Tujuh belas tahun yang lalu, saat pertama kali aku menapaki belantara kota dan mengenal dia, Maya adalah gadis mungil yang manis dan lucu. Dia selalu bangga dengan poni indah di dahinya, juga rambut lurusnya yang hitam sehat mecapai bahu, bermahkotakan lengkung bando merah jambu.
Semua itu hasil karyaku, yang selalu berlega hati saat melihatnya tampil menggemaskan, mendapatkan pujian dari para guru, juga ibu-ibu di Taman kanak-kanak di mana bersekolah dahulu. Sebuah tempat yang banyak mengambil sebagian banyak waktuku, di sela-sela kesibukan menjalani kuliah. Itu seperti sebuah tugas, namun tak kurasa berat, bahkan selalu menjadi penghiburan bagiku. Tak pernah aku coba melewatkannya, jika bukan karena terpaksa harus berbenturan dengan jadwal kuliah, dan mengalihkan tugas itu pada baby sitter. Tentu saja dengan raut lugu cemberutnya Maya yang membuatku harus merasa bersalah, apalagi saat ia menangis karenanya.
Yah, meskipun ketika itu, di Bandung aku menggantungkan hidup dan masa depan pada Mas Darto dan Mbak Rani, orang tua Maya, mereka tak pernah memperlakukanku semaunya. Mungkin, aku harus berterima kasih pada mendiang ayahku, yang dulu, walau hidupnya tak berkelebihan, dengan tulus bersedia mengambil Mas Darto sebagai anak asuh. Menyekolahkan semenjak kecil , bekerja keras membiayainya kuliah hingga tuntas. Alangkah bahagianya ayah, jika dia tahu kebaikannya itu tak sia-sia. Mas Darto, anak yatim piatu yang dulu diasuhnya, boleh dibilang kini telah memetik kesungguhannya, memiliki karier cemerlang di perusahaannya, memiliki istri yang sama-sama berhasilnya. Hanya satu yang sedikit kusayangkan, perhatian mereka yang kurang maksimal, pada Maya, putri semata wayang mereka.
Tentu saja aku tak bermaksud seutuhnya menyalahkan mereka, mencoba memaklumi dan mengambil bagian dalam keterbatasan itu. Ingin kusingkirkan pikiran tentang balas budi. Aku tak pernah menganggap Mas Darto menampungku karena balas jasa kepada ayah, karena selama ini dia adalah seorang kakak seutuhnya untukku.
Hingga, sekarang pun, aku ingin menempatkan diri menjadi adik seutuhnya bagi mereka, mengerti dan membantu dengan segala yang kubisa terhadap kekurangannya. Paling tidak, dengan menjaga dan mendampingi pertumbuhan Maya. Menemaninya bermain, belajar, dan membacakan dongeng menjelang tidur saat kedua orang tuanya harus berada di luar kota. Bahkan harus mencari segala ide saat geliat rindunya sudah di titik nadir, tumpah menjadi tangisan yang sulit dihiburkan. Itu saat paling sulit hingga kadang lampias batinku menyalahkan Mas Darto dan Mbak Rani sering terbersit, mereka terlalu lama mengabaikan Maya. Aku yakin, jika pada saat seperti itu, ada yang melihat aku berusaha menciptakan segala tingkah lucu agar gadis mungil ini tertawa, pastilah menganggapku seperti orang gila. Andaikan iya, kubiarkan saja, aku hanya berusaha menyusutkan diri, menjadi anak kecil lagi, agar Maya merasa mendapatkan teman yang di dunianya bisa mengerti.
Penuh warna, melewati dominasi hari yang terlalui dengan mengiringi sebuah siklus, kuncup yang berjuang keras mewarnai kelopak. Seorang gadis mungil yang terus tumbuh, menjadikanku selalu terlibat dalam tiap tahap mekarnya sebuah bunga. Menjadi saksi batin dan mata, pada setiap fase yang ditempuhnya. Bahkan, akulah orang pertama, dengan segala batas pengetahuan yang ada, berusaha keras meredakan segala ketakutannya, saat Maya mendapatkan menstruasi pertama. Hmmm,..aku menjadi ingin tersenyum sendiri, jika mengingat masa-masa itu.
***
Kini. Jakarta kurasa memang begitu melelahkan selama lima harinya. Sabtu ini ingin kunikmati sebuah libur, sama seperti yang mungkin dirasakan sebagian besar penghuni metropolitan ini. Selalu dinanti. Belum saatnya terbangun sepagi ini jika saja ponsel di samping bantalku tak keluarkan bunyi, memecah sunyi. Tanda panggilan masuk yang deringya sengaja kubedakan dengan nama-nama lain pada memorinya. Nama itu akan membuatku merasa bersalah jika meski sebentar saja tak berusaha menjawabnya.
“ Haloo,..sayang,..”
“ Om,..ehm,..Om Surya masih ngantuk, ya? Maaf, Maya ganggu..”
“ Hehe.., tumben pake basa-basi,..kenapa sih...?”
“ Eh..eng.., ..Om...”
“ Ada apaaa? Semua sudah beres kan? Gedung udah om cariin, undangan sebentar lagi selesai cetak, pokoknya seminggu lagi, kalian tinggal menikah, deh, hehe ..”
“ Ih!..Om ini,..ngomongnya kayak kereta, nggak bisa disela sebentar saja. Bukan itu.....”
“ Lalu, tentang apa sih, May..?”
“ Nggak bisa dibicarakan di telpon..”
“ Kamu di mana sekarang..?”
“ Di depan pagar rumahmu, Om Suryaaa, dari tadi kupencet bel tak ada reaksi..,..hihi...”
“ Astagaa.., May...”
Bukan tentang tidurku yang terganggu dengan kedatangan Maya. Tentu sebuah kebahagiaan setiap kali kami bertemu. Tapi ada bersit resahku yang persis sama, seperti ketika dia masih menjadi gadis kecil dulu. Meskipun dia mencoba menutupi dengan senyum manisnya. Apa yang ada dibalik raut wajah letih itu sudah begitu lekat di firasat. Resah itu tergambar diantara tampilan lelah. Mana mungkin ia memaksakan diri berkendara dari Bandung ke Jakarta, saat malam telah mendekati pagi. Kupastikan, ada sesuatu yang membuatnya tak mampu menundanya hingga esok hari. Apalagi, seharusnya ia menjaga diri di rumah, karena dalam waktu dekat ini ia akan menikah, dengan Chandra, teman kuliahnya dulu, yang setahun ini kuketahui menjadi kekasihnya.
Saat aku membuka pintu pagar, lalu ia menghambur ke pelukan,rasa kuatir yang dulu selalu muncul itu semakin jelas hadir. Seperti saat dahulu Maya menangis, karena bonekanya jatuh ke selokan, atau menjelang kedua orang tuanya pergi lama ke luar kota.
Tapi dia sudah bukan gadis kecil lagi sekarang. Walau dahulu aku sering kehilangan akal, ternyata lebih mudah mengerti apa yang terjadi saat dia menangis, sebagai gadis mungil yang butuh perhatian. Tak seperti sekarang. Cara menebak gelagatnya memang masih mampu aku simpan, bahkan mungkin mendarah daging kurasakan. Namun untuk kembali menghadirkan senyumnya, tentu tak semudah memberinya boneka baru, menghiburnya dengan candaan lucu ataupun mengajaknya bermain ayunan di taman. Sekarang, aku harus menunggu hingga waktu yang tepat, ketika ia sendiri akan bersedia mengatakan.
***
Maya sudah tampak segar setelah sejenak tidur, mandi dan sarapan. Meski kegelisahan itu tetap terbaca, gelayut manjanya masih saja sama, tak pernah jauh berubah meskipun telah panjang jarak masa. Dia selalu menyela tak rela, setiap dilihatnya aku lebih tenggelam, dalam sendirinya keasyikan, membaca koran pagi, dan juga menikmati kopi. Padahal, khusus pagi ini, kopi itu ia yang menyeduhkan.
“ Om,..menurutmu, cinta itu apa, sih..?”
