi.

Oh, tidak! Dia pasti bidadari! Malaikat untukku yang ditakdirkan turun ke sini. Karena kalau dia pergi dan tak ingin kembali, aku pasti telah lama sekarat dan mati.

.

.

C.S.

Jangan katakan itu mimpi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun