Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menu “Add Friend” dan “Add Enemy”

27 September 2012   04:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:37 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Meski tercatat atau tidak, baik di dunia nyata ataupun maya, kita tentu memilki daftar orang-orang yang berstatus sebagai “teman”. Demikian juga, baik diakui atau tidak, ada beberapa yang kita anggap sebagai “musuh”  atau berseberangan dengan kita. Namun demikian tak ada yang sanggup menjamin kondisi itu akan terus berjalan. Yang dulunya teman baik, suatu saat bisa menjadi musuh besar. Demikian juga sebaliknya, yang dulunya musuh bebuyutan, pada masanya berubah menjadi teman dekat.

Sulit dipungkiri, hal itu bisa terjadi pada interaksi antar individu yang dalam skala lebih besar bisa berbentuk  komunitas. Layak diamini pendapat bahwa memang dalam diri manusia memiliki naluri untuk “mengeliminir” manusia lain ketika “kepentingannya” terusik. Naluri itu jika tak terkendali akan mewujudkan tindakan yang mengarah pada “meniadakan” yang lainnya. Bisa dengan membenci, menyakiti, memanfaatkan, memangsa, bahkan “membunuh” dan segala bentuknya. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, “homo homini lupus", seperti yang pernah diungkapkan olehPlautus Asinaria. Diperkuat pula dengan pendapat Thomas Hobbes yang meskipun lebih menekankan pada peran negara, substansinya adalah bahwa kita harus melawan/mencegah adanya naluri itu.

Sebuah perenungan yang bisa dianggap sebagai “penenang” adalah apa yang diperhalus oleh Seneca dengan menyebutkan bahwa “manusia penuh rahasia bagi manusia lainnya”. Dan yang lebih mendamaikan perasaan kita adalah “ajaran” dariProf. Dr. Nicolaus Driyarkara tentang "manusia adalah kawan bagi sesama". Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya di dunia ini (homo homini socius). Pikiran homo homini socius ini diletakkan untuk mengimbangi sosialitas yang saling mengancam, memangsa, dan membenci dalam homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).

Dan sepertinya, kita patut berbahagia mengingat meskipun kedua naluri dasar sebagai manusia itu bisa diakui, relasi dan interaksi yang selama ini terbentuk dengan berbagai wadah dan skalanya selalu berusaha untuk mewujudkan “manusia adalah kawan bagi sesama”nya itu. Keinginan mewujudkan hal itu selalu diupayakan baik melalui media nyata masyarakat ataupun maraknya media sosial di dunia maya, yang cukup menjadi bukti bahwa manusia tak mungkin hidup sendiri.

Dalam dunia nyata keinginan itu terlihat dengan adanya sistem bermasyarakat yang didukung norma-norma. Dalam batas yang tipis, di dunia maya (media sosial )pun berusaha mewujudkan hal itu. Bukankah jika kita memiliki akun facebook, twitter, ataupun kompasiana yang selalu ada adalah daftar “teman”? Belum pernah saya temui media sosial yang menyajikan menu permusuhan. Yang ada ya “add friend bukan “add enemy.

Tentunya kita selalu berharap agar naluri “manusia” itu lebih mendominasi daripada “serigala” yang ada pada diri kita. Memang, tak mungkin sesempurna itu, mengingat banyak aspek yang menjadi penghias kelemahan kita. Dan saat kita hendak memandang siapakah yang benar-benar “teman” ataukah “musuh” itu, tentunya akan sangat membutuhkan perenungan. Musuh adalah “teman yang tertunda” sedangkan teman bisa menjadi “musuh yang tertunda” juga. Tentang ini, saya sangat sependapat dengan apa yang dikatakan oleh eyang Mudji Sutrisno (Dosen STF Driyarkara), bahwa “musuh” dan “teman” kita yang sesungguhnya adalah “diri sendiri”.

Salam pertemanan.

.

.

C.S.

Pelihara menu “add friend”, hapus menu “add enemy”....

NB: Segala hal yang mungkin menjadikan kesan bahwa saya “sok filsuf” di atas adalah hasil menyerap dengan segala keterbatasan dari berbagai sumber yang saya anggap sebagai pengetahuan. Mohon maaf jika kurang berkenan, mencoba berbesar hati kalau ada yang hendak menambahkan atau meluruskan, hanya berharap saat Anda menyampaikannya dengan mengendapkan naluri “serigala” yang mungkin ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun