Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janji Tak Bertepi

13 September 2012   23:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:30 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah cukup banyak kurasa, rumah-rumah kerang berbagai bentuk, ukuran dan warna yang kujumput untuknya. Unik-unik dan indah, ..ah.., mudah-mudahan para moluska itu tak marah karena aset-aset yang terserak itu aku ambil. Bukankah mereka telah meninggalkannya? Mungkin pergi untuk mencari tempat meringkuk yang lebih sesuai selera hati, atau bisa jadi rumah yang lama tak mencukupi lagi. Tapi, yang kuharap sih, kerang-kerang itu memang merelakannya berserakan di sela-sela butiran pasir pantai ini karena tahu, aku membutuhkannya untuk menumbuhkan senyum yang selalu kudamba dari gadis yang duduk di tepian itu.

“ Ning,...masih banyak, nih! Bagus-bagus,..warna-warni..”

Entah untuk keberapa kalinya, benda-benda mungil serupa keramik ini aku sodorkan padanya, begitu penuh kedua telapak tanganku, hingga satu dua di antaranya sempat terjatuh. Kupungut lagi, lalu kusatukan dengan perolehan sebelumnya yang dia kumpulkan pada sebuah kantung plastik di pangkuan.

“Wah,..lebih bening tampaknya, Mas..”

“Iya,..mereka belum lama terdampar..”

“Cari lagi, dong,..Mas!”

“ Hah?!...Udah numpuk gitu..?!”

“ Iya, sih. Tapi masih kurang,..aku mau bikin tirai pintu yang banyak..”

“ Besok lagi, lah, Ning. Capek, nih...”

“ Hihihi,..ya udah, kiraian belum pegel..”

Aku beringsut duduk di sampingnya, membantunya membersihkan beberapa kerang yang masih bercampur dengan sedikit butiran pasir basah. Angin pantai lembut membusai, saat seperti ini tak pernah kulewatkan waktu untuk memandang keindahan di depanku. Wajah lembut yang sunggingkan senyum  dan rambut panjangnya yang tertiup angin menari, sebagian helainya singgah menerpaku, hantarkan harum yang membuatku terasa damai. Sesekali aku usil menahannya dengan jepitan jari, membuat Aning mengaduh lalu mencubit lenganku dengan raut pura-pura cemberutnya yang kusuka.

“ Ning, ..pulang, yuk, sudah sore...”

“ Sebentar lagi dong, Mas. Lihat sunset dulu..”

Hm, sudah kuduga, aku memang hanya ingin mengujinya. Hampir setiap hari kilau indah mentari yang terbenam itu kami nikmati. Kupikir, dia memiliki pula rasa bosan, tapi ternyata tidak, meskipun yang tampak nanti adalah sama seperti yang kemarin, juga hari-hari sebelum ini.

“ Sunsetnya akan sama seperti kemarin, Ning..”

Entah terpaan angin apa yang kemudian datang. Kali ini dia terdiam, menghela sedemikian lama hempasan nafasnya, mempersiapkan jawaban yang sepertinya cukup lama ia simpan. Dan firasatku mengatakan, suasana ini menghadirkan sesuatu yang akan membuatku ketakutan.

“ Ini akan menjadi sunset terakhir kita, Mas..”

“ Hush! Jangan ngaco kalo bicara!”

Aning tundukkan wajahnya. Ah, aku sungguh tak suka keadaan ini. Saat dia kembali tampilkan kesenduan seperti dulu lagi. Sulit terlupa, masa pahit ketika kecelakaan hebat yang pernah kami alami setahun lalu, membuat kedua kakinya harus rela diamputasi. Dan aku benci hal ini, karena kegagalan demi kegagalan itu menyeruak muncul kembali. Gagalku menjaga semangat hidupnya, meyakinkannya bahwa cinta ini tak pernah berubah, dan perjuanganku meredakan himpitan rasa bersalah, karena saat itu tak mampu menghindari bus yang remnya tak terkendali, lalu menghantam mobil kami.

“ Maaf,.. Mas Surya. Aku serius. Telah lama menimbang apa yang kali ini ingin kusampaikan..”

“ Aning, sudahlah, jangan berkata yang tidak-tidak...”

“ Nggak, Mas. Ini sudah kupikirkan masak-masak. Mas Surya tak usah kuatir bahwa kondisiku labil seperti dulu. Aku sekarang sudah benar-benar menerima kenyataan”

“ Aku nggak ngerti,..ada apa ini..?”

Hmmh. Benar-benar situasi yang tak kuinginkan. Melihat matanya yang mulai membasah dan suaranya yang terisak sungguh membuat aku kesakitan. Apalagi ucapannya yang terpatah dari bibir indahnya yang bergetar.

“ Aku ingin...., kita berpisah saja, Mas. Cukup sampai disini...”

“ A..apa?! ..., Ning, kita sudah bertunangan, sejak lama...!”

Tetap saja aku terhenyak, dengan tukas yang sedikit mengeras, meskipun apa yang dia katakan dan mencoba kutepis dari lintasan pikiran itu, sempat kuramalkan. Tapi..ternyata, hal itu lah yang benar-benar ia ucapkan. Deburan ombak yang menghempaskan buih-buihnya ke tepian itu sejenak selingi riak-riak gejolak yang menerpaku,..mungkin juga sama dengan apa yang Aning rasakan.

“ Mas,..aku tahu,..justru sebelum kita menikah itulah,..menjadi saat yang tepat untuk kita berpisah..”

“ Maksudmu..? Jadi, selama ini kamu ragu? Kau pikir, suatu saat aku pasti meninggalkanmu?”

“ Itu dari sisi dirimu, Mas. Hanya Mas yang bisa memastikan. Tapi, kali ini aku hanya ingin berpikir logis, Mas”

“ Logis..?”

“ Mas Surya juga harus menimbang perasaanku. Mengertilah,..aku tak ingin menjadi bebanmu nanti...”

“ Siapa yang merasa terbebani? Aku tak pernah menganggap itu..”

“ Maas, ini bukan tentangmu. Tapi tentang aku...., perasaanku. Kumohon,..kalau kau ingin melihatku bahagia,..relakanlah aku menjalani hidupku,....sendiri..”

Tiupan angin laut yang sejuk dan sedikit kencang kembali menerpa, juga titik-titik air yang dibawanya, tapi tak mampu mencegah keringat dingin yang meluncur deras di dahi, juga kurasa mengalir di alur punggungku. Kepalaku sedikit pening karena berusaha keras memilah bauran yang melintas, antara rasa... lalu berganti logika. Sekejap mengerti,..lalu berganti dengan berontaknya hati. Melelahkan sekali.

“ Aning,..haruskah seperti itu? Aku kira,..kita sebaiknya tak melanjutkan dulu pembicaraan ini,..masih banyak waktu..”

“ Tidak, Mas. Harus mulai saat ini, ...bahagiakan aku,..berjanjilah,...mulai esok kau tak usah datang lagi...”

“ Aning,..aku..”

“ Mas tak usah kuatir,..aku yang akan jelaskan semua pada orang tua kita. Ini kemauanku,..aku yang ingin kita berpisah...”

Aku tempelkan kedua jariku pada bibirnya yang bergetar menari.

“ Ssst..., sunset..., Ning..”

Sepertinya, kami sepakat untuk berdiam. Ingin sejenak menata masing-masing keresahan ini. Berharap, dengan hadirnya kilau keemasan menakjubkan di depan mata kami kini,..Aning akan menimbang kembali apa yang dia inginkan. Demikian juga aku,..ada pula terlintas sebuah kebenaran, tentang apa yang tunanganku ini tadi katakan. Benarkah aku mampu?..Apakah perasaanku akan tetap sama jika kami telah menjalani pernikahan nanti?..Kilasan-kilasan itu lagi yang hilir mudik menghantui. Cinta...logika..keyakinan..keraguan.., arrgh..., selalu mencoba mengais kejujuran hati.

Hingga mentari itu benar-benar tertelan garis temaram, lalu perlahan malam menunggu menggantikan, beberapa waktu kami masih tenggelam. Mungkin sama yang kami senyapkan, tentang apakah keindahan ini benar-benar akan kami tinggalkan. Lalu, aku tersadar saat sayup isak itu menyapa..

“ Mas...”

“ Hm..”

“ Berjanjilah..., esok tak usah datang lagi..”

Aku tak mampu sepatah pun keluarkan kata. Kurundukkan tubuhku sehingga sama rendah dengannya yang tertunduk sunyi di atas kursi roda. Selintas kecup dan pelukan kami begitu erat.

“ Mas,..berjanjilah...”

“ Hm.., kita pulang.., sudah mulai malam..”

“ Kau belum mengatakannya....”

“ I..iya,...aku janji...”

Kulepaskan jaketku lalu kulilitkan di punggungnya. Angin yang bertiup terasa semakin dingin, tak sejuk lagi. Langit di atas kami tampak semakin kelam, hanya beberapa kerlip bintang yang datang. Gemuruh ombak yang terdengar masih seperti kala tadi, pastilah di sana kembali banyak terdampar kepingan-kepingan rumah kerang. Andai saja Aning memintaku kembali kesana, aku akan bergegas memungut sebanyak-banyaknya, bahkan sampai nanti malam atau esok fajar datang pun tak mengapa.

Kursi roda tempat kekasihku ini duduk serasa berlipat kali beratnya saat kugerakkan. Pasir-pasir pantai ini seolah menghisapnya karena tak merelakan kami berlalu. Tapi kami harus pulang,..pasir pantai, ...keping kerang..., debur ombak...angin laut. Entah,..apakah esok kami akan datang lagi. Gadis cantik di kursi roda ini telah memaksaku berjanji. Aku ingin menuruti apa yang dia inginkan. Tapi,..ada hal terlupa yang pada saatnya nanti harus kukatakan, menunggu masa dia akan percaya. Dia memang tak memiliki kaki lagi, namun jika dia tak ada di sisiku lagi, aku akan  kehilangan hal yang lebih berarti,..bukan hanya kaki, bahkan separuh hidupku akan..dibawanya pergi. Aku ingin juga bahagia,...dan itu begitu sulit...tanpa kehadirannya.

Maafkan aku, Aning. Sepertinya, janji itu..... esok hari akan kuingkari.

.

.

C.S.

Pantai tetaplah tepian samudra..

Sunset tetaplah mentari terbenam..

Dan..

Kehadiran adalah....kehadiran...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun