Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nuansa “Klenik” Kasus Korupsi : KPK “Takut” Menyita Keris?

17 Juli 2013   11:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:25 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Klenik. Istilah ini kurang lebih dikenal sebagai hal-hal yang berhubungan dengan dunia “gaib”, identik dengan ritual, benda-benda kuno/antik, serta “makhluk” kasat mata yang bisa memberikan kekuatan/kesaktian kepada pengguna/pemujanya. Mengenai percaya atau tidaknya, tentu diserahkan kepada masing-masing orang. Namun satu hal yang layak disimpulkan, yaitu sebagian besar kita, masyarakat Indonesia percaya atau membenarkan bahwa hal tersebut memanglah ada. Sebab, dalam ajaran banyak agama/keyakinan yang bersubordinat kepada Sang Pencipta, tersebut pula tentang adanya ciptaan lain bersifat “kasat mata” itu (silahkan dikoreksi jika tak tepat). Sehingga ada istilah “musyrik”, menduakan Tuhan, berhala atau sejenisnya. Bahkan isu yang belum lama juga ramai adalah ketika DPR berencana membingkai sebuah UU, sering disebut “RUU Santet” untuk mengatur hal-hal yang bersifat klenik tersebut. Oke, lah, sebaiknya bagi yang tidak percaya janganlah “takabur”, sedangkan yang percaya janganlah memuja, perkuat saja keimanan kepada Tuhan YME.

Dan berita “menarik” yang baru-baru ini menghangat di media, tentang kasus korupsi/TPPU Djoko Susilo (DS) yang terkait kesaksian mengenai keris-keris “pusaka” koleksinya dan kabar tentang kegemarannya pada hal-hal yang bersifat klenik. Bisa dikatakan, dimensi klenik ini mewarnai proses pengungkapan kasus korupsi Djoko Susilo, sedangkan KPK terpaksa menjadi bagiannya. Mengapa demikian? Sebab terdapat hal terutama berhubungan dengan tindak pencucian uang yang sepatutnya dicerna sebagai indikasi yang mengarah pada “opini wajar” perolehan harta kekayaan DS dari “berdagang keris berharga” serta “pengamanan” aset-aset lain dengan dalih ini. Namun, sikap KPK yang terlihat dalam merespon hal ini sepertinya adalah, dalam satu sisi “menyepelekan” informasi, tapi dari sisi yang lain juga terkesan “gamang”, “ragu” atau “ketakutan” terhadap hal-hal yang bersifat klenik ini, padahal bisa dijadikan langkah kunci tentang benar atau tidaknya keterangan saksi-saksi terkait hal ini.

Dari kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (16/7/2013), yang diberikan, terutama oleh Indrajaya Febrialdi, yang mengaku kenalan/rekan dalam konteks kegemaran DS pada hal klenik ataupun berbisnis di situ, dapat diperoleh informasi kesimpulan, di antaranya:

1.Dengan perantaraan Indrajaya, DS pernah menjual keris kepada orang asing dari Jerman bernama Andreas Gudsman dengan harga cukup tinggi, yaitu setara Rp 6,4 miliar, pada tahun 1999. Indrajaya tidak sanggup menghadirkan keris itu di persidangan seperti pertanyaan majelis hakim;

2.Pada tahun 2004, DS pernah membeli 16 keris dari Indrajaya dengan total nilai Rp 1,7 miliar, dibayar dengan memberikan rumahnya di Pesona Khayangan, Depok, Jawa Barat yang harganya Rp 1,6 miliar.

3.DS memiliki koleksi keris yang jumlahnya lebih dari 200. Keris-keris tersebut dititipkan kepada Indrajaya dan dicuci setiap 1 Suro. Keris-keris itu pada mulanya akan disita penyidik KPK, namun penyidik KPK tidak jadi menyitanya setelah Indra mengatakan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat keris-keris itu disebutnya sebagai benda pusaka.

Poin-poin penting yang seharusnya diambil terhadap keterangan saksi itu adalah KPK sebaiknya memverifikasi lebih lanjut mengenai benar atau tidak adanya keris seharga Rp 6,4 miliar itu, guna memastikan hal ini bukan sekedar “indikasi” mengarahkan opini yang mendukung bahwa kekayaan DS “wajar” karena dari bisnis kerisnya saja tampak menjanjikan.

Demikian pula mengenai rumah di Pesona Khayangan, Depok yang menurut saksi diberikan oleh DS kepadanya dengan ditukar 16 keris. Selain perlu diperiksa tentang riwayat kepemilikan rumah itu, apakah sebelumnya benar atas nama DS atau yang lain, selisih nilai keris (1,7 M) dan harga rumah (1,6 M) menjadikan pula pertukaran itu terlihat begitu mudahnya. Apakah yakin dengan transaksi itu ataukah ini hanyalah salah satu cara “penyembunyian” aset DS?

Dan suatu tindakan yang seharusnya sangat penting namun patut disayangkan jika benar KPK tidak melakukannya adalah penyitaan terhadap aset-aset “klenik” tersebut. Padahal dengan asumsi harga keris ada yang senilai Rp.6,4 miliar, plus sekitar 12 “paket” (200:16) keris yang harganya Rp 1,7 miliar, maka diperkirakan nilai keris-keris itu adalah mencapai Rp.27,1 miliar. Besar bukan?

Lalu benarkah penyidik KPK belum/tidak menyitanya? Mudah-mudahan tidak benar kalau pertimbangan KPK tidak menyitanya adalah “takut kesurupan” atau “kuatir kesambet” terhadap hal-hal klenik. Meskipun iya, tak mengapa, sebab memang kadar keimanan tiap orang, termasuk penyidik KPK pun bisa naik turun. Tapi, tindakan menyita keris-keris itu harus tetap dilakukan. Jika “ragu”, bisa meminta bantuan mereka-mereka yang dianggap “ahlinya”. Bukan anggota DPR yang mengaku “ahli” menyusun “RUU Santet” tentunya. Lalu siapa? Ya, cari saja! Misalnya berkoordinasi dengan stasiun-stasiun TV yang sering menghadirkan “ahli-ahli” sejenis ini. “Tim Pemburu Hantu”, “Dunia Lain” atau “Thukul Jalan-Jalan”, mungkin? Yang penting, segera sita! Karena bisa menjadi hal penting dan berharga. Padahal, terkait penyitaan benda-benda sekelas “koleksi”, beberapa waktu lalu KPK terihat berani, tegas dan cepat ketika menyita “Gitar Metalicanya” Jokowi yang nilainya “tak seberapa".

Salam keris.

.

.

C.S.

Chris Suryo, bukan...“Keris” Suryo

referensi:


http://nasional.kompas.com/read/2013/07/16/2303198/Irjen.Djoko.Susilo.Jual.Keris.Rp.6.4.Miliar

http://nasional.kompas.com/read/2013/07/16/2216225/Djoko.Susilo.Disebut.Suka.Cari.Kesaktian.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun