[caption id="attachment_149076" align="aligncenter" width="450" caption="from google/rakyatmerdeka.com"][/caption] Punk. Saya tidak tahu persis apa artinya. Setahu saya, ini semacam "aliran" budaya, yang dijiwai dengan semangat sebuah kebebasan. Tepatnya mungkin sebagai ekspresi "perlawanan". Apakah yang dilawan? sepertinya aliran pemikiran ini hendak melawan sebuah budaya yang telah lazim dan berjalan, yaitu "kemapanan". Aliran ini bersemangat anti kemapanan. Itulah fenomena punk di mata saya, komunitas pelakunya sering memproklamirkan diri sebagai "punker". Yaitu komunitas yang ingin "memisahkan" diri sebagai kelompok yang eksklusif, bebas, suka-suka, keluar dan melawan apa yang selama ini dijalankan mayoritas orang sebagai budaya kemapanan. Tapi sayangnya, komunitas ini (punker) di Indonesia cenderung "memakan"nya dengan mentah. Yaitu dengan menonjolkan "kulit luar" yang disodorkan. Mereka ingin bebas sebebas-bebasnya, tak peduli dengan gesekan-gesekan terhadap masyarakat "normal" yang tetap menjunjung tinggi budaya dan peradaban "mapan" yang telah ada. Banyak kita lihat para punker di negeri kita (terutama di kota-kota besar), yang hanya "latah" saja, seolah ingin menarik perhatian dan menunjukkan bahwa mereka "beda". Penampilan semaunya, baju gembel dan belel, tindik sana tindik sini, rambut ala mohawk tak karuan, berjalan semaunya di jalanan, bahkan jalan tol pun nekat buat menyeberang. Saya sering heran dan mengelus dada, saat melihat rombongan anak-anak muda belasan tahun yang menjadi "punker" ini di jalanan. Anak siapa sajakah mereka? Bagaimana perasaan orang tuanya melihat anaknya menjadi seperti itu? Dalam hati saya berdoa, semoga anak-anakku tidak menjadi seperti itu, Amin (maaf). Saya tak ingin hanya menyalahkan dunia barat yang menjadi "acuan" budaya ini. Karena sejauh yang saya baca, semangat punk di sana memang ekspresi sebuah kebebasan, namun sejatinya tetap berbatas. Kaum di sana lebih sering berekspresi demikian melalui dunia musik. Budaya punk yang tercipta kemungkinan besar sebagai sarana pemanis pula agar ekspresi dalam bermusik ini banyak diminati. Tapi kembali lagi, anak-anak negeri ini ternyata cenderung menyukai budaya yang dirasa "enak"nya saja. Ingin bebas sebebas-bebasnya, tanpa batas. Malah seringkali semua sisi negatifnya paling serakah ditelan. Mabuk-mabukan, seks bebas, bahkan narkoba yang ditonjolkan. Berekspresi memang bebas, namun tetap saja ada batas, jangan seenaknya diterabas. Jika memang ada anak-anak muda yang betul-betul menjiwai semangat punk ini, alangkah baiknya dituangkan pada waktu dan tempat yang tepat serta bermanfaat. Bermusik, seni ataupun hal yang berguna untuk masyarakat. Sangat berharap jika bentuk ekspresi mereka adalah pada ajang yang tepat, untuk selanjutnya tetap kembali ke "dunia nyata", yaitu realita hidup yang harus dijalani secara mapan. Banyak yang jika dilihat dari usia, punker ini seharusnya masih duduk di bangku sekolah atau kuliah. Dan Saya tak yakin mereka semua berasal dari golongan tak mampu, meski tak mampu sekalipun, haruskah menjadi punker? Mudah-mudahan mereka sadar. Budaya kita yang penuh norma kebaikan dan diterima sekian lama, telah terbukti terasa nyaman jika di jalankan dengan mapan. Saya pribadi lebih suka kemapanan. Madani. Namun jika memang ada yang berjiwa punk (bukan hanya latah tanpa tujuan), tunjukkanlah bahwa "punk"mu itu bisa berguna untuk kebaikan masyarakat. Jangan hanya sebatas dandanan, tanpa kehebatan bermusik atau berkarya hebat yang lain, lalu berkeliaran semaunya dijalan. Saya sungguh kasihan. Semoga mereka sadar dan kembali ke kenyataan. Dan, maaf, secara pribadi saya berharap, mudah-mudahan tak ada anakku yang menjadi punker. Anak Anda Punker?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H