“Kuberikan padamu setangkai kembang pete, lambang cinta abadi namun kere..”
Cuplikan lagu milik Iwan Fals tersebut bisa jadi akan terus “abadi” juga.Manakala sejak nasib sang pete (petai) cukup diamini sebagai simbol khas kesederhanaan tingkat tinggi (baca=kelas bawah=kampungan= kere). Sulit dipungkiri, baik pete ataupun “saudara”nya, jengkol selalu didudukkan sebagai bahan makanan yang terpinggirkan, kehadirannya terkucil oleh cap “gengsi” para penggemarnya. Bahkan cenderung “dibenci” oleh kebanyakan masyarakat yang tidak menyukainya. Baik tidak menyukai karena benar-benar tidak doyan ataupun karena “image” pete dan jengkol yang sudah kadung dicap menjadi makanan “bau”, “jorok” dan “memalukan”.
Baru-baru ini, seolah semua terhenyak akan kenyataan, harga pete dan jengkol menjulang bahkan menyaingi harga daging sapi. Mereka seolah “ngambeg” dengan “hinaan” selama ini, langka di pasaran. Baik yang selama ini penggemar pete ataupun “pembenci” nya seolah sama berteriak senada “Parah! Petai dan jengkol kok bisa langka dan mahal?!”
Apakah ada “permainan” terhadap komoditas pete dan jengkol? Boleh-boleh saja bercuriga demikian. Namun, sebaiknya baik pemerintah ataupun kita selaku pihak yang merasa petai dan jengkol sungguh tak pantas mendapat “tempat terhormat” yang mampu memalingkan muka perhatian, perlu meninjau ulang. Bukan hanya menindaklanjutinya dalam jangka pendeknya kebijakan.
Semua mengakui, petai dan jengkol adalah komoditas asli Indonesia. Belum terdengar kita pantas dan hendak mengimpor komoditas ini dari negeri lain. Sehingga jika ada dugaan permainan pedagang/importir tentu dengan cepat tertepis.
Justru penyebab kuat serta lebih masuk akal dari “sombong”nya harga pete dan jengkol ini adalah murni dari perlakuan kita sendiri terhadap mereka selama ini. Siapa yang selama ini bersedia memberi harga tinggi pada kedua komoditas ini? Hampir tak ada bukan? Mayoritas kita selalu ingin menempatkan petai dan jengkol sebagai makanan “murahan” dan sedikit peminatnya. Hal ini tentu ditengarai menjadikan petani yang sekarang ini memiliki/mewarisi pohon pete atau jengkol sulit bertahan. Di samping keduanya mengandalkan musim, “serangan” masif penggunaan lahan untuk kepentingan bisnis atau tanaman lain yang lebih menguntungkan sulit dihindarkan.
Sehingga merupakan sebuah kewajaran saat tanaman penghasilnya semakin jauh berkurang. Gejala kelangkaan dan meroketnya harga komoditas adalah “warning” untuk diperhatikan. Harga jengkol yang mencapai Rp.60.000,- per kilo dari sebelumnya terbiasa Rp.20.000,- per kilo, serta harga pete (petai) yang mencapai Rp.150.000,- per kilo dari sebelumnya terbiasa Rp.15.000,- per ikat adalah pukulan keras untuk menyadarkan kita dan juga pemerintah ataupun institusi-institusi lain yang bergelut dalam penelitian/pengembangan komoditas negeri. Bahwa bukan hanya sapi, ataupun juga kedelai, kita pun masih memiliki contoh-contoh komoditas asli pertanian Indonesia yang tersia-sia.
Bukan hanya masalah kesan “kampungan”, “kere”, “memalukan”, “gengsi”, “bau” ataupun tidak berpengaruh besarnya pete dan jengkol pada perekonomian. Namun tentang perlakuan yang semestinya. Bisa jadi keduanya hanya memiliki sedikit penggemar di negeri ini, tapi yakinkah benar-benar tak laku di pasaran luar negeri atau sepi inovasi, sehingga dibiarkan langka dan habis pohonnya? Itu baru salah satu contoh perlakuan yang semestinya saja. Belum lagi, sudahkah ada penggarapan serius untuk meneliti dan membudidayakannya?
Boleh saja kita tak suka atau gengsi pada rasa dan bau pete jengkol, namun mencintai komoditas asli pertanian negeri harus tetap tertanam abadi. Apalagi, jika akhirnya kedua komoditas ini menjadi kebanggaan. Berharap nanti, lagu Iwan Fals pasti lebih indah lagi dengan sedikit gubahan, “Kuberikan padamu setangkai kembang pete, lambang cinta abadi nan bergengsi..”
Salam semur dan lalap.
.
.
C.S.
Hoaaah..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H