Selama ini istilah "ngoko" dan "kromo" untuk membedakan kepantasan kepada siapa kita bertutur ( baik lisan ataupun tulisan ) telah lazim dikenal dalam bahasa jawa. Untuk bahasa daerah lain juga ada, meski saya tak tahu persis sebutannya apa. Contohnya bahasa Sunda, dikenal pula strata bertutur untuk membedakan pilihan kata yang bermakna "halus" atau "kasar" sejenis "kromo" dan "ngoko" itu tadi, terutama untuk menyesuaikan diri dari segi kepantasan/ kesopanan terkait kepada siapa kita berkomunikasi. Dalam bahasa jawa malah lebih njimet karena masih dibagi lagi dalam level yang kalau tak salah ada "ngoko lugu", "ngoko alus", "kromo lugu" dan juga "kromo inggil" yang saya sendiri terus terang sebagai “wong jowo” pun sampai sekarang masih “gelagapan” menggunakannya dengan benar.
Karena alasan di atas serta menyingkat waktu, sekedar gambaran sederhana untuk bahasa jawa, sebaiknya saya berikan batasan untuk membahas penggunaan “kromo” dan “ngoko” saja, tanpa detail level-level selanjutnya. Yaitu yang memiliki makna lebih halus itulah kromo dan lebih “kasar”/bebas itulah “ngoko”. Pilihan bahasa kromo biasanya digunakan ketika kita berkomunikasi pada pihak lain yang dianggap lebih dihormati, lebih tua ataupun yang belum begitu akrab kita kenal. Dalam bahasa Sunda pun sepertinya demikian. Untuk bahasa daerah lain di Indonesia tercinta ini bisa jadi juga demikian, tapi mohon maaf karena selama ini sedikitnya kesempatan yang saya dapat dan terbatasnya kemampuan, hanya lebih “akrab” dengan bahasa jawa atau Sunda. Bahasa Minang saya hanya tahu “rancak bana” dan “ uda” , demikian juga hanya “horas” dan “lae” untuk bahasa Batak.
Untuk Bahasa Indonesia pun menurut saya batasan pilihan katanya juga memiliki strata semacam ini. Yang pasti tidak seperti Bahasa Inggris yang lebih “nglunjak” karena hampir tak mengenal strata kepantasan itu. Mau ngomong sama adik, kakak, ataupun bapak pilihan kata untuk menunjuk “kamu” tetap saja memakai “you”.
Sedikit contoh saja, untuk ngobrolin perbedaan strata bahasa itu. Misalkan kalimat yang demikian:
“ Kamu sudah makan?”
Untuk Bahasa Indonesia bisa disebut kalimat di atas itu bisa dikatakan berstandar “ngoko”/”bebas”, biasa dipergunakan untuk lawan yang sudah kita kenal, akrab atau sebaya. Akan cenderung bermakna tak sopan ketika digunakan pada lawan bicara yang lebih tua/lebih dihormati. Untuk “kromo”nya, kalimat itu bisa diganti dengan:
“ Anda sudah makan?”
“ (Ayah, Ibu, Kakek) sudah makan?”
Kalau dalam Bahasa Jawa sepadan dengan :
“ Njenengan sampun dhahar?” (kromo)
“ Kowe wis mangan?” (ngoko)
Dalam Bahasa Sunda mungkin sepadan dengan ini (mohon koreksi kalau kurang tepat, maklum bahasa Sunda saya masih patah-patah..hehe):
“ Anjeun geus tuang?’ (kromo)
“ Maneh geus dhahar?” (ngoko)
Lalu bagaimana ketika kita berkomunikasi dalam media sosial? Saya pikir tak jauh beda. Meskipun ketika kita berinteraksi di sana akan sangat beragam pihak-pihak yang menjadi rekan “sharing and connecting” kita dan itupun tidak bisa kesemuanya di yakini “siapa” dia sesungguhnya. Yang pasti akan sangat beragam latar belakang mereka, ada yang sebaya, lebih muda, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nenek, tante-tante, akrab, tak terlalu akrab dan sebagainya.
Pada media sosial (maya), dalam menggunakan pilihan kata untuk bertutur (menulis) memang terdapat kenderungan untuk “bebas”, namun “tidak sebebas-bebasnya”. Sepanjang masih bisa dikategorikan “sopan” maka kita tak akan bisa memaksakan netizen untuk menggunakan bahasa “ngoko” ataupun “kromo”, sebisanya. Lalu dimana tolak ukur yang disarankan? Saya sih hanya bisa menyarankan dengan mengambil standar “rasa”. Yaitu kenyamanan saat kita “mengeluarkan” kata-kata dan juga saat kita menjadi “pembaca”/pihak yang dituju. Dan masalah “rasa” ini, hanyalah masing-masing yang memiliki, baik kita itu anak muda, orang tua, ataupun tingkat kedekatan/koneksitasnya. Di antara kita pasti akan memiliki persepsi rasa sendiri-sendiri.
Misalnya, ketika dalam media sosial kita memposting tulisan seperti demikian :
“Tak mau kalah dengan Kompasiana yang bagi-bagi THR,KompasForum juga akan bagi-bagi hadiah gadget keren, iPad2 dan iPod shuffle serta merchandise menarik dari KOMPAS.com melalui kontes Cerita Unik Ramadhan.Tentunya kalian harus terdaftar dulu sebagai member KompasForum agar bisa mengikuti kontes ini.”
Atau yang seperti ini:
“Setelah mencicipi martabak “naik kelas” a la D’Marco cafe yang berada di bilangan Jl. Sabang, Jakarta Pusat, di bulan Juli ini, Kompasiana dan Urbanesia mengajak Kompasianer untuk memanjakan diri di Royal Garden Spa and Salon.Setelah nama kalian terdaftar, nantinya Kompasiana akan menghubungkan langsung dengan pihak urbanesia untuk informasi lebih lanjut terkait acara dan pihak Urbanesia yang akan memandu peserta di lokasi acara nanti”.
Bisa jadi, dengan pilihan kata itu penulisnya menganggap rekan-rekan yang dituju adalah komunitas yang sebaya ataupun akrab, atau adik-adiknya, di luar apakah pembacanya itu abege ataupun kakek-kakek. Kalau yang membacanya anak abege atau dipersepsikan sebaya, mungkin “reaksi”nya biasa-biasa saja. Tapi ketika yang membacanya kakek-kakek atau nenek-nenek, bisa biasa atau “luar biasa”. “Wah, nglunjak nih, penulisnya..” Itu yang mungkin ada dibatin kakek/nenek itu (mungkiiiiin....). Sekali lagi, dalam media sosial memang tidak bisa memaksa dalam menggunakan strata bahasa/pilihan kata, yang penting adalah “rasa”.
Saya pernah menyapa seperti ini pada nenek saya :
“ Mbah, wis mangan durung?”
Apa jawabnya?
“ Ealah! Bocah kok “njangkar”...nglunjak!”
Semoga berguna, salam berinteraksi dengan nyaman.
.
.
C.S.
“ Anak-anaaak, kalian sudah sarapaaan?”
“ Sudah, Bu Guru”
“ Anak pinterrrr”
.
.
Ajining sastra saka ukara...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H