Ah, rupanya, pertanyaan itu selalu ada di kepalanya, sejak dia masih remaja. Dari dulu jawabanku memang tak pernah memuaskannya, karena kupikir saat itu dia belum saatnya, disamping aku sendiri kesulitan mengatakannya. Dan sekarang, masih saja ia hendak menagihnya. Padahal, aku yakin, sekarang dia tahu bahwa aku pun tak sepenuhnya mengerti.
“ Menurutmu, apa?”
“ Kok, balik nanya?”
“ Lho? Kamu kan sudah dewasa, sebentar lagi mau nikah, kok malah nanya sama aku, yang sudah jadi bujangan tua ?,..hahaha..”
“ Om,...justru itu, aku kan hanya hanya minta pendapatmu, please...., jangan anggap aku anak kecil lagi..”
Ada nada lain yang selama ini tak pernah kudengar dari suaranya. Membuatku harus meletakkan lipatan koran itu di meja, sejak semula pikiranku memang sudah tak tertuju lagi ke sana. Dia benar, kuakui, selama ini memang sering keliru dalam bersikap dan memperlakukannya. Maya bukan gadis kecil lagi.
“ May. Maafin sikap, Om, ya. Mungkin karena telah mengenalmu sejak kecil, jadi seringkali lupa. Itu karena om sayang banget sama kamu. Tapi, yakin deh, Om tetap memandangmu telah dewasa, bukan gadis manis berbando merah jambu lagi..”
“ Ih,..tapi poninya kan masih, Om. Nih, lihat..”. Lega, senyumnya mulai nampak lagi.
“ Oh,..iya,..ya,..lupa..”. Kuusap dahi lembut itu, seperti dahulu, jika dia menangis, akan mudah melunak ketika kubelai lembut dan kuusap anak rambutnya.
“ Om,..ayo, katakan, cinta itu apa?”
“ Ah,..kamu ini...”
“ Ayolah,..menurut pendapat Om saja...”
“ May,..Om hanya bisa katakan, cinta itu hanya bisa kau rasakan...., di dadamu...hatimu..”
“ Hmm...”
Maya beringsut, mengurai sejenak gelayut lengannya, lalu tampak menghela nafas panjang sambil mengikat gerai rambutnya, sebuah gerakan yang indah kurasa.
“ Kenapa, May. Tak puas? Hanya itu yang bisa om katakan..”
“ Tidak, Om. Justru Maya sekarang yakin, dengan apa yang telah kuputuskan..”
“ Maksudmu?”
“ Aku telah membatalkan rencana nikahku dengan Chandra?”
“ A...apa?!”
“ Iya, Om, aku tak jadi menikah dengannya..”
“ Hush! May,..hati-hati, jangan bercanda!”
“Aku...serius...”
“Hei..heii,..Tinggal seminggu lagi, kami semua telah mempersiapkan,..kenapa kamu...ini?
“ Seperti kata Om tadi,..belum terlambat kusadari, dia tak ada di dadaku, aku tak mencintainya...”
“ May,..”, sempat tergagap, aku tak tahu harus menata hati. Terus terang, aku mengutuk diri. Aku tak bisa berbohong, selintas ada rasa gembira dengan semua ini. Ah, keterlaluan sekali aku ini!
“ Kalian..? Bagaimana dengan Chandra ...?”
“ Chandra,..akhirnya bisa menerima keputusanku ini, Om..”
“ Papamu?...Mamamu?”
“ Hm,..Iya, mereka marah, memang. Tapi,..bukankah ini hidupku..?”
“ Kamu,..nekat,..May..., kenapa begini,..sih?”
Entah mengapa, keringat dinginku tiba-tiba meluncur. Maya yang ada didepanku sekarang, benar-benar lebih dari yang aku duga. Yah, sedari awal memang aku sadar, dia telah dewasa, namun sikapnya ini sungguh jauh dari yang aku kira. Bahkan, dia yang begitu lekat disampingku ini kurasa menjadi seorang wanita yang tampak akan menguak segala rasa yang bukan hanya miliknya saja.
Apalagi, saat wajah lembut itu menatap wajahku dengan sorot tajam yang begitu jauh berbeda. Aku mengenalnya, namun yang tergambar adalah sebuah sisi yang selama ini mati-matian tersaput dalam tirai-tirai kepantasan yang sedemikian teguh ingin kujaga. Tentang pria dan wanita, bukan lagi paman dan keponakannya, meski tak ada hubungan darah, namun getaran-getaran itu telah sekian lama tertutup, tepatnya sengaja kupendam. Tak sedikitpun kuberikan kesempatan bias itu untuk berpendar. Entah, sejak kapan kerlip-kerlip memercikkan sinar.
“ Hmm,..ya sudahlah, May. Om bisa mengerti langkahmu..”. Kucoba untuk bersikap biasa, sama seperti saat ia membuang kado dari papanya, karena tak bisa menemani ulang tahun ketujuhbelasnya.
Kusesap kopi yang sedari tadi kuabaikan. Tak terlihat lagi kepul asapnya, namun masih kurasa nikmat saat aroma hangatnya mengaliri kerongkonganku yang mulai tercekat. Tatapan itu, masih..., astaga, Maya..., kau begitu tega memandangku seperti itu. Jangan kau seruakkan binar-binar tak pantas yang sekian lama kucoba melenyapkannya. Atau,..mungkinkah, kau memiliki pemantik yang sama, dan sekarang mencoba menerabas segala sekatnya?
“ Om...”
“ Ya..”
Ah, kenapa aku jadi tak tahu diri dengan perasaan ini?
“ Om masih ingat,..dulu, tiap aku menangis,...selalu memberi sesuatu...?”
“ Boneka..., cerita lucu..lalu, apa lagi...ya?”
“ Ada lagi,..mungkin, dulu Om anggap aku tak akan ingat lagi..”
“ Hmm..., apa itu, May...?”
“ Om selalu berbisik,...apa yang kamu rasakan, May..?”
“ Ohh....,...itu..?” aku tak menyangka,..bisikan itu ternyata selalu didengarnya. Bahkan diingatnya.
“ Aku ingin mendengarnya lagi sekarang....”
Ah. Suaranya seperti dulu lagi,..meski tak meraung seperti gadis kecil, kaca-kaca bening yang lelehannya membasahi bahuku kini kurasa sama artinya sebagai sebuah tangisan kerinduan. Sebuah hal yang sama harus kulakukan. Pada sisi telinganya yang kini telah dewasa, kubisikkan hal itu dengan getar hati yang sungguh sangat jauh berbeda kurasa.
“ May,..apa yang kamu rasakan...?”
Maya sedikit tak mampu menahan isaknya, juga kulihat rona memerah pada manis wajahnya. Hanya sekejap ia menatapku dengan tengadah,..lalu merengkuhku erat. Kurasa, ia berusaha begitu keras untuk menyingkirkan segala beban, saat bisiknya lirih namun jernih kudengar..
“ I...I Love You,..Om..”
Kupikir, sekarang saatnya bagiku untuk menerjang segala batas rasa. Untuk apa aku menimbun segala pendar tu, jika selama ini aku terjerembab dalam sunyi. Sekian lama aku berusaha menenggelamkannya, melepasnya bagai merpati yang terbang mencari jodohnya. Hingga bertekad mengisi hidup dengan kesendirian sebelum ia menentukan kemana kepaknya akan bersandar. Jika Maya ternyata memilki api yang sama, akupun harus menyambutnya dengan sepenuh ketulusan yang memang selalu ada.
Aku memang tak lagi semuda dia. Kuharap dia mengerti apa jawabku dari rengkuh dan kecup yang singgah di bibirnya.
“ Baiklah,...May. Nanti siang kita pulang,..aku akan melamarmu...”
“ Beneran,...Om..?”
“ Ssst..., mulai sekarang,..berlatihlah untuk tidak memanggilku..OM..”
“ Hihihi..., iya Om...eh,...Mas...”
Aneh sekali, pagi ini langit begitu terang. Tapi, kurasa bumi berputar begitu malasnya, pagi begitu panjang...tak kunjung beranjak siang. Syukurlah,..kicau kutilang yang berlompatan dari dahan ke dahan, pada pohon akasia di taman seberang jalan, tak lelah memberikan kami nada-nada indah yang seolah melarikkan,...biduk dan dermaga itu kini saling tambat di tepian.
***
.
.
C.S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H