Tak ada orang yang sama sekali terbebas dari masalah. Baik besar ataupun kecil, selama kita masih hidup pasti memiliki masalah, yang terkadang sulit serta memerlukan waktu untuk terpecahkan, bahkan menjadi problem yang mau tak mau membebani pikiran. Masalah ringan pasti masih mampu kita eliminir hingga tak berpengaruh pada raut wajah dan gerak laku kita. Namun problema besar seringkali melenyapkan rona-rona bahagia dan seakan kita lupa kapankah terakhir kali tersenyum, apalagi tertawa. Berat ringan ataupun besar kecilnya kadar masalah tentunya akan berbeda pada masing-masing individu yang mengalaminya.
Efek murung, bermuram durja, berimbas pada perilaku mudah tersinggung, marah dan temperamen, itu wajar dan sulit untuk terhindarkan. Tak akan gampang kita tertawa saat terbelit problema, apalagi berat standarnya. Andaikata terancam kehilangan mata pencaharian pastilah resah, demikian juga akan sangat lupa cara ceria saat hutang-hutang usaha kita semakin bengkak, berat untuk terbayarkan. Segala kehilangan dan juga kekhawatiran menjadi induk problema dan ibu dari segala rasa resah dan duka, maka hanya tipis batas menuju hilangnya rasa bahagia.
Menampakkan wajah duka, kehilangan mood untuk bercanda, tentu manusiawi karena kita tak sempurna. Tapi tentu saja dan alangkah baiknya berusaha mengadaptasi suasana yang baik, yakni kapan, di mana, atau kepada siapa gambaran resah yang tak tertahankan itu paling wajar ditampakkan. Apa gunanya kita menampakkan mimik kurang bahagia dihadapan pihak yang tidak sepantasnya? Apalagi jika pihak-pihak itu adalah mereka yang seharusnya kita bahagiakan?
Ketika masalah atau problem itu memang membutuhkan pelepasan agar lebih ringan, pastilah ada pihak lain baik itu rekan, sahabat ataupun keluarga/pasangan yang layak dijadikan tempat berkeluh kesah. Pasangan sebenarnya paling tepat untuk itu, namun manakala pasangan dianggap lebih lemah hati, alangkah baiknya pula kita mengukur seberapa besar beban yang hendak dibagi. Tak harus mengharapkan solusi pasti, namun paling tidak pasangan kita mengetahui, tapi janganlah mengarahkan pada suasana di mana orang-orang yang seharusnya kita bahagiakan menjadi larut pula dalam kesedihan.
Sebuah hal yang paling layak kita sikapi, berusahalah agar keresahan tidak diketahui anak-anak kita yang belum saatnya menerima. Mari kita tampakkan selalu wajah bahagia saat berada di rumah. Ciptakanlah keceriaan itu meski ada masalah yang harus dipecah. Meskipun tak mudah, sesungguhnya ceria itu bergantung pada apa yang ingin kita keluarkan dari hati, karena dari hatilah segala rasa itu terpapar.
Life Is Beautiful. Pernahkah Anda menyaksikan film dengan judul itu? Film Italia keluaran tahun 1997, yang berkisah tentang Guido, seorang ayah yang berusaha keras menciptakan kebahagiaan untuk istri dan anaknya yang masih belia (berumur 6 tahun). Berlatar belakang masa perang dunia kedua, Guido tetaplah berusaha tersenyum, tertawa, dan bercanda untuk anak istrinya, meskipun secara normal sungguh berat kisah sengsara yang harus mereka hadapi. Bahkan ketika merekapun harus menjadi tawanan NAZI, tak berubah polah ceria Guido, terutama untuk anaknya, dengan mengatakan hal yang dia kira layak pada anak sebelia itu bahwa apa yang mereka alami (ditawan) hanyalah permainan, mereka bermain dan berperan sesuai aturan yang ada, jika melanggar akan mendapatkan hukuman.
Entah film itu berdasarkan kisah nyata atau murni fiksi, namun kepiawaian Roberto Benigni memerankan tokoh Guido membuat kisahnya sungguh menginspirasi. Guido memberikan pelajaran berarti betapa kita tetaplah harus menikmati hidup yang sesungguhnya indah. Life is Beautiful, Guido sungguh mengerti, bahwa ia tetaplah harus menciptakan tawa bahagia serta komedi, meskipun yang dihadapi adalah tragedi. Tetap ceria sepanjang problema, dan hanya berakhir saat ayah yang mulia ini harus tertembak mati.
Bagi kita yang seorang ayah, tentu saja bisa dipandang terlalu muluk untuk menjadi seperti Guido itu. Tapi paling tidak, sebatas mampu kita berusaha untuk sedikit saja terilhami. Hal terdekat yang bisa kita lakukan mungkin adalah berusaha selalu ceria di depan anak-anak kita, walaupun pada saat begitu banyak masalah atau problem yang mendera. Apalagi sejauh ini kita berada pada jaman yang jauh dari perang serta todongan senjata.
“ Yah, temenin aku main sepeda..”
“ Haish! Main sendiri saja sono! Sorry, Nak! Ayah sedang pusing!”
Aih, jangan begitu lah. Semua punya masalah. Saya bermasalah, Anda pun mungkin juga. Mari saling mendoakan agar semua bisa terselesaikan dengan berusaha dan berserah. Mari berusaha, meski dalam kepenatan serta ramai problema, tapi tetap menciptakan keceriaan di rumah. Bukankah masalah itu tiada habisnya selama kita hidup? Dan keresahan di depan anak-anak sungguh tak berguna, bahkan dari keceriaan yang ada justru sering terpikir dan tercipta solusi-solusi yang sebelumnya tiada kita sangka.
Life Is Beautiful. Salam bahagia.
.
.
C.S.
“Cinta adalah kondisi di mana kebahagiaan orang lain menjadi sangat berarti bagi dirimu”—Robert A.Heinlein.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H