Mengatur keuangan keluarga memang memiliki beragam pola dan pilihan. Di luar bahasan “mainstream” tentang pemasukan, pengeluaran, tabungan ataupun investasi, yang seringkali berbeda-beda adalah “posisi/peran” suami dan istri dalam pengambilan keputusan. Baik itu dalam kondisi salah satu (suami atau istri) saja yang bekerja ataupun ketika keduanya berpenghasilan (dobel gardan).
Secara “klasik”, pola yang sering diambil adalah salah satu pihak berperan sebagai “manajer”nya. Biasanya sih, peran ini diambil oleh sang istri, terutama untuk pengaturan uang yang bersifat bulanan/rutin (belanja, uang sekolah, listrik, PAM, telepon, dan lain-lain). Sedangkan suami lebih berperan untuk kegiatan keuangan yang skalanya lebih besar (membeli rumah, mobil, tanah dan lain-lain). Itu biasanya, lho. Karena tak menutup kemungkinan, ada pula istri yang males ngatur uang bulanan.
Yang cukup menarik menurut saya adalah tentang “prinsip keterbukaan”. Tapi di sini tentu tak bermaksud untuk menyalahkan atau juga membenarkan tentang pilihan, karena pasti kondisi tiap rumah tangga bisa berbeda kan?
Bahasa mudahnya begini, anggaplah sang istri yang menjadi “manajer”nya, dan ini memang yang sering dijalankan. Yaitu pilihan sang suami secara total “terbuka” menyerahkan semua penghasilan/gajinya untuk dikelola sang istri, ataukah hendak “mengamankan” sebagian sebagai dana cadangannya sendiri. Yang diberikan ke istri dianggap “uang orang rumah/istri“ sedangkan yang dicadangkan itu banyak istilah yang menyebutnya sebagai “UANG LAKI-LAKI”.
Memang, hal ini tak bisa serta merta disalahkan karena dianggap tidak jujur. Karena pada kondisi tertentu ada yang “terpaksa” mengambil langkah itu karena pertimbangan yang masuk akal juga. Misalnya: kalau semua sudah dipegang istri, minta jatah buat beli bensin, rokok, atau ngopi di warung menjadi super susah, atau bisa juga kalau diberikan semua kepada istri seberapapun besarnya tetap habis juga, misalnyaaaa...lho! Dan mungkin ada pertimbangan lain yang masuk akal demi “kepentingan kepantasan” pula.
Nah, uang keluarga pun memang bisa “berjenis kelamin”, baik laki-laki ataupun perempuan. Semua jelas tergantung siapa dan seperti apa kondisi atau pilihan paling nyaman yang dijalankan. Hanya saja, mengenai “uang laki-laki” ataupun “uang perempuan” ini menjadi tidak tepat ketika niatnya memang murni untuk “menyembunyikan” demi kepentingan salah satunya yang sangat tidak dianjurkan. Misalnya? ..apa ya? Yaah, contohnya buat judi, hura-hura, atau buka “kantor cabang” baru dengan “manajer baru”.
Apapun pilihannya, tergantung niat hati yang tentu saja ada manfaat ataupun risikonya.
Salam rukun.
.
.
C.S.
Paling2 buat ngopi, kok,...
Janji,..deh..!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI