Beberapa hari ini, saya tertarik dengan sebuah buku yang tergeletak di meja kerja salah seorang rekan saya. Jujur, bukan tertarik untuk membaca isinya, tapi tertarik untuk “mempromosi”kan buku itu agar dibaca teman-teman saya lainnya. Kenapa? Karena judulnya. Judulnya apa? Saya tak ingin mengatakan secara detail/persis. Selain bukan berniat mengupas/membedahnya, buku itu sendiri saat ini entah di mana letaknya. Yang jelas , di sana tertulis paling besar di antara kata lainnya, menjadi bagian utama dari judul buku itu, adalah kata “BERTOBAT”.
Harus saya akui, saat menawarkan buku itu kepada rekan-rekan akrab lainnya, niat utama saya adalah bercanda. Silahkan Anda memarahi saya kalau pilihan bahan untuk bercanda itu tidak lucu, tapi menurut saya, andaipun cara menawarkannya secara serius pun lebih besar kemungkinannya untuk menjadi “tidak lucu” juga. Saya hitung, sekitar empat orang dari empat yang saya tawarkan untuk membaca buku itu dapat disimpulkan telah “menyatakan tidak/belum berminat”.
“ Mas, ada buku yang kayaknya bagus dan cocok buat kau baca..!”
“ Apa? Buku Apa?”
“ Nih..” (Sambil memperlihatkan/menunjukkan judul di sampulnya)
“ Uasssemmh! Memangnya aku banyak dosanya?!!”
Kurang lebih semacam itu reaksinya, tentu saja kami timpali sembari tertawa. Tanggapan seperti : Memangnya aku pendosa? atau Memangnya aku sudah mau mati? dan sejenisnya, sepertinya cukup untuk menunjukkan cermin bagi saya sendiri bahwa saya, kami dan (maaf) mungkin Anda pun belum tertarik sepenuhnya dengan petuah untuk bertobat. Bisa jadi karena sebab di atas tadi. Merasa tak melakukan banyak dosa, atau belum saatnya.
Dengan cara serius atau bercanda pun, dapat diduga respon berbeda terhadap katakanlah buku lain yang memiliki judul/tema yang bersifat memberi petunjuk terhadap terpenuhinya apa yang menjadi keinginan-keinginan nikmat di dunia. Misalnya buku bertema : Rahasia Sukses dan Kaya, Kunci-Kunci Mencari Rejeki, Kaya tanpa Modal dan sejenisnya. Cenderung akan lebih menarik minat/ antusiasme untuk dibaca. Berbeda rasanya dalam merespon tawaran buku bertema: BERTOBAT (lah).
Tentu bukanlah bermaksud menggeneralisir bahwa meskipun ada dalam doa-doa keseharian kita, unsur bertobat atau mohon ampun itu seringkali hanya menjadi ritual semata. Tertutup atau tenggelam dalam berjibunnya permintaan-permintaan bersubstansi kenikmatan.
Saya yakin, baik saya, Anda, atau semua yang beriman kepada Tuhan YME memiliki pengakuan terhadap ketidakbersihan diri dari dosa dan ketidaktahuan kapan akan mati. Meskipun keberanian untuk menyatakan pengakuan pertama itu begitu kecilnya. Bahkan seorang penjahat atau koruptor pun berusaha sekuat tenaga untuk mengingkarinya, karena lebih menimbang takut terhadap dunia.
Lalu, jika bertobat itu adalah hal yang sangat terpuji dalam hidup kita, mengapa seringkali kita masih memandang “sepele” terhadap ajakan itu? Merasa bersih, sedikit dosa, atau belum saatnya? Ah, rasanya tak perlu dijawab. Saya pun tak mau menjawab, karena masih berusaha keras untuk “tak mengakui” bahwa bertobat itu masih ditempatkan dalam ritual doa sehari-hari saja. Apalagi, untuk berdoa/bersyukur saja kadang-kadang lupa. Untunglah, masih mencoba ingat untuk tak banyak menambah dosa.
Salam tobat.
.
.
C.S.
tetep “ngilo githo’e” kok....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H