Kabar bahwa kelompok hacker Indonesia (anonymous Indonesia) yang menyerang/meretas situs-situs pemerintah Australia sebagai “balasan” atas tindak penyadapan intelejen negeri kanguru ini pada Indonesia sebelumnya, memunculkan dilema. Pada satu sisi ada keinginan untuk ikut bangga, namun dalam sekejap kebanggaan itu terpinggirkan oleh kehendak menyayangkannya.
“Keberhasilan” hacker Indonesia ini pun cukup untuk membuka mata. Bukan! Bukan terbelalak bangga. Namun kesadaran akan sebuah kenyataan, begitu terpampangnya ketimpangan di negeri kita. Ketika banyak rakyat yang masih memikirkan esok makan apa dan anak-anak bisa melanjutkan sekolah atau tidak, ternyata ada kelompok hacker-Anonymous Indonesia, yang katanya masih anak-anak muda dan memiliki kemampuan IT yang berkelas dunia. Tentunya di tengah kemungkinan bahwa masih banyak wilayah negeri ini yang akses internet belum ada dan anak-anak mudanya tak seberuntung mereka, membeli laptop pun hanya khayalan semata. Terbersit pula kegamangan, generasi yang beruntung mengenyam pendidikan/fasilitas modern ini cenderung terbentuk menjadi penerus bangsa ber-IQ tinggi namun EQ-nya terjerembab.
Mungkin banyak yang mengacungkan jempol atas tindakan para hacker Indonesia ini. Namun, maaf, bisa jadi saya satu-satunya rakyat negeri yang menahan jempol saya itu. Anonymous Indonesia melakukan tindakan itu karena kecintaan atau nasionalisme pada negeri? Akh, adalah hak saya untuk meragukannya. Sebab, saya lebih menangkap kesan bahwa apa yang kelompok ini lakukan adalah sebuah reaksi “kebanggaan diri/kelompok” yang terusik. Komunitas/individu yang merasa “eksklusif” di antara jutaan rakyat Indonesia. Nasionalisme boleh saja dijadikan dalih tindakan, tapi diakui atau tidak, serangan mereka terhadap situs-situs Australia lebih didominasi keinginan mempertunjukkan sebuah pembuktian yang begitu tipis bedanya dengan “pamer kemampuan” untuk menyatakan bahwa “saya/kami pun bisa, bahkan lebih hebat!”
Kemudian, dapat dianggap sebagai alasan lain penahan acungan jempol saya adalah kegamangan seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Jika pun dilatarbelakangi alasan bahwa tindakan itu adalah sebagai wujud protes/peringatan, pilihan untuk meretas situs-situs pemerintah Australia itu tetaplah menuai pendapat pro atau kontra terkait ketepatan dan urgensinya. Apalagi ketika ternyata situs-situs yang mereka retas itu menyasar juga ke situs publik lain yang “tidak berdosa”, menimbulkan respon warning pula dari kelompok sejenis di pihak (anonymous) Australia. Di sinilah dapat dikatakan wajar untuk memunculkan penilaian tentang kelompok yang menamakan dirinya anonymous Indonesia ini. Meski harus diakui, mereka memiliki intelegensi/kecerdasan/skill atau katakanlah IQ tinggi, tapi diragukan dalam kecerdasan emosi (EQ)nya. Melakukan tindakan dengan terdorong rasa marah, terusik gengsi diri/komunitas, atau kehendak mempertontonkan kemampuan yang kemungkinan besar tidak mengiringinya dengan pertimbangan matang akan efek-efek buruknya, menunjukkan adanya ketidakseimbangan kecerdasan. Bahkan saat mereka begitu cepatnya merasa percaya diri, seolah apa yang mereka lalukan “mewakili” kehendak seluruh rakyat negeri.
Andaikata benar mereka berkeras tentang alasan tindakan ini adalah cinta negeri, cukup disayangkan karena dengan kecerdasan/keahlian eksklusif yang mereka miliki itu idealnya dilandasi pula dengan kecerdasan emosi yang mapan. Mengawal jalur-jalur informasi negara agar tidak mudah disadap/diretas pihak lain, akan lebih tepat sesuai kapasitasnya. Dibanding sekedar menunjukkan kemampuan serta keberanian “berperang” di dunia maya (cyber war).
Pemicu sebelumnya peristiwa ini adalah penyadapan terhadap Indonesia yang berada dalam ranah gesekan antar pemerintah/negara. Sudah ada yang bertugas mengambil kebijakan di sana. Kecerdasan emosi anonymous Indonesia ini pun seharusnya bisa menimbang dan menempatkan diri. Pemerintah yang kini tentu memiliki langkahnya sendiri, dalam kompleksitas pertimbangan yang tak sesederhana pola pikir kita untuk mengambil tindakan, kecil kemungkinan untuk menyatakan bertanggung jawab atas tindakan anonymous Indonesia. Jika berlarut-larut dan terus dilakukan, bukan mustahil hubungan RI-Australia semakin memburuk dalam dunia nyata dengan segala risiko negatifnya, maka anonymous Indonesia bisa menjadi sasaran empuk untuk disalahkan nantinya.
Maka itu, tentu dengan keterbatasan segala informasi yang mampu saya cerna, apa yang dilakukan oleh kelompok hacker ataukah cracker (anonymous Indonesia) itu tak membuat saya bangga atau acungkan jempol karenanya, disamping masih ada kekuatiran lain terkait kecerdasan emosi para hacker Indonesia itu sendiri. Yakni, ketika mereka dengan segala emosinya begitu responsif karena naluri gengsi akan keahlian eksklusifnya terusik, lalu unjuk kemampuan, tentu banyak kepentingan pula yang hendak memanfaatkan. Akankah kita mendapatkan keyakinan bahwa mereka mampu menahan godaan emosi yang paling dahsyat di dunia? Apa itu? UANG!
Salam cerdas.
.
.
C.S.
iya, tau. Nggak ada yang nyuruh bangga...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H