Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Palupi]: Pergilah, Kasih

15 Februari 2013   12:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:16 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Entahlah, jika harus menapak tilas kembali, di manakah letak sebuah kesalahan yang terjadi, rasanya tak berguna lagi bagiku. Apalagi tentang kejujuran, yang pernah menyatukan dua hati itu. Saat rasaku tak sanggup berdusta. Dan yang kau alami adalah getar yang tak berbeda. Beberapa musim kita lalui bersama, dalam jalinan bernuansa harum bunga-bunga. Eratnya jemari saling genggam, hangatnya sandarmu di bahu, seakan keindahan yang tiada pernah akan berlalu.

Namun, perkasanya sang waktu menyuguhkan kenyataan tentang kau dan aku. Saat perpisahan harus datang. Firasat yang semula kucoba runtuhkan. Ternyata hanyalah menunda untuk akhirnya harus mencoba menerima, mengerti dan memahami dirimu seutuhnya. Meskipun sulit. Dan kuakui sangat sakit. Ketakutan-ketakutanku itu ternyata menjadi sebuah kebenaran. Di balik lembut matamu, yang selalu meredup saat kelopaknya kukecup. Di antara wangi helai-helai lembut rikmamu, yang menggairahkan sentuhku untuk membelai saat kau terlelap dipelukan.

Sekian lamanya telah kau pendam keresahan demi keresahan. Akhirnya gemuruh itu tak mampu kau tahan, bersama gemetar lirih, berpadu linangan membasah di wajah, kau berusaha tegar mengatakan. Perjalananmu bersamaku tak sepenuhnya memberimu kebahagiaan. Lagi-lagi, meski kejujuran yang harus kuhargai, walau sayup, pernyataanmu sangat mampu hempaskan asaku. Setengah jiwaku mengering, seperti daun-daun tua pepohonan yang harus gugur karena tiupan angin. Gemerisik terburai di rerumputan taman, tempat kita sering berjalan bergandengan, menyusuri sela-sela jalan setapaknya.

Aku tahu, bias tanyaku hanyalah sepintas menutup cekat yang bisu. Sebab tak setitik pun terselip ragu, tentang alasanmu untuk mengakhiri kebersamaan.

Palupi. Apakah ada hati lain yang lebih pantas kaujadikan tambatan?”

“ Mas Surya. Tak usah memaksakan diri dengan pertanyaan itu. Aku yakin, kau tak memerlukan jawaban tentang itu”

Sebuah perkataan yang kebenarannya tak kupungkiri. Aku hanya melarikan diri. Itu mungkin cabang-cabang kecil yang menjadikan perbedaan itu harus kuakui. Aku sering mengatakan sesuatu yang tak perlu. Kucoba kurangi itu, namun saat himpitan menekan, sulit kuterlepas. Sedangkan engkau tak pernah terjebak dalam sesuatu yang tak harus diucapkan.

“ Maafkan aku, Palupi. Tapi, katakanlah apa yang dapat kumengerti. Tak usah kuatir tentang aku nanti. Aku janji, aku siap, meski datang sebuah hal yang akan menyakitkan..”

“ Aku tak ingin bersamamu lagi, Mas”

“ Iya. Kau sudah mengatakannya. Kenapa? Itu yang kuingin kau mengatakannya”

“ Tidakkah selama ini kau juga mengerti?”

Aku terdiam dengan tanyamu. Mengerti? Mungkin aku mengerti. Namun selama ini semua masih samar bagiku. Menganggapnya sebagai bisik firasat, juga ketakutan-ketakutanku saja. Mengharap semua resahmu itu akan menghilang bersama waktu-waktu yang kita jalani. Jika tentang itu sebabnya, sisi kebahagiaan yang tak mampu kuberikan, sebuah kepastian, aku yang gagal, ingin kudengar dari bibir indahmu sendiri sekarang.

