Kebijakan pemerintah terkait penghematan BBM Subsidi, khususnya pelarangan mobil dinas mengkonsumsinya banyak dianggap membingungkan. Semua karena secara substansi dan teknis tidak diimbangi instruksi lanjutan. Agak “terlambat”nya pemasangan stiker pada mobil-mobil itu wajar membuat petugas SPBU serba salah. Yang pertama karena mereka masih “sungkan” melarang, ataupun juga ketidaktahuan bahwa ada pula mobil dinas yang “menggunakan” plat hitam. Langkah yang pasti untuk ini jelas harus dipercepat!
Kemudian yang cukup mengherankan, adanya anggapan yang logikanya harus dibenahi ketika menerjemahkan bahwa dampak kebijakan pemerintah yang melarang kendaraan dinas menggunakan BBM bersubsidi/premium dinilai akan berimbas pada (naiknya) anggaran pemerintahan.
Beberapa contoh saja, karena mungkin masih ada yang berpendapat sama tentang ini, yang saya simak dari Koran Tempo 5/06/2012 di antaranya :
- Sekretaris Daerah Kota Surakarta, Budi Suharto mengatakan, tahun ini anggaran untuk membeli Premium 700 kiloliter sebesar Rp.3,1 miliar. “Saat ini sudah terpakai sekitar Rp.1,3 miliar. Dengan adanya kebijakan pelarangan penggunaan premium, akan menyebabkan anggaran BBM membengkak, hingga akhir tahun bisa mencapai Rp.2,1 miliar”
- Pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin, Hamid Paddu menyatakan, larangan penggunaan premium untuk kendaraan dinas bakal menambah beban anggaran pusat dan daerah.
Sudah, cukup itu saja dulu contohnya, bisa jadi menurut Anda juga sama. Pendapat-pendapat, yang mungkin akan diiringi dengan langkah lanjutan di atas, menurut saya, sekali lagi menurut saya, nih! “ adalah sebuah penggunaan logika yang tidak tepat dan cenderung mencari pembenaran untuk tetap melakukan pemborosan ”.
Kenapa saya katakan demikian? Karena jika meninjau ulang substansi kebijakan ini adalah menginginkan adanya penghematan. Nah, kalau mobil dinas dilarang menggunakan BBM bersubsidi, ya jelas bukan berarti menambah/mengajukan anggaran yang lebih besar untuk membeli BBM nonsubsidi!
Pendek kata, kalau anggarannya memang 3 milyar untuk BBM mobil dinas, ya tetap 3 milyar dengan mematuhi kebijakan hanya boleh menggunakan BBM nonsubsidi! Apakah harus dikeluarkan lagi perintah yang “lebih rinci”?! Yakni mobil dinas tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi dan tidak boleh menambah anggaran BBMnya?! Hmm, tapi kalau melihat situasi yang mungkin berkembang, pemerintah tampaknya perlu juga mengeluarkan perintah ini, entah sudah atau belum ya, atau mengambang?
Loh!? Tapi kan kalau menggunakan pertamax dengan anggaran yang sama, jumlah liter BBM kami semakin sedikit, daya “jelajah” untuk operasional menjadi berkurang?!
Hmmm. Untuk sanggahan semacam itu, ijinkan saya tersenyum untuk kondisi saat ini. Bukan berniat menggeneralisir, namun sedikit mengetuk kejujuran hati. Bukankah kebijakan ini menuntut adanya efisiensi? Sekarang coba, silahkan dievaluasi lagi. Selama ini, benarkah mobil-mobil dinas itu benar-benar “hanya” untuk keperluan dinas saja? Haruskah tiap pejabat, bahkan sampai setingkat eselon IV mendapatkan “jatah” mobil dinas, bahkan dibawa “menginap” di rumah? Haruskah tiap tahun jumlah kendaraannya ditambah?
Sepertinya, masih banyak pertanyaan terkait hal itu, yang menuntut jawaban jujur berupa langkah yang lebih mengedepankan adanya efisiensi dalam menyikapi kebijakan pemerintah ini. Patut dijadikan contoh, seperti yang saya baca di sebuah koran lokal kemarin (Suara Merdeka), tentang seorang bupati di daerah jawa tengah yang mulai menggunakan angkutan kota (angkot) untuk berangkat dan pulang bekerja. Mudah-mudahan bukan hanya sesaat saja. Siapa sih namanya ya,..aah, saya coba ingat-ingat. Yang jelas, bupatinya perempuan, sepintas lumayan cantik orangnya.
Salam efisiensi.
.
.
C.S.
Beli pertamax tapi minta tambah uang...
Itu sih bukan penghematan namanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H