.
[caption id="attachment_183858" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi:dok.pribadi"][/caption]
.
“Sabtu malam minggu, pukul tujuh, di rest area itu”
Itu pesan pendek yang selalu kutunggu darinya. Anita, gadis elok yang seiring berlalunya waktu begitu lekat dengan hari-hariku, bersama misteri yang menghiasi hubungan kami berdua.
“Setiap Sabtu aku pulang ke Bandung...”, itu alasan yang terkata dari ranum bibirnya, ketika pertama kali aku bertanya, mengapa harus di sini kami membuat janji.
Anita. Entah mengapa seringkali timbul rasa sesalku, kenapa dulu selalu mencoba mendesaknya, untuk bersedia memberikan aku data-data, tentang bos besarnya yang menyimpan banyak rahasia akan korupsi besar yang selalu mampu ditangkisnya. Dan saat laporan-laporan investigasiku menggemparkan media, ketika karier jurnalistikku melesat berkatnya, bersama itulah aku sering membenturkan kepala ke dinding kamar. Bisik bersalahku menyeruak, karena jelas, lambat ataupun cepat semua akan menyeretnya ke dalam bahaya. Dan hal itulah yang membuat semua ini menjadi kuanggap percuma, karena benih-benih cinta itu telah bersemi tanpa aku mampu menepikannya.
“ Nit. Sebaiknya aku hentikan kasus ini. Maafkan aku yang dulu terlalu memaksamu....”
“ Mas Surya takut?”
“...Bukan.., aku tak takut..”
“ Lalu? Kenapa?”
“ Aku tak ingin membawamu dalam bahaya...”
“ Bukannya dari dulu Mas tahu itu..?”
“ Itulah yang sekarang kusesali,..maafkan aku, Nit. Sungguh, sebaiknya kamu keluar dari semua ini..”
“ Kenapa, Mas?”
“ Aku tak mau kehilanganmu,..aku sayang kamu..”
Kusesap sisa kopi yang mulai dingin, hembus angin menerpa dari sela bukit-bukit dan pepohonan yang membisu di sekeliling rest area ini. KM 72, sekilas kulemparkan pandang ke pelataran parkir yang terhampar. Tampak beberapa kendaraan bergantian menempatinya. Ada yang baru datang, mungkin ingin beristirahat sejenak menikmati hawa pegunungan, juga mengisi bahan bakar mobil atau perut penggunanya yang mulai keroncongan, setelah perjalanan yang cukup melelahkan dari Ibu kota. Demikian juga yang merasa istirahatnya telah cukup, mereka lajukan kendaraan kembali, melanjutkan perjalanan ke Bandung atau sekitarnya. Tak heran, ini malam minggu, maka itu cukup ramai hilir mudik orang yang berlalu-lalang untuk memanfaatkan sejenak liburan. Seperti juga yang selama ini dilakukan Anita, wanita didepanku yang rambutnya luruh menutup sedikit paras ayunya, ada setitik embun di sudut matanya saat tanganku tulus menyibaknya. Getar-getar itu demikian terasa.
“ Kamu tak usah bingung untuk menjawabnya, Nit. Aku cukup lega telah mengatakannya..”
“ Mas, aku terlebih dulu menyatakan itu, sejak data pertama yang kuberikan untukmu..”
Kugenggam lembut jarinya, ia terpejam menikmatinya. Rasa kerdil semakin tenggelamkan aku pada jurang yang membuatku sadar, betapa selama ini aku begitu jahatnya. Harus kuakui, dahulu aku mengejarnya hanya demi berita, ego diri untuk menjadi jurnalis investigasi terhebat yang pernah ada. Tapi apa kini? Semua itu menjadi hampa ketika terbayang dia akan menempuh bahaya.
Anita lalu bergegas mengambil sesuatu dari tas mungilnya.
“ Mas, flash disk ini paling penting dibanding data-data yang pernah kuberikan. Kuharap kau berani menuliskan kasus korupsi besar ini. Banyak pejabat hebat, pengusaha dan petinggi parpol terkait di sana..”
“ Nit. Kamu..., kenapa senekat ini.., sebaiknya kita berhen...”
“ Tidak, Mas. Kumohon, selesaikan semua yang telah kau mulai. Bos besarku itu bukan manusia Mas. Otak bejatnya telah membuat aku tak mungkin pantas untukmu..”
Aku tak ingin bertanya lebih jauh tentang apa yang selama ini telah menimpanya. Benakku sudah cukup mampu untuk menduga.
“ Nit..., kamu tetap terbaik untukku..”
“ Makasih, Mas. Aku harus segera pulang, sampai bertemu lagi..”
Pelukan kami begitu lekat, sulit memulai untuk melepaskan. Diselingi dengan kecup dan pagutan yang enggan berakhir. Meninggalkan hangat air matanya yang masih membekas di jariku, saat aku berusaha mengusapnya. Lalu lambaian tangan dan deru mobilnya menyisakan sepi dan hampa di dada.
***
Sabtu, malam minggu, pukul tujuh di rest area itu. Aku masih menunggunya, walaupun bukan karena pesan pendek yang dikirimkannya. Di sana adalah saat-saat indah yang sulit terlupa begitu saja. Angin sejuk yang membelai dari sela-sela bukit dan pepohonan, melampirkan nikmat kopi yang pernah kami sesap bersama. Juga hangat dan wangi tubuhnya, halus jemari yang pernah meringkuk dalam genggaman, serta sentuhan lembut bibirnya. Bening air mata itu masih terasa di jemariku, andai aku bisa ingin mengendapkannya agar tak menguap di telan masa. Sungguh, aku tak rela semua itu berakhir adanya.
Pada Anita ingin kuberkata, aku masih menunggumu, meski tanpa pesan pendek itu. Lagi-lagi dengan segunung permohonan maaf yang kubawa, karena aku tak mampu memenuhi pintamu yang dulu. Anita, sungguh! Aku begitu membara untuk mengungkap semua yang kau tuju, sejak kau tewas “terjatuh” dari lantai sepuluh apartemenmu. Dalam geram hendak aku tulis tuntas semua yang ada di flash disk terakhirmu. Tapi, maafkan aku Anita. Aku harus terhenti saat sebuah malam aku terkapar, dengan hujaman peluru tajam yang tanpa suara menembus jantungku.
Sabtu, malam minggu, pukul tujuh di rest area itu,...aku masih menunggumu.
***
.
.
C.S.
Harus berapa lama
Aku menunggumu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H