“ Mas. Aku tak mungkin menyimpannya lebih lama lagi. Percayalah, selama ini demikian keras kucoba. Tapi tak bisa. Sekali lagi, bukan tentang getar cinta. Kau tahu, itu tak pernah padam. Namun, aku merasakan sebuah kekosongan yang selalu datang. Diriku yang seolah hilang “

“ Bukankah, aku selalu mengiringi, apapun yang ingin kau raih? Segala hasratmu, mimpimu?”

“ Berikan maafmu, Mas. Aku terpaksa mengatakan, semua tak mampu kau jangkau. Aku selalu ingin terbang tinggi, tapi kau selalu berjalan perlahan di permukaan bumi. Samudera luas yang hendak kuarungi, tak mungkin tergapai, sauh bahteraku begitu berat terhambat, karena ada dirimu..”

Sudah kuduga. Sebenarnya aku sungguh berharap ini hanyalah bunga lelap, karena rasa takut yang selama ini merayap. Lalu ku terbangun dalam dunia yang masih sama. Namun, di depanku, isakmu yang tertatih mengatakan itu adalah nyata. Semua terjadi sudah. Selama ini aku telah gagal, tak mampu mengimbangi harapan-harapanmu.

“ Aku membebani sayapmu..?”

Ah, kembali kekerdilanku kambuh. Pertanyaanku itu jelas tak perlu kau jawab. Diam dan sisa tangismu telah mewakili kata yang seharusnya aku telah tahu. Membeku gigil ini, api unggun yang kita nyalakan tak mampu menghangatkan kepedihan yang telah datang. Hanya sedikit sapamu hadirkan kerjap nyala saat kau beranjak, memberikan sesaat peluk dan kecupan. Yah, hanya sesaat, sebab kutahu, sedikit saja berhasrat mendetikkan lebih lama waktu, kau kan ditelan bimbang untuk meninggalkan aku. Kau ingin melibas keraguan, malam ini semua telah terlepaskan. Perpisahan harus menjadi kenyataan.

“ Mas, ijinkan aku pergi..”

“ Palupi, ... masihkah boleh aku berharap, suatu saat kau kan kembali..?”

“ Sebaiknya,...tak usah, Mas. Aku tak ingin menyakitimu lagi..”

“ Adakah cinta kita selama ini salah?”

“ Tidak, Mas. Sepertinya, kebersamaan kita yang salah. Tapi, sudahlah, terima kasih untuk yang telah berlalu. Ijinkan aku pergi..”

“ Pergilah, Palupi. Tinggalkan beban itu, biarkan dia sendiri..”

Kau tersenyum. Manis, tapi tak sanggup singkirkan tangis. Senyumku? Aku yakin kau mampu membacanya. Terpampang kesepian melebihi lengangnya dasar lautan. Kulepaskan kau melangkah. Saat kau sejenak berhenti, palingkan wajah, aku telah berpasrah. Itu tatapanmu terakhir kali, kemudian pergi meninggalkan aku yang selama ini pernah coba mengiringi. Dan tak mampu mengimbangi.

Ini bukan mimpi. Hanya aku dan api unggun yang meredup kini. Hariku kan sunyi tanpamu. Aku tak tahu, biarkanlah jika aku bodoh berhasrat memelihara cinta ini. Bisa jadi, aku terlalu mencintaimu dengan sangat sederhana. Seperti kayu api unggun di depanku yang rela menjadi abu terbakar apimu.

Tak akan kubebani langkahmu. Terbanglah tinggi dengan mimpi-mimpimu, jika kau lelah nanti, ranting lemah ini terus menunggu kepakmu hinggap di sini. Itu pun, andaikan engkau tak memilih ranting yang lebih kokoh, atau bidukmu menemukan dermaga lain yang lebih teduh untuk bersandar. Tanpa sauhmu tergelayut berat oleh beban yang kauanggap bagai penghalang.

Pergilah, kasih...

Kejarlah keinginanmu..

Selagi masih ada waktu..

Jangan hiraukan diriku

Aku rela berpisah

Demi untuk dirimu

Semoga tercapai

Segala keinginanmu..

.

.

C.S.

15-Febr-13

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun