Akibat kicauannya di twitter beberapa waktu lalu, Wamenhunkam Denny Indrayana banyak menuai tanggapan miring, bahkan OC Kaligis selaku salah satu advokat yang “tersinggung” dengan celoteh bertema “advokat pembela koruptor adalah koruptor” itu mengadukannya ke pihak kepolisian. Polemik, pro dan kontra bergulir memanas di media, bahkan di acara televisi (ILC) persateruan itu makin kencang karena advokat lain, Indra Sahnun Lubis terlihat membalasnya pula dengan “cercaan” yang cenderung menghina fisik Denny Indrayana. Cukup menarik perhatian publik karena mereka-mereka yang terlibat bukanlah “orang biasa”.
Bukan orang biasa karena yang melontarkan wacana adalah pejabat tinggi dan yang meradang adalah advokat-advokat tenar. Dan satu lagi, mereka semua adalah para ahli hukum yang tak diragukan lagi pemahamannya dalam bidang keilmuan yang mereka kuasai. Yang kebetulan lagi, apa yang mereka ributkan adalah bagian “ remeh temeh” dari ilmu hukum yang menjadi makanan mereka sehari-hari. Lalu, apa sebenarnya substansi penyebab kegaduhan ini? Tak lain dan tak bukan hanyalah “penyakit” yang setiap orang memilikinya, bukan para ahli hukum saja. Yaitu “emosi yang tak terkendali” karena terusiknya harga diri. Emosi yang tak terkendali mengakibatkan masing-masing tidak mampu menyaring lagi apa yang ada di hati (batin) atau pikiran untuk dipertimbangkan efek-efek negatifnya jika diungkapkan.
Secara logika, tak mungkin seorang Denny Indrayana, wamenhunkam, ahli hukum tata negara, dan guru besar Fakultas Hukum UGM tidak memahami bahwa apa yang dikicaukannya itu tidak tepat secara keilmuan, apalagi jelas menyerempet sebuah pendefinisian yang tanpa alas hukum. Secara garis besar pernyataan bahwa advokat koruptor adalah koruptor tentu salah besar, dia pasti tahu itu. Namun, jika dia jujur mengakui, kicauannya di twitter lebih terdorong oleh “bobolnya” filter diri yang gagal menyaring apa yang dibatin/pikir untuk tidak diungkapkan di media (sosial ). Entah emosi dalam hal apa yang membuat orang sekelasnya tak mampu menahan diri, bisa jadi akibat riwayat banyak terganjalnya langkah-langkah yang menurutnya dalam rangka pemberantasan korupsi karena “perlawanan” para advokat yang kebetulan menjadi pembela para tersangka/terdakwa dalam kasus korupsi.
Memang, Denny Indrayana telah meminta maaf, tapi sayangnya, mungkin kembali pada faktor menyelamatkan harga diri itu tadi, permintaan maafnya terkesan “nanggung”, jauh dari sisi mental satria. Permintaan maaf yang terbaca “hanya” ditujukan kepada “advokat bersih” jelas kabur dan terkesan tidak tuntas. Oke lah, jika di dalam hatinya tetap terbersit “anggapan” bahwa advokat pembela koruptor adalah koruptor, meski mungkin bukan hanya dia yang memiliki anggapan serupa, namun apa yang sudah “terceplos” di media tidak ada salahnya secara jantan dia tarik sepenuhnya. Tak perlu embel-embel pembelaan diri yang melebar ke definisi baru tentang advokat bersih dan kotor yang “sulit” terbukti, apalagi dengan pemanis bahwa apa yang dilakukannya adalah demi agenda pemberantasan korupsi. Nonsen! Akui saja kalau itu adalah “keceplosan”, wacana batin/hati yang tidak terjaga hingga terlontar keluar.
Meradangnya para advokat yang merasa “tercemar” dengan kicauan Denny itu memang wajar, siapapun memiliki kebanggaan profesi, akan terusik saat ada yang dianggap melecehkan. Namun ketika terdapat respon yang membalasnya secara berlebihan, itupun bukanlah tindakan yang mencerminkan kematangan. Kembali kepada faktor penyakit manusianya yang mengemuka. Ketidakmampuan menahan apa yang tercetus di hati lalu melontarkannya pada tindakan yang kurang tepat sama saja kelasnya dengan sebuah penonjolan “arogansi” diri. Jika advokat yang terusik dan lebih matang dalam bertindak, sebelum mengadukan Denny ke polisi setidaknya terlebih dahulu melancarkan somasi/peringatan. Dan ini sepertinya tidak dilakukan. Lebih memprihatinkan lagi jika balasan itu lebih “jahat” karena mengolok-olok fisik, semakin nyatalah penyakit manusia itu yang berbicara.
Duduk bersama, mediasi, dan saling memaafkan adalah hal terbaik yang patut mereka lakukan. Tak semua permasalahan harus diselesaikan lewat polisi. Apalagi secara ilmu mereka adalah para ahli yang tak diragukan lagi. Namun semua harus menyadari, sampai “sundul langit” pun keahlian yang dimiliki manusia, tak lepas dari penyakit lupa. Lupa menahan diri, lupa menyaring apa ucapan, kicauan, dan juga tindakan yang akan lebih baik terlebih dahulu dirapikan di dalam hati/pikiran. Itulah kita, mengidap penyakit laten, sering lebih cepat ngoceh, bicara atau berbuat, namun menimbang dan berpikir belakangan.
Salam menahan diri.
.
.
C.S.
Semua perlu latihan..
Ada gunanya kembali ke diary..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H