Sudah beberapa hari ini di rumah, saya disibukkan dengan “ulah” seekor anak kambing. Anak kambing (cempe) berwarna putih ini menurut saya sama sekali tidak lucu seperti Timmy di serial televisi tontonan anak-anak. Tiap pukul dua belas malam, ketika semua tengah dalam masa-masa ngantuknya, dia selalu saja menerobos pagar rumah (karena badannya kecil, jadi muat), lalu dengan nikmatnya berleha-leha, “bobo” di teras rumah. Masih mending kalau hanya numpang tidur, sebelum tidur sempat-sempatnya dia “ngemil” tanaman-tanaman koleksiku sampai-sampai daunnya “brondol”, habis!
Bukannya tak sayang binatang, hewan piaraan ataupun ternak, tapi “cempe” ini bukan milik saya dan telah “mengganggu” ketenangan suasana rumah tangga. Beruntung dua malam ini saya begadang menonton siaran sepak bola, jadi sempat memergoki “penyusupan”nya dan bisa saya “deportasi” jauh-jauh. Meski sebenarnya usaha saya itu tidak selalu terjamin tingkat keberhasilannya. Karena pernah juga tengah malam dia telah saya usir, namun pagi-pagi saya temui tanaman kesayangan telah tandas, lalu “inthil” (kotoran/e’ek) si cempe “nglunjak” ini bertebaran di teras rumah. Apalagi mungkin karena angin malam membuatnya masuk angin sehingga inthilnya banyak yang “becek-becek” prengus. Cuuuaaaiiihk, jinjai! Dasar wedhus!
Tentu saja tak ingin semata menyalahkan si embek. Dia masih kecil, tidak tahu apa yang dia lakukan (yang udah gedhe saja sama saja ya? Namanya juga embek!). Yang patut dipertanyakan adalah ke mana “keluarga”nya, yakni papanya, mamanya, dan juga pemiliknya. Apakah dia merupakan korban “broken home”? (tambah mumet..gara-gara inthil).
Tapi, yang jelas sudah sekian lama tak pernah ada pemilik yang mengakui/mencarinya. Meski sudah diwartakan via satpam komplek. Mungkin saja pemiliknya tidak tahu (tapi kenapa ngga nyari?), atau pura-pura tidak tahu, sudah yakin kalau warga komplek tak akan mengambilnya. Itu terlalu naif, pemiliknya harus tahu bahwa “perbuatan” si anak embeknya telah mengganggu ketentraman saya, itu melanggar hukum dan tata krama! Masa sih, tiap malam saya harus begadang nungguin/jagain anak kambing?
Mudah-mudahan cempe ini segera menemukan jalan pulang atau bertemu pemiliknya, mungkin sementara saya harus bersabar, jika sempat merapatkan besi sela-sela pagar, jadi tak indah memang tapi mau gimana lagi. Sebenernya sih kalau tega, kambing itu bisa di “klaim” menjadi milik saya, bisa dipiara atau untuk di”eksekusi” karena saya sudah lama tidak makan sop dan sate.
Jaja marija e..e!
.
.
C.S.
Kubilang juga apa? Munich Menang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H