Berlibur itu sangat penting. Sejenak beristirahat untuk melupakan segala pergulatan yang menegangkan urat syaraf. Jangan terlupa, berlibur bukan sekedar untuk berleha-leha, tapi jadikan sebagai ajang “retreat” agar spirit kita menjadi lebih segar dan menyala. Saat berliburlah kita manfaatkan waktu leluasa untuk melakukan hal-hal yang dapat menjadikan hati gembira, serta meresapkan pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik saat mengedarkan pandangan hati dan mata. Berwisatalah, meski tak harus menuju tempat-tempat indah yang terkadang memakan banyak biaya serta seringkali melelahkan. Ingat, kita pun harus mewisatakan hati dan pikiran, dengan harapan agar jiwa lebih tegar dan dewasa, untuk kembali dan menjadi lebih tangguh saat terjun kembali ke putaran roda saat berkarya.
Seperti saat mengisi cuti/liburan Natal dan Tahun Baru kemarin, beberapa hal tetap Saya catat meski dalam keterbatasan kecerdasan. Bukan hanya keindahan tempat wisata sederhana yang sempat terkunjungi, namun waktu yang banyak dihabiskan untuk berkumpul bersama handai taulan yang jarang bersua pun, sangatlah merupakan wisata yang tak ternilai. Berbagi cerita, berbicara tentang rencana, bahkan sebuah keluh kesah antar saudara pun tak pelak menjadi penghias saat kita bersua.
Mungkin inilah "keuntungan" juga memiliki pasangan yang berasal dari satu daerah/kota. Tiap berlibur akhir tahun seperti kemarin, sudah terjadwal secara sederhana kami akan berkunjung dan menginap di mana. Meski sedikit acak, tapi bisa dikatakan cukup merata. Agak lucu dan ribet, tapi mengasyikan juga, itulah kenyataannya.
Terkadang kami menginap di rumah Mbah Putri (Ibu Saya), lalu di rumah Eyang Putri (Ibu dari istri Saya), rumah Pakde (rumah kakak kandung ataupun ipar Saya) yang tersebar di beberapa penjuru kota kami, Purworejo, ataupun Yogyakarta. Sedikit tersenyum ketika ada nada “protes” di antara mereka, saat mereka “berhitung” mankala kita dianggap terlalu lama menginap di tempat saudara yang lain, kuatir tidak “kebagian”. Ah, menggelikan. Tapi dinikmati saja, sebagai tanda bahwa mereka menyayangi kami yang lama tak jumpa.
Yang Saya catat kali ini adalah sebuah kenangan ketika berkunjung dan menginap di rumah salah satu kakak, yang kebetulan tinggal di Purworejo juga. Itu lho, yang kemarin mengajak kita berenang, seperti yang sudah Saya posting sebagai oleh-oleh pertama liburan kemarin.
Di rumah mereka lah, Saya menemukan suatu sosok yang mampu “membanting” kesombongan Saya sampai tandas. Dia adalah Mbak Nurul. Wanita ini pertama kali kulihat saat kami menikmati pagi. Saya dan Mas Thathit (kakak ipar) menikmati kopi sambil mengisap rokok di ruang depan, ketika Mbak Nurul mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh kakak iparku ini. Dia masuk ke rumah, tersenyum penuh kerendahan hati dan pengabdian, bahkan sedikit membungkukkan badan. Secara fisik, dia tidak dapat dikatakan cantik. Berkulit hitam dan sama sekali tidak mengenal polesan. Ciri khas wanita kampung yang terlalu lugu.
Tak lama kemudian, wanita ini langsung sibuk dengan kegiatannya. Membersihkan seisi rumah, mencuci pakaian kotor dan sibuk di dapur. Tanpa sedikitpun bercakap ataupun berkata-kata.
“ Siapa dia Mas?”
“ Oo, itu Nurul. “Rewang”ku. Dia bisu tuli sejak lahir, tapi kerjanya bagus banget, rapi. Pokoknya gawean rumah ini beres semua”.
“ Wah, lalu gimana caranya ngasih tahu kerjaan yang harus dibereskan Mas? Pake isyarat?”
“ Kadang-kadang iya. Tapi dia selalu mengerti kok, bahkan meski tidak mendengar, dia mampu membaca gerakan bibir kita, dan sekali dikasih tahu dia nggak bakal lupa lagi. Lancar deh pokoknya”.
“ Tiap pagi dia datang Mas?”
“ Iya, nanti kalo kerjaan sudah beres, dia pulang. Dia kan punya anak kecil juga”.
“ Punya anak kecil? Suaminya?”
“ Suaminya sama, bisu tuli juga. Dia kerja di mencuci piring di rumah makan. Sementara mereka bekerja, si anak dititipin ke neneknya”.
“ Anaknya gimana? Normal?”
“ Normal!, anaknya normal lho!”
“ Wah. Ck..ck..ck..,...sebelumnya pake pacaran juga tuh?”
“ He..he, yo embuh. Tapi sepertinya iya, setahuku mereka pertama bertemu di panti sosial”.
Saya lumayan terpana. Membayangkan bagaimana caranya saat mereka mengungkapkan rasa cinta, serta saat mereka sepakat untuk menjalani hidup bersama, dengan kondisi mereka yang apa adanya.
Lalu tiba saatnya makan pagi. Kami semua duduk di meja makan, menyantap hidangan. Di bawah kami, tampak Mbak Nurul duduk di bangku kecil (dingklik), dia sibuk dan cekatan mengelap piring-piring dan gelas yang telah usai dia cuci.
“ Mbak Nurul! Monggo, sarapan dulu!” sengaja Saya bersuara agak keras, menyapanya dengan gerak bibir yang kulambatkan, tak lupa dengan isyarat tangan ke mulut, harapanku adalah agar dia mampu menangkapnya.
Wanita ini mengangguk , tersenyum lebar, Saya menangkap ada kegelian dan tawa. Ah.., mungkin dia melihat Saya dengan lucu. Saya yang sok lebih dari dari dia, sok memakai bahasa isyarat segala. Padahal sebenarnya jika mau jeli, Saya harus heran, bukankah dia seharusnya tidak mendengar? Tapi dia mengerti saat ku panggil dan kutawarkan sarapan. Jangan-jangan dia juga tahu kalau sebenarnya suara Saya terlalu keras, bahkan sedikit berteriak? He..he, tak apalah, dia pasti tahu, aku tak berniat membentak.
Mbak Nurul tetap dengan bersemangat melanjutkan pekerjaannya. Di wajahnya tak selintas pun kulihat gerakan murung, yang ada adalah senyum. Astaga, tiba-tiba Saya merasa sangat “jauh lebih rendah” darinya, bahkan untuk duduk di meja makan ini saja menjadi sangat malu dan tidak lebih pantas darinya.
Saya yang normal secara fisik, mampu berkomunikasi dengan wajar, betapa sering mengeluh dan murung, mudah kuatir dan kebingungan saat menjalani kesulitan hidup. Sedangkan dia, dengan segala keterbatasannya, mampu tetap tersenyum dalam berkarya. Membina hidup berumah tangga dengan suami yang memilik kondisi sama, memiliki anak yang normal pula. Lalu, bagaimana mereka berkomunikasi saat mendidik anaknya? Ah, pasti mereka punya cara, mereka memiliki bahasa, bahasa cinta. Tuhan pasti menunjukkannya.
Dalam hati, Saya sangat berterima kasih pada wanita ini. Dia harus Saya catat dalam pelajaran kali ini, diabadikan. Kuambil ponsel Saya, namun agak grogi hendak merekam gambarnya. Buset, Saya bukan hendak mengambil gambar seorang artis, tapi gugupnya bukan main. Kuatir dia marah dan melempar gelas di tangannya. Untung saja anak Saya yang terkecil lewat, pura-pura saja ingin memotretnya, padahal kamera kuarahkan pada sosok Mbak Nurul. Dan, jepret! Berhasil.
[caption id="attachment_153430" align="aligncenter" width="300" caption="Mbak Nurul, sosok yang mengajarkan bahwa dengan keterbatasan apapun yang kita miliki, hidup harus terus dijalani."][/caption] Bagi Saya, Mbak Nurul adalah cermin yang bening sekali. Supaya kita tidak terlalu berambisi mendongak dan terus mendongak, namun sesekali menunduk ke bawah, agar tidak lelah. Sosok sepertinya, mampu memberikan spirit agar kita tidak lupa bersyukur dan selalu bersyukur. Apapun keterbatasan dan kekurangan yang kita miliki, hidup harus tetap dijalani, bahkan dengan senyum berseri. . C.S. (anggaplah juga sebagai oleh-oleh pulang kampung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H