Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KPK Vs DPR: Dua Gajah Bersateru, Pelanduk Mati di Tengahnya

2 Juli 2012   03:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:21 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang, untuk menuliskan opini ini, saya tidak memegang apapun itu peraturan perundang-undangan untuk menjadi contekan. Hanya memanfaatkan nalar dan logika dasar yang sedapat mungkin disesuaikan dengan sedikit pengetahuan pokok tentang keuangan negara. Yang pertama karena meyakini logika ini benar, yang kedua karena malas membuka pasal-pasalnya. Untuk itu mohon maaf jika tidak mencantumkan alas pertimbangan yang “plek ciplek” dengan undang-undang. Kalau ada yang dirasa tidak tepat mohon dikoreksi dan jika apa yang saya katakan adalah kebenaran janganlah saya ditampar.

Isu yang menghangat baru-baru ini, tentang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang mewacanakan dan telah menerima sumbangan dari masyarakat karena menurutnya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mempersulit/menghambat permintaannya untuk pembangunan sebuah gedung baru KPK.

Masyarakat pun merespon, dengan segala motivasi yang hanya masing-masing pelakunya saja yang tahu, dana sumbangan pun mengalir. Sangat disayangkan peristiwa ini, karena apa yang terjadi justru menimbulkan heboh, kegaduhan, serta kontroversi. Dan ini semua tentu saja justru merecoki agenda pemberantasan korupsi, substansinya kosong melompong, jauh panggang dari api. Sebaiknya kita tidak ikut-ikutan larut dalam kesia-siaan ini, lebih diutamakan menahan diri, berpikir jernih untuk mengkritisi.

Pertimbangan pertama adalah, kita tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun dalam benak kita terkadang memihak, tapi tetaplah menimbang segala kemungkinan dengan menyimak apa yang menjadi latar belakang. Yakni benarkah KPK membutuhkan gedung baru? Jika iya, apakah DPR melalui banggarnya mempersulit pencairan dananya, ataukah KPK yang belum sempurna mekanisme pengajuannya? Apapun itu kebenarannya, permasalahan ini seyogyanya tidak menjadikan sebuah kesalahpahaman. Apalagi menjadi hal yang dibesar-besarkan untuk disajikan diruang publik. Mewacanakan boleh saja, tapi sangat tidak pantas jika KPK lebih condong menggunakan sisi “emosional”, sampai-sampai mengkoordinir penerimaan sumbangan segala.

Yang kedua adalah terkait kegiatan pengumpulan sumbangan itu sendiri. Ini rawan sekali. Bukan tentang pandangan bahwa KPK menjadi tidak independent karena kepentingan penyumbang itu saja, tapi secara teknis pengelolaan sumbangan itu jelas-jelas berbahaya karena akan sangat bersentuhan dengan apa yang selama ini menjadi tugas KPK untuk memerangi, yaitu temannya korupsi,...gratifikasi!

Ketiga, penting untuk diingat, KPK adalah lembaga negara! Sekali lagi, KPK itu lembaga negara! Kebiasaan beberapa petingginya yang berasal dari LSM hendaknya jangan dibawa-bawa! Sebuah sumbangan, seberapapun besarnya, mau dibatasi per penyumbang maksmimal 10 milyar atau 10 jutapun, ketika itu mengalir kepada sebuah institusi yang notabene adalah lembaga negara, tetaplah diperlakukan sebagai uang negara, bukan uangnya KPK. Setiap dana yang masuk ataupun keluar harus mematuhi peraturan perundangan, terutama tentang keuangan negara.

Memang, jika tetap ingin ngotot melanjutkan cara ini, mekanisme yang dirasa “aman” adalah dengan mencatatkannya sebagai hibah, rasanya belum ada cara lain yang sah untuk itu. Lalu ketika disahkan sebagai hibah, uang itu jelas adalah uang negara. Bahkan entah salah atau benar, uang itupun harus disetorkan ke kas negara, menjadi bagian dari pengelolaan APBN.

Jadi, andaipun kumpulan sumbangan itu nantinya besar dan cukup untuk mendirikan gedung baru seperti yang selama ini KPK bernafsu mewujudkannyapun, sepertinya tidak serta merta bisa langsung comot untuk merealisasikannya. Memangnya gampang, beli tanah, beli pasir, beli semen dan segala tetek bengeknya dari uang sumbangan? Kalau kantor LSM sih mungkin enak saja, tapi untuk KPK, jelas harus kembali melalui mekanisme yang sesuai peraturan yang ada. Akhirnya, ya..sama saja, harus melalui prosedur pengadaan ataupun pembahasan yang kemungkinan harus melalui banggar DPR juga. Ujung-ujungnya sama kan? Apalagi kalau masih juga dikasih tanda bintang, ditunda! Nah, loh!

Padahal, sepertinya kecil kemungkinan besarnya sumbangan itu akan cukup atau sebanding dengan milyaran dana yang diperlukan KPK untuk sebuah gedung baru. Artinya, untuk merealisasikan proyek itu, tetap saja mengandalkan kucuran dana APBN yang sebelumnya diusulkan. Siap saja para penyumbang “mengikhlaskan” uangnya menjadi uang negara. Minta dikembalikan? Yeee, malu lah! Ketahuan kalau selama ini menyumbang karena punya kepentingan.

Kita berharap saja, kedua lembaga besar ini jujur menyikapi apa yang terjadi. Jika memang KPK sangat membutuhkan gedung itu, apapun yang terjadi tetaplah mengikuti mekanisme yang berlaku. Dengan segala sumber daya yang ada, bersabarlah dan tetap lebih fokus pada agenda utama memberantas korupsi tingkat tinggi, bukan kelas teri yang bisa menjadi jatah polisi. Dan untuk DPR, heboh yang terlanjur terjadi ini paling tidak mampu membuat mereka berkaca diri, agar lebih transparan dalam mengambil pertimbangan, proporsional dalam memutuskan, jangan sampai sikap mereka terbaca menjadi kebenaran bahwa mereka memang ingin “membunuh” KPK. Karena sampai sekarang, gejala inipun terindikasi ada, alasan mereka menunda salah satunya adalah mengenai kinerja KPK. Padahal kinerja dan fasilitas/sumber daya itu erat kaitannya, mana yang hendak didahulukan seperti telur dan ayamnya. Bukankah DPR pun kinerjanya juga perlu ditanya? Padahal pengadaan gedung baru mereka juga selama ini melenggang begitu saja.

Nah, maka itu, saya sih hanya memberi saran saja, terutama bagi Anda yang berniat menyumbang dengan dorongan hati untuk menunjukkan dukungan terhadap program anti korupsi. Ada peribahasa “ Dua gajah bersateru, pelanduk mati di tengahnya”. Jangan sampai kita menjadi pelanduknya. Tapi pastinya yang lebih mengkhawatirkan adalah realitas bahwa agenda pemberantasan korupsi itulah yang terancam menjadi pelanduknya.

“Jika aku berkata salah, tunjukkan salahku. Tapi jika aku berkata benar, mengapa kau menamparku?”

Salam rakyat.

.

.

C.S.

Sepuluh juta? Biaya kuliah satu semester...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun