Kebijakan pemerintah untuk berusaha menahan laju penjualan/ekspor mineral mentah (raw material) dengan memperketat persyaratan dan mengenakan pajak/bea keluar (20%) tampaknya harus menemui jalan “terjal”. Setelah mendapatkan protes dari para pelaku usaha tambang dalam negeri, pihak luar dalam hal ini Jepang pun melakukan tindakan resistensi serupa. Bahkan negara yang selama ini menggantungkan 53% bahan baku industrinya dari mineral mentah Indonesia akan membawa kasus ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Tantangan-tantangan ini tidak selayaknya membuat pemerintah menyurutkan langkah jika serius dengan substansi seharusnya dari kebijakan ini. Sebenarnya kebijakan ini mempunyai misi yang patut didukung, mengingat sejauh ini kerusakan lingkungan akibat aktifitas penambangan cukup mengkhawatirkan, peranannya dalam perekonomian terutama untuk masyarakat sekitar pun sangat perlu dikritisi untuk menggantikan kata ‘tidak signifikan”, dan juga sangat disayangkan karena telah sekian lama negeri/pengusaha kita terlena dalam kenikmatan mengeruk/menjual kekayaan alam mentah bumi pertiwi, apalagi jika penambangan-penambangan itu dalam kategori “liar”.
Dalih pelaku usaha pertambangan dalam negeri ketika melakukan protes, bahkan mengancam melakukan PHK besar-besaran pun menunjukkan bahwa egoisme sesaat lebih mengemuka. Secara jujur patut dipertanyakan semangat visioner mereka, mengingat yang terkesan adalah para pengusaha ini masih terbelit pada kemanjaan ingin selalu untung serta alergi terhadap rugi, yang tak ingin mengedepankan kreatifitas mereka dalam menyikapi kebijakan yang berlaku dengan menerapkan strategi bisnis matang. Pengenaan bea keluar sebesar 20% ini sebenarnya bisa dipandang wajar bahkan kecil jika dibandingkan pengerukan keuntungan yang selama ini mereka peroleh, yang mungkin tidak mengucur deras pada pekerja-pekerja mereka di bawahnya, demikian juga masyarakat sekitarnya. Tentu bisa dianggap kecil, mengingat sebelumnya pernah diwacanakan bahwa bea keluar mineral mentah itu yang pantas adalah 50%. Apalagi mengingat kedepannya, pada tahun 2014 bahkan ekspor mineral mentah ini dengan tegas secara total akan dilarang, sehingga seharusnya sudah jauh-jauh hari para pengusaha yang ber-visi harus telah mempersiapkan kelanjutan bisnisnya dengan merintis industri pengolahan (smelter). Dan di sinilah bisa dinilai, pengusaha tambang mana yang hanya bersifat “ladang berpindah” ataukah yang mempunyai progress yang mapan.
Sedangkan menyikapi protes dari Jepang ini, pemerintah kita pun haruslah tetap maju. Dengan mengutamakan jalur diplomasi yang baik hingga Jepang bisa memahami alasan kita menerapkan kebijakan ini. Bukankah semua negara tak ingin kekayaan alamnya hanya dikeruk dan dijual mentah ke luar negeri? Apalagi ketika kondisi kerusakan lingkungan yang bisa menjadi semakin parah. Demikian juga ketika nanti Indonesia harus di hadapkan dengan WTO, alasan-alasan yang tepat serta meyakinkan, terutama terkait keberlangsungan industri dalam negeri serta lingkungan harus dikedepankan.
Lalu ketika kembali pada kondisi dalam negeri, pemerintah pun harus jeli menyikapi. Perlu juga dievaluasi sampai dimanakah peranan pemerintah secara real dalam mendorong kemajuan industri pengolahan (tambang) selama ini. Dapat ditelisik sebuah kewajaran bahwa ketika pasar dalam negeri terkait minimnya industri pengolahan membuat harga mineral dalam negeri kurang menarik, lebih menguntungkan bagi pengusaha untuk mengekspornya.
Seperti dua sisi mata uang yang harus dipecahkan berbarengan, yaitu jika pada 2014 nanti ekspor mineral mentah benar-benar dilarang, pemerintah pun harus berperan aktif dalam memajukan industri pengolahan (smelter). Mungkin bisa dilakukan dengan fasilitas-fasilitas kemudahan, insentif dan sebagainya.
Kalau pemerintah menghendaki pengusaha industri/pertambangan mineral berkelanjutan, bervisi jangka panjang, menciptakan lapangan kerja baru serta melestarikan lingkungan, dia pun harus memberikan dukungan yang adil dan semestinya, bukan pula hanya pertimbangan jangka pendek memperoleh pemasukan negara dari perolehan pajak ekspor ini saja. Dan perlu ditinjau juga pengenaan pajak ekspor ini untuk batubara, mengingat selama ini pun jenis tambang ini lebih banyak dikeruk untuk dijual mentah saja. Jika alasan bahwa untuk batubara “belum” dikenakan karena masih banyak terikat kontrak karya, bukankah selama ini yang menjadi alasan pengusaha/eksportir mineral mentah itu juga masalah yang sama, terikat kontrak juga?
Semoga semua terpecahkan dengan sebenar-benarnya serta sejujur-jujurnya berpikir secara Indonesia.
Salam kemakmuran.
.
.
C.S
Bahan tulisan : Kontan.co.id, kemenperindag.go.id, finance.detik.com, dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H