Pernah atau tidak Anda mendapatkan “protes” semacam judul di atas? Yang disampaikan oleh rekan atau katakanlah sahabat yang dahulunya cukup dekat/akrab. Atau justru Anda yang berposisi sebagai pihak “pemrotes” itu?
Hal itu bisa atau malah sering terjadi. Dua pihak atau lebih yang sebelumnya begitu dekat sebagai teman, saling kontak, bercerita, curhat bahkan sering kesana sini pergi bersama-sama, saat salah satu atau masing-masing telah menikah, intensitas hubungan menjadi “renggang”. Atau malahan sama sekali “putus” bertukar kabar. Apalagi jika setelah menikah itu masing-masing terpisahkan jarak, yang meskipun semula batas jarak itu bukanlah penghalang kedekatan/persahabatan.
Kondisi ini akan lebih terasa ketika yang telah menikah itu hanya salah satu saja, sedangkan yang lainnya masih sendiri (melajang). Pihak yang belum menikah itu, bisa jadi akan lebih merasa ada sesuatu yang “hilang” atau merasa “ditinggalkan”.
Pada relasi antar sahabat yang sama-sama telah terikat pernikahan, intensitas berinteraksi yang berkurang tentunya akan lebih mudah untuk masing-masing saling memaklumi. Karena sama-sama tahu bahwa ketika menjalani hidup berumahtangga dihadapkan pada “dunia” yang jauh berbeda. Namun bagi yang masih lajang, kemungkinan untuk “memaklumi” itu sering tak terpikir. “Ah, Dia sekarang sombong banget”, anggapan itu datang karena terdorong rasa sepi/kehilangannya.
Akan tetapi, sepertinya harus diakui di sini, bahwa banyak yang entah itu sengaja atau tidak sengaja, terpaksa atau tidak terpaksa, kehidupan saat telah berkeluarga itu menjadikannya berada dalam situasi “melupakan” sahabat masa lajang. Jangankan saling bertukar kabar, bahkan sekedar menghadiri undangan pernikahannya pun, enggan tak datang.
Memang, setelah menikah, kita berada dalam situasi yang berbeda. Sekecil apapun intensitas interaksi dengan sahabat masa lajang, sebaiknya tetap diusahakan. Syukur-syukur masih sering menjalin komunikasi atau bertukar kabar, namun tetap harus diingat posisi kita sekarang. Yang penting, jangan sampai kehidupan sekarang menyeret kita untuk sama sekali melupakan.
“ Hai, Ini aku, sejak menikah, kamu sombong banget, sih..?”
“ Eh,..kamu?!, Ya, ampuun,...siapa namamu??”
Ini sungguh tega banget.
“ Hai, kapan kita jalan-jalan lagi, shopping di mall yuk, kayak dulu..”
“ Besok, siang ya. Pas anak-anak pada sekolah, suamiku nggak di rumah..”
“ Asikk,..betul itu, anak-anak sekolah, suamiku juga masih ngantor....”
Ini lumayan terlalu.
“ Halo, Bos. Masih inget aku kan?”
“ Iya, dong, masa’ lupa. Pa kabar?”
“ Baik,..kamu juga kan? Sorry, nih, jarang kasih kabar, sibuk..hehe..”
“ Ya, sama,..lah. Maklum, kok..”
“ Gimana..., lancar-lancar semua?”
“ Siip,..Eh, Aku ada proyek gede, nih, keteteran. Kamu bisa bantu?”
“ Mantappp!! Tau aja, kalau aku lagi sepi..!”
Paling tidak, yang kayak begini, nih, gunanya tetap menjalin silaturahmi.
.
.
C.S.
Ah, itu perasaanmu saja...